Sedangkan Abian menatap putrinya itu cukup lama. Kemudian menggeleng pelan. "Nggak! Kamu nggak Daddy kasih izin untuk naik motor sendiri. Kalau apa-apa sama Hanan aja," jelasnya.
Bahu Hanin meluruh. "Ya, kok gitu, sih, Dad? Daddy nggak adil dong kalau gitu," protesnya. "Daddy nggak mau kamu kenapa-napa sayang. Mending sama Hanan aja naik motornya, kamu di bonceng sama dia." Abian menatap putrinya itu penuh penegasan. "Nggak seru, Dad." Hanin mengerucutkan bibirnya. "Lebih seru naik motor sendiri," sambungnya. "Nggak boleh, sayang." Hanin menunduk sedih. Dulu dia pikir jadi anak perempuan itu satu-satunya enak. Tapi, dia salah besar. Dia malah agak terkekang, apa-apa tidak boleh, dikit-dikit tidak boleh. Daddy menjaganya dengan kewaspadaan. Takut dia luka atau lecet sedikit saja. Belum lagi Hanin punya tiga pengawal yang selalu memantaunya saat mereka bersama-sama. Meski Hendra nakal begitu, Hendra selalu poseAwalnya Hendra fokus bermain dengan Anya. Meski tidak menyukai main masak-masakan dan juga boneka. Hendra dengan setia menemani gadis kecil itu bermain, asal Anya senang dan Hendra tidak masalah sama sekali. Sayangnya siang itu Hendra tidak bisa terlalu fokus sepenuhnya pada permainan yang Anya mainkan. Wajah imut Anya selalu membuat Hendra susah konsentrasi. Rasanya Hendra ingin membawa Anya pulang terus mengurungnya ke dalam kamar, seperti yang sering dilakukan Daddy yaitu mengurung Mommy di kamar selama berjam-jam."Kak Hendra, ini minumannya." Anya memberikan sebuah cangkir mini pada Hendra. Cangkir mainan yang sebenarnya kosong, tapi Anya bilang isinya itu teh hangat dan Hendra harus minum. Hendra dengan senang hati menerima pemberian dari gadis kecil itu.Anya hanya beda tiga tahun dengannya, Anya suka sekali bermain masak-masakan seperti ini apalagi kalau dia sudah datang, pasti Anya senang sekali. Sebab, Anya merasa suka bermain dengan Hendra ketimbang adik
"Oh, ya. Karena tahun ini adalah ulang tahun ke tujuh belas kalian. Apa kalian ingin mengadakan pesta yang meriah dan mengundang semua teman-teman kalian?" tanya Abian, memberikan usul yang bagus pada si kembar yang dua minggu lagi akan berulang tahun. Tidak terasa juga sudah dua minggu si kembar bersekolah seperti biasanya.Hanin yang mendengar ucapan daddynya langsung mengangguk antusias. "Mau, Dad! Hanin mau pesta yang meriah karena malam itu Hanin ingin jadi princess, hehe." Anak gadis Abian itu nyengir lebar."Bagus! Daddy setuju," jawab Abian cepat. "Kalau kamu gimana, Nan?" Dia menoleh pada di sulung yang mengajari Hendra menghapal perkalian sepuluh.Hanan melirik Hanin yang terlihat bahagia dengan rencana itu, tentu saja Hanan tidak mau membuat kebahagiaan adiknya itu mendadak hilang. "Aku ikut aja, Dad. Kalau itu kemauan Hanin, Hanan tidak masalah," jawabnya."Baiklah! Mulai besok Daddy dan Mommy akan mengurus semuanya." Abian tersenyum s
"Ini bekal Zahra. Jangan lupa dihabiskan, ya? Dan, jangan sesekali jajan di luar," pesan Marion sambil memasukkan kota bekal berwarna merah muda itu ke dalam tas putrinya.Zahra yang sibuk menghabiskan susunya pun hanya bisa mengangguk saja. Keduanya berjalan keluar bersama-sama. Pagi ini Zahra terlihat bahagia sekali."Papi beneran anterian Zahra hari ini, kan?" tanyanya sekali lagi saat mereka tiba di teras rumah."Iya, sayang."Zahra memekik senang. "Yes! Sekalian nanti kenalan sama teman satu meja ku, ya, Pi? Dia penasaran sama Papi karena selama ini aku sering ngomong ke dia kalau Papi ku ini sangat tampan," ujarnya dengan senyum lebarnya.Marion tertawa pelan. "Emang Papi setampan itu?" tanyanya.Zahra langsung mengangguk cepat. "Iya! Bagiku Papi yang paling tertampan di dunia ini setelah setelah Hanan.""Siapa Hanan?" Marion langsung bertanya dengan sudut hati yang tak senang karena sekarang ada bisa menandingi ke
Marion masuk ke dalam mobilnya dan melirik asistennya yang duduk di kursi depan samping sopir. "Kau kenal dua anak tadi?" tanyanya pada asisten pribadinya itu. Rakit mengangguk pelan. "Saya sudah mencari tahu identitas mereka tadi saat Tuan masih berinteraksi dengan mereka. Hanin Zareena Dirgantara dan Hanan Aditya Dirgantara, mereka anak kembar dari pasangan Abian Dirgantara dan Flora Fernandez. Saya rasa Tuan tidak perlu khawatir kalau Nona muda berteman dengan mereka, karena keluarga Dirgantara selama ini sangat di kenal baik oleh public. Begitu juga Tuan Abian, dia adalah pebisnis bersih sudah pasti mendidik anaknya dengan tegas dan benar," jelas pria yang masih melajang di umurnya yang sudah masuk ke 35 tahun. Marion mengangguk paham setelah mendengar penjelasan asistennya itu. "Apa selama ini kita pernah bekerja sama dengan perusahaan Dirgantara?" tanyanya. Saking banyak bekerja sama dengan berbagai perusahaan, Marion lupa siapa saja rekan bisnisn
Hari yang sangat di tunggu-tunggu Hanin akhirnya tiba. Ulang tahunnya dan Hanan. Hanin sudah menyebar undangannya ke semua teman kelasnya dan anak Angkatan kelas sebelas lainnya tiga hari yang lalu. Acara dilaksanakan malam hari. Halaman samping rumah Hanin yang terdapat kolam renang dan juga gazebo yang tak jauh dari sana, kini sudah di sulap begitu cantik. Ada panggung kecil di akan dijadikan tempat khusus untuk si kembar memotong kue nantinya.Sejak maghrib usai, Hanin sudah di rias oleh MUA kenalan mommynya. Hanin meminta make up yang simple saja, tapi dia akan terlihat elegan dan cantik. Hanin tidak mau memakai mahkota, rasanya seperti anak kecil, tapi tetap saja malam ini dia akan menjadi seorang princess. Hanin tersenyum lebar kala melihat wajahnya begitu cantik setelah di rias oleh MUA. Rasanya dia sedikit tak mengenali dirinya karena selama ini Hanin jarang sekali merias dirinya. Ke sekolah pun hanya memakai pelembab bibir saja dan bedak seadany
Balik lagi ke acara ulang tahun si kembar. Saat ini Hanin, Hanan dan kedua orang tuanya berdiri di atas panggung. Di depan mereka sudah ada kue ulang tahun bertingkat dua dengan lilin angkat satu dan tujuh. Hanin dan Hanan langsung meniup lilin itu setelah menyanyikan lagu ulang tahun. Riuh tepuk tangan pun terdengar setelah lilin berhasil di tiup."Yeay!" Hanin bersorak pelan."Nah, sekarang tugas si kembar tinggal potong kuenya." Suara moderator kembali terdengar. Hanin langsung mengambil pisau plastik yang tersedia di atas meja. Menoleh pada Hanan yang kini bergerak maju dan memegang tangannya yang saat itu juga sedang memegang pisau plastik. Keduanya pun sama-sama memotong kue tersebut."Sekarang si kembar mau kasih suapan pertamanya ke siapa, nih? Mommy atau Daddy?" tanya sang moderator.Hanin dan Hanan saling kode sejenak. Dan, setelah itu sama-sama mengambil sendok kecil. Hanin berjalan mendekati Daddynya dan memberikan suapan pertamanya pa
