Tiba di rumah. Hanin langsung mencari keberadaan mommynya, tentu saja akan mengadu. "Mommy," rengek Hanin setelah mendapati keberadaan mommynya itu di lantai tiga, Mommy sedang duduk di balkon sambil membuat rajutan.
"Eh, anak Mommy udah pulang." Flora menyambut Hanin dengan riang. Sedangkan Hanin mencebikkan bibirnya ke bawah. Mengambil ktp-nya dan memberikan benda itu langsung pada sang mommy. "Wah, anak Mommy udah punya ktp sekarang," ujar Flora. Wanita itu tersenyum lembut. Kedua bola mata Hanin berkaca-kaca. Dia memang secengeng itu. "Ih, Hanin nggak suka sama foto ktp-nya, Mom. Masa mata Hanin melotot di situ terus mana nggak senyum lagi. Hanin nggak terima ktp Hanin begitu, hiks." Hanin buru-buru mengusap air matanya yang sudah membahasi pipinya. Siklus bulanan, mood Hanin akan naik turun. Kadang marah, nangis dan suka ngambek. Satu mansion ini sudah hapal sekali dengan sifat Hanin yang merupakan anak emas Tuan Abian"Ayo cepat, La! Mau gue tinggal, nih?" tanya Hanan yang sudah duduk di atas jok motornya lengkap dengan helm yang sudah dia kenakan. "Iya, sabar bawel!" gerutu Hanin yang baru selesai mencubit pipi Hendra, menjadikan adiknya itu mendengkus kesal. Hanin mengambil helm-nya yang di pegang Hanan, kemudian mengenakannya dengan seorang diri tanpa di bantu Hanan. "Cepat kang ojek baruku." Hanin tersenyum miring setelah berhasil menepuk keras bahu kembarannya itu. "Ck!" Hanan hanya berdecak saja mendengar penuturan kembarannya itu. "Dah, Mom! Dah, Dad!" Hanin melambaikan tangannya pada Mommy dan Daddynya. Gadis itu akhirnya bisa ceria karena sudah dijanjikan akan diizinkan naik motor sendirian tahun depan. "Nan, kencang-kencang aja. Nggak seru pelan kayak gini. Yang ada kayak bebek laju motor lo," ujar Hanin sedikit berteriak. "Nggak ah! Ntar lo ngadu sama Mommy," balas Hanan tak kalah berteriaknya. S
"Ayo ke kantin!" Hanin dengan riang menghampiri Hanum di tempat duduknya, tak lupa tangan kirinya menyeret Zahra agar ikut bersama mereka ke kantin seperti biasanya. Zahra hanya bisa pasrah saja meski memalingkan wajahnya ke arah lain sebab tak berani bersitatap dengan Hanan. Jangan lupakan di tangannya sedang mendekap bekal makan buatan papinya pagi tadi.Hanum tersenyum tak enak. "Kalian duluan ke kantin, ya? Aku mau ke toilet, habis itu mau ke perpus juga. Soalnya aku belum pulangin buku yang ku pinjam bulan lalu," jelasnya. Padahal itu hanyalah alibi Hanum saja. Dia sudah berjanji dengan pacarnya untuk makan bersama di roftoop sekolah. Kebetulan Hanum hari ini membawa bekal, agar memudahkan mereka makan siang supaya tidak membeli makanan di kantin lagi."Eh, mau aku temani nggak?" tawar Hanin, begitu baik pada sahabatnya itu. Hanum semakin tidak tega untuk terus berbohong pada Hanin. Tapi, dia belum punya keberanian untuk jujur pada Hanin."Eh, nggak u
"Wah, ini siapa?" Flora tersenyum lebar menyambut tamu yang kini berdiri di depannya. Dia pikir si kembar pulang berdua saja, tapi malah berempat dengan dua anak perempuan lainnya. Flora tentu saja mengenali Hanum karena Hanum adalah salah satu anak perempuan itu. Tapi, tidak dengan Zahra yang ikut pulang ke rumah si kembar hari ini. Dikarenakan mereka berempat akan mengerjakan kerja kelompok di sini. "Dia Zahra, Mom. Teman satu meja Hanin itu, lho," sahut Hanin. "Oh, jadi ini Zahra?" Flora masih memberikan senyuman penuh keibuannya pada Zahra. Kemudian mengusap pipi gembul Zahra pelan. "Cantik anaknya," puji wanita itu. Menjadikan Zahra tersenyum malu-malu dengan pipi bersemu merah. "Terima kasih, Tante," jawabnya pelan. "Kita mau kerja kelompok di sini, Mom. Nggak apa-apa, kan?" tanya Hanin, sedangkan Hanan sudah ngacir ke kamar duluan. Dia sudah gerah dan tidak sabar ingin mandi sebelum mengerjaka
Hanan menggeleng lagi. "Gue akan bertugas mencatat pertanyaan aja. Zahra yang jadi moderator dan Hanum kebagian menjawab pertanyaan," jelasnya kemudian. "Kalau kamu udah atur tugas kita masing-masing nggak perlu nanya kayak tadi, Nan," tegur Hanum dengan gelengan kepalanya. Hanan tak menjawab. "Jadