Balik lagi ke acara ulang tahun si kembar. Saat ini Hanin, Hanan dan kedua orang tuanya berdiri di atas panggung. Di depan mereka sudah ada kue ulang tahun bertingkat dua dengan lilin angkat satu dan tujuh. Hanin dan Hanan langsung meniup lilin itu setelah menyanyikan lagu ulang tahun. Riuh tepuk tangan pun terdengar setelah lilin berhasil di tiup.
"Yeay!" Hanin bersorak pelan."Nah, sekarang tugas si kembar tinggal potong kuenya." Suara moderator kembali terdengar. Hanin langsung mengambil pisau plastik yang tersedia di atas meja. Menoleh pada Hanan yang kini bergerak maju dan memegang tangannya yang saat itu juga sedang memegang pisau plastik. Keduanya pun sama-sama memotong kue tersebut."Sekarang si kembar mau kasih suapan pertamanya ke siapa, nih? Mommy atau Daddy?" tanya sang moderator.Hanin dan Hanan saling kode sejenak. Dan, setelah itu sama-sama mengambil sendok kecil. Hanin berjalan mendekati Daddynya dan memberikan suapan pertamanya pa"Ini ada apa?"Hanan berdeham pelan. "Tadi dia nggak sengaja nginjek gaunnya terus gue tolong biar dia nggak jatoh," jelasnya.Mata Hanin memicing tajam meski mendengar penjelasan dari kembarannya itu. Hanin Menatapi Zahra penuh selidik membuat Zahra kikuk sendiri. "I-iya, Nin. Tadi aku mau jatoh, tapi untung aja kembaranmu nolong aku. Kalau enggak, aku udah malu karena jatoh di depan orang ramai," timpalnya.Barulah Hanin percaya, matanya tak memicing lagi kini menatap Hanan. "Di panggil Daddy, Nan. Tante Hana baru datang sama keluarganya," tutur gadis itu.Hanan mengangguk pelan. "Ya, udah ayo kita ke sana!"Seperginya si kembar. Zahra buru-buru memegang jantungnya yang tadi sempat berdetak tak karuan kala Hanan menolongnya. "Kayak ya aku kena serangan jantung kecil, deh," gumamnya dengan polos.Sementara itu. Si kembar di peluk secara gantian oleh tante mereka. "Ya, ampun kalian sudah besar aja. Tuh, Anya mau kasih kado untuk
"Papi!"Zahra baru saja pulang dari pesta ulang tahun Hanin. Mengangkat sedikit bagian gaunnya ke atas agar memudahkannya berlari untuk menghampiri papinya yang berada dalam ruang kerjanya."Hey, Nona kecil." Marion merentangkan kedua tangannya untuk menyambut kepulangan putrinya. "Bagaimana pesta ya?" tanyanya kemudian setelah Zahra masuk ke dalam pelukannya.Zahra mendongak menatap papinya. "Seru sekali, Pi!" balasnya menggebu-gebu. "Zahra jadi mau adain pesta di ulang tahun sweet seventeen Zahra nanti. Biar bisa foto bareng sama Mami kayak dilakukan Hanin sama kembarannya. Terus nyuapi Papi sama Mami kue ulang tahun. Zahra mau begitu, Pi." Zahra mengeratkan pelukannya dengan papinya, kemudian menyandarkan kepalanya di bidang dada sang papi.Sedangkan Marion terdiam dengan bibirnya terkatup rapat kala mendengar pemintaan sederhana putrinya itu."Zahra bosan, Pi. Kalau tiap tahun rayain ulang tahun sama Papi dan Bibi pelayan. Tanpa kehad
Mata Marion mengerjap lemah. Sekarang dia dilema, antara memenuhi keinginan putrinya atau keinginan istrinya ini. Marion dalam keadaan yang sulit untuk memilih. "Chia, tidak adakah meski hanya sedikit di hatimu, rasa sayang terhadap putri kita? Dia adalah buah cinta kita," ujar Marion.Chiara langssung mendelik tak suka. "Dia bukan buah cinta kita! Kau yang menginginkan kehadirannya sampai-sampai memperkosa ku malam itu, kemudian kau yang memohon padaku bahkan berlutut di bawah kakiku demi mempertahankan anak itu ketika masih dalam kandunganku. Apa kau lupa itu?" tanya Chiara dengan napas memburu. Emosinya sudah tersulut pagi-pagi begini.Marion mendesah pelan. "Aku tahu itu," lirihnya. Rasanya ingin menangis di depan wanita ini. Tapi, rasanya tidak akan berguna. Hati Chiara sudah sekeras batu setelah kematian suaminya dulu. Dan, itu terjadi karena kesalahan yang dibuat oleh Marion. Kesalahan yang sebenarnya tak disengaja sekali. Pada akhirnya semua ini adalah takd