"Ini ada apa?"Hanan berdeham pelan. "Tadi dia nggak sengaja nginjek gaunnya terus gue tolong biar dia nggak jatoh," jelasnya.Mata Hanin memicing tajam meski mendengar penjelasan dari kembarannya itu. Hanin Menatapi Zahra penuh selidik membuat Zahra kikuk sendiri. "I-iya, Nin. Tadi aku mau jatoh, tapi untung aja kembaranmu nolong aku. Kalau enggak, aku udah malu karena jatoh di depan orang ramai," timpalnya.Barulah Hanin percaya, matanya tak memicing lagi kini menatap Hanan. "Di panggil Daddy, Nan. Tante Hana baru datang sama keluarganya," tutur gadis itu.Hanan mengangguk pelan. "Ya, udah ayo kita ke sana!"Seperginya si kembar. Zahra buru-buru memegang jantungnya yang tadi sempat berdetak tak karuan kala Hanan menolongnya. "Kayak ya aku kena serangan jantung kecil, deh," gumamnya dengan polos.Sementara itu. Si kembar di peluk secara gantian oleh tante mereka. "Ya, ampun kalian sudah besar aja. Tuh, Anya mau kasih kado untuk
"Papi!"Zahra baru saja pulang dari pesta ulang tahun Hanin. Mengangkat sedikit bagian gaunnya ke atas agar memudahkannya berlari untuk menghampiri papinya yang berada dalam ruang kerjanya."Hey, Nona kecil." Marion merentangkan kedua tangannya untuk menyambut kepulangan putrinya. "Bagaimana pesta ya?" tanyanya kemudian setelah Zahra masuk ke dalam pelukannya.Zahra mendongak menatap papinya. "Seru sekali, Pi!" balasnya menggebu-gebu. "Zahra jadi mau adain pesta di ulang tahun sweet seventeen Zahra nanti. Biar bisa foto bareng sama Mami kayak dilakukan Hanin sama kembarannya. Terus nyuapi Papi sama Mami kue ulang tahun. Zahra mau begitu, Pi." Zahra mengeratkan pelukannya dengan papinya, kemudian menyandarkan kepalanya di bidang dada sang papi.Sedangkan Marion terdiam dengan bibirnya terkatup rapat kala mendengar pemintaan sederhana putrinya itu."Zahra bosan, Pi. Kalau tiap tahun rayain ulang tahun sama Papi dan Bibi pelayan. Tanpa kehad
Zahra masih saja setia menunduk, tidak berani menatap pria paruh baya yang sejak tadi menatapnya dengan sorot tajam. Zahra sangat takut, takut sekali, di saat seperti ini dia membutuhkan perlindungan dari papinya. Tapi, Papi sudah bahagia di sisi Tuhan sekarang. Maka itu, yang Zahra lakukan adalah saling meremas kedua tangannya satu sama lain. "Tinggalkan putraku, saya mohon padamu untuk kali ini. Biarlah kau anggap saya ini sebagai ayah yang egois. Tapi, saya melakukan ini demi kebaikan dan keselamatan putraku," ujar Abian dengan suara beratnya. Menatap Zahra yang masih menunduk. Tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana raut wajah gadis itu. "Kalian tidak bisa bersama." Abian menahan napasnya. "Masa lalu Papi mu akan selalu menghantuimu meski dia sudah meninggal. Mereka tidak akan pernah puas sebelum membuatmu mati. Karena keturunan dari almarhum Marion harus mati ditangan mereka, demi membalaskan dendam. Musuh-musuh Papi mu terlalu banyak. Hanan akan terus terancam bila berad
Sepuluh bulan kemudian. "Dad, Hanan nggak apa-apa, kan?" Hanin yang baru saja tiba dengan mommynya di rumah sakit, langsung saja memberondong daddynya dengan pertanyaan. Hanin rasanya ingin pingsan kala mendengar apa yang menimpa kembarannya itu. Tapi, Hanin harus kuat karena ada mommynya yang lebih syok saat mendengar kembarannya di serang. Dan, itu di luar jangkauan dari daddynya. Semenjak SMA dan Hanan pandai beladiri. Kembaranya itu meminta dengan sendirinya untuk tidak ada pengawal yang lagi menjaganya dari kejauhan. Hanan merasa bisa menjaga dirinya sendiri, maka itu meminta Daddynya membayar pengawal untuk menjaganya dan Hendra saja bila di luar rumah. Namun, kembarannya itu sudah sok jagoan sekali. Tapi, ujung-ujungnya berakhir seperti ini. Abian yang ditanya putrinya itu menggeleng pelan. Wajahnya pucat pasi bak mayat sekarang. Di melihat dengan mata kepalanya sendiri, ada dua bekas tusukan yang di dapat putranya itu. Dia terus berdoa dalam hati dan terus meminta pada Tu