"Inilah akibatnya jadi anak bandel," cibir Hanin yang sudah lengkap dengan seragam sekolahnya. Menatap Hendra yang kini pasrah sembari memegang pipi kanannya yang masih mendenyut sekali. "Padahal malam tadi udah di larang, jangan banyak makan kue cokelat," sahut Hanan, menggeleng miris. "Ini karma dari anak yang keras kepala kayak dia, Nan," timbal Hanin, bersedekap dada memperhatikan Hendra yang menerima obat dari mommynya dan langsung menelan obat itu tanpa kendala setelah meneguk air banyak-banyak. "Hiks, Hendra mau tidur," lirih anak bungsu dari Abian itu. Flora mengangguk pelan, lalu menuntun Hendra berbaring. "Ya, sudah. Tidur aja, hari ini libur dulu sekolanya. Nanti Mommy ijin sama wali kelas mu," jawabnya. Seperti yang kalian tebak. Pagi ini Hendra kembali sakit gigi setelah malam tadi banyak makan cokelat. Sebenarnya sejak tengah malam tadi Hendra merasakan sakit giginya itu. Tapi, dia tahan karena
Tiba di rumah. Hanin langsung mencari keberadaan mommynya, tentu saja akan mengadu. "Mommy," rengek Hanin setelah mendapati keberadaan mommynya itu di lantai tiga, Mommy sedang duduk di balkon sambil membuat rajutan. "Eh, anak Mommy udah pulang." Flora menyambut Hanin dengan riang. Sedangkan Hanin mencebikkan bibirnya ke bawah. Mengambil ktp-nya dan memberikan benda itu langsung pada sang mommy. "Wah, anak Mommy udah punya ktp sekarang," ujar Flora. Wanita itu tersenyum lembut. Kedua bola mata Hanin berkaca-kaca. Dia memang secengeng itu. "Ih, Hanin nggak suka sama foto ktp-nya, Mom. Masa mata Hanin melotot di situ terus mana nggak senyum lagi. Hanin nggak terima ktp Hanin begitu, hiks." Hanin buru-buru mengusap air matanya yang sudah membahasi pipinya. Siklus bulanan, mood Hanin akan naik turun. Kadang marah, nangis dan suka ngambek. Satu mansion ini sudah hapal sekali dengan sifat Hanin yang merupakan anak emas Tuan Abian
"Ayo cepat, La! Mau gue tinggal, nih?" tanya Hanan yang sudah duduk di atas jok motornya lengkap dengan helm yang sudah dia kenakan. "Iya, sabar bawel!" gerutu Hanin yang baru selesai mencubit pipi Hendra, menjadikan adiknya itu mendengkus kesal. Hanin mengambil helm-nya yang di pegang Hanan, kemudian mengenakannya dengan seorang diri tanpa di bantu Hanan. "Cepat kang ojek baruku." Hanin tersenyum miring setelah berhasil menepuk keras bahu kembarannya itu. "Ck!" Hanan hanya berdecak saja mendengar penuturan kembarannya itu. "Dah, Mom! Dah, Dad!" Hanin melambaikan tangannya pada Mommy dan Daddynya. Gadis itu akhirnya bisa ceria karena sudah dijanjikan akan diizinkan naik motor sendirian tahun depan. "Nan, kencang-kencang aja. Nggak seru pelan kayak gini. Yang ada kayak bebek laju motor lo," ujar Hanin sedikit berteriak. "Nggak ah! Ntar lo ngadu sama Mommy," balas Hanan tak kalah berteriaknya. S
"Ayo ke kantin!" Hanin dengan riang menghampiri Hanum di tempat duduknya, tak lupa tangan kirinya menyeret Zahra agar ikut bersama mereka ke kantin seperti biasanya. Zahra hanya bisa pasrah saja meski memalingkan wajahnya ke arah lain sebab tak berani bersitatap dengan Hanan. Jangan lupakan di tangannya sedang mendekap bekal makan buatan papinya pagi tadi.Hanum tersenyum tak enak. "Kalian duluan ke kantin, ya? Aku mau ke toilet, habis itu mau ke perpus juga. Soalnya aku belum pulangin buku yang ku pinjam bulan lalu," jelasnya. Padahal itu hanyalah alibi Hanum saja. Dia sudah berjanji dengan pacarnya untuk makan bersama di roftoop sekolah. Kebetulan Hanum hari ini membawa bekal, agar memudahkan mereka makan siang supaya tidak membeli makanan di kantin lagi."Eh, mau aku temani nggak?" tawar Hanin, begitu baik pada sahabatnya itu. Hanum semakin tidak tega untuk terus berbohong pada Hanin. Tapi, dia belum punya keberanian untuk jujur pada Hanin."Eh, nggak u
"Wah, ini siapa?" Flora tersenyum lebar menyambut tamu yang kini berdiri di depannya. Dia pikir si kembar pulang berdua saja, tapi malah berempat dengan dua anak perempuan lainnya. Flora tentu saja mengenali Hanum karena Hanum adalah salah satu anak perempuan itu. Tapi, tidak dengan Zahra yang ikut pulang ke rumah si kembar hari ini. Dikarenakan mereka berempat akan mengerjakan kerja kelompok di sini. "Dia Zahra, Mom. Teman satu meja Hanin itu, lho," sahut Hanin. "Oh, jadi ini Zahra?" Flora masih memberikan senyuman penuh keibuannya pada Zahra. Kemudian mengusap pipi gembul Zahra pelan. "Cantik anaknya," puji wanita itu. Menjadikan Zahra tersenyum malu-malu dengan pipi bersemu merah. "Terima kasih, Tante," jawabnya pelan. "Kita mau kerja kelompok di sini, Mom. Nggak apa-apa, kan?" tanya Hanin, sedangkan Hanan sudah ngacir ke kamar duluan. Dia sudah gerah dan tidak sabar ingin mandi sebelum mengerjaka