"Rumah lo di mana?" tanya Hanan setelah itu. "Ntar Zahra kasih tahu jalannya. Hanan lurus aja dulu, nanti ada pertigaan baru belok kiri," jawab Zahra agak kuat takut Hanan tidak mendengar bila suaranya kecil. "Ok." Hanan mengangguk pelan. Matanya kembali menatap ke arah spion. Saat tiba dipertigaan, dia langsung berbelok kiri dan benar saja mobil di belakang sana ikut belok juga. Hanan menyeringai lebar. "Kayaknya mereka mau main-main sama gue, nih," batinnya. Hanan pernah mengalami siatusi seperti ini. Saat itu ada Pak supir yang ahli mengelebui orang-orang yang menguntit mobil mereka. Maka dari itu juga Hanan belajar juga. "Zahra!" panggilnya. "Ya?" "Pegangan yang kuat!" ucap Hanan. "Eh, kenapa?" Zahra melotot kecil. Dia malah malu ketika mau memeluk Hanan. Yang tadi hanya spontan saja. Zahra tidak mau mengulangi hal seperti itu lagi. Tapi, kali ini dia langsung berpegangan pada ujung jaket Hanan tanpa memeluk Hanan. "Pokoknya pegangan yang kenceng, ya!" Hanan mewanti
Sebagai teman yang baik. Zahra membawakan buah tangan untuk menjenguk Hanin. Dia sempat mampir ke toko roti dan toko buah sebelum pergi ke rumah Hanin. Gadis itu dengan perasaan riangnya menjenguk Hanin yang sejak pagi sudah tidak dia temui. Rasanya Zahra rindu, karena saat bersama Hanin, dia merasa aman karena Hanin selalu melindunginya kapanpun. Zahra juga dapat merasakan sosok kakak bila di samping Hanin. Mobil Zahra yang baru tiba di depan gerbang rumah Hanin langsung terhenti karena pintu gerbangnya tak dibukakan sama sekali. Zahra langsung membuka kaca jendelanya untuk meminta sang satpam membuka gerbang di depan sana. Namun, satpam itu malah menolaknya. "Zahra ini teman Hanin lho, Pak." Zahra menghela napas pelan dengan bibir mengerucut. "Zahra ke sini juga mau jenguk Hanin yang lagi sakit. Zahra pun udah pernah datang ke sini. Pak satpam nggak kenal sama Zahra, ya?" todongnya dengan jari telunjuknya. "Maaf, Nona.
Meski Hanin sering berisik dan suka berteriak tidak jelas. Bila jatuh sakit seperti ini, mansion akan terasa sepi sekali. Baik Hendra dan Hanan merasakan kehilangan, Hanin yang biasanya aktif dan lincah ke sana kemari kini terbaring lemah di kasur empuknya dengan handuk kecil di dahinya. Hanin jatuh sakit setelah traumanya kembali, hal ini terjadi untuk pertama kalinya setelah Hanin melihat lelaki yang mirip Arifin itu lagi. Hanan pun menceritakan semuanya pada sang mommy, sehingga Flora menyarankan Abian untuk membawa putri mereka ke konseling psikologi. Agar trauma Hanin tidak semakin parah nantinya. Dan, pagi ini Hanan berangkat ke sekolah seorang diri. Rasanya tidak enak sekali karena tidak ada Hanin di sampingnya. Tidak ada Hanin yang merecokinya, tidak ada yang menggodanya dengan suara cempreng nan mengesalkan itu. Hanan mendesah pelan, walau dirinya terlihat cuek dari luar, tetap saja dia merasa khawatir dengan Hanin. "Lho, tumben Hanan datang se
Tanpa disadari dua gadis itu. Hanan sejak tadi memperhatikan mereka, mendesah pelan, Hanan kembali teringat dengan pembicaraan Daddy dan Mommynya kemarin malam. Saat itu Hanan tidak sengaja mendengar semuanya. Dia penasaran dengan alasan dari Daddynya itu sehingga memutuskan untuk menguping, meski itu adalah tindakan tidak sopan. Hanan pun perlahan bisa mengerti akan kecemasan Daddynya itu, sehingga memberikan ide dan jalan keluar padanya dan juga Hanin agar keduanya tetap bisa berteman dengan Zahra. "Demen lo sama Zahra?" Hanan langsung menoleh ke arah teman satu mejanya, ternyata dia ketahuan menatap kembarannya dan Zahra. Pemuda itu menyeringai lebar, menjadikan Hanan mendengkus pelan melihatnya. Raut wajahnya masih datar dan tidak niat membalas ucapan temannya tadi. "Zahra cantik kok, nggak masalah lo naksir sama dia. Artinya lo itu normal Pak ketua," seloroh pemuda di sebelah Hanan itu lagi. Hanan kembali mendengkus. T
"Tapi, nggak harus memperkekang pertemanan anak-anaknya juga, Nan," sahut Hanin cepat. "Apa salah Zahra coba? Yang ada dia sedih pas kita tiba-tiba menjauh dari dia. Kasihan tahu lho, Nan. Memang gue selalu kesal sama tingkah polosnya, tapi gue nggak tega melihatnya sendirian nanti tanpa teman-teman. Lo tahu sendiri kalau di kelas, dia cuman dekat sama kita aja." "Gue tahu." Hanan bersandar di sisi meja belajar Hanin. Lalu bersedekap dada dan menatapi kembarannya itu. "Tapi, kita tidak tahu alasan Daddy sebenarnya." "Lo kenapa selalu dipihak Daddy, sih?" sungut Hanin kesal. Larangan Daddy kali ini nggak masuk akal, lho. Bukannya selama ini Daddy memperbolehkan kita berteman dengan siapa saja?" Hanan mendengkus pelan. "Coba ambil sisi lainnya dulu, Nin. Sekarang kita pikirkan alasan Daddy yang katanya demi kebaikan kita. Itu artinya Daddy sedang menjauhkan kita dari bahaya. Meski sepenuhnya gue nggak setuju juga dengan larangan Daddy. Tapi
"Kenapa, Dad?" Hanin langsung melayangkan pertanyaan dengan nada penuh protes. Akan tetapi, Abian tetap menatap si kembar penuh ketegasan. "Turuti perkataan Daddy. Kalian akan mengalami hal buruk kalau tetap berteman dengan dia. Ini demi kebaikan kalian berdua," ujar Abian penuh penekanan. Hanin tertawa miris. "Hanin tidak menyangka kalau Daddy sampai mengekang anaknya seperti ini. Dalam pertemanan saja dibatasi!" balasnya tak suka. Dia senang berteman dengan Zahra. Zahra selalu mengasyikkan meski terkadang kesal dengan kepolosan gadis itu. "Hanin, jangan membangkang Daddy, ok?" pinta Abian dengan helaan napas pelan. "Daddy punya alasan untuk ini. Percaya sama Daddy, Daddy tidak pernah melarang satu hal kalau itu tidak merugikan kalian. Tolong pahamilah permintaan Daddy kali ini." Abian menatap si kembar lekat. Dia berharap si kembar bisa mengerti keadaan sekarang. Ketakutan Abian sejak dulu adalah sebuah
Hanan menggeleng lagi. "Gue akan bertugas mencatat pertanyaan aja. Zahra yang jadi moderator dan Hanum kebagian menjawab pertanyaan," jelasnya kemudian. "Kalau kamu udah atur tugas kita masing-masing nggak perlu nanya kayak tadi, Nan," tegur Hanum dengan gelengan kepalanya. Hanan tak menjawab. "Jadi Zahra moderator, nih?" gumam Zahra karena untuk pertama kalinya dia tunjuk seperti ini. "Iya." Ketiga temannya itu mengangguk serentak. "Tapi, Zahra nggak punya pengalaman lhooo," rengeknya. "Sebelum presentasi tiba, kamu masih bisa belajar di rumah kok, Ra," sahut Hanum, memberikan senyuman menenangkannya. "Tetap saja. Zahra takut gugup," balasnya lagi. "Nggak boleh protes. Gue udah kasih tugas masing-masing. Jadi, jangan sampai presentasi kita ini dapat nilai rendah. Paham kalian!" ujar Hanan penuh ketegasan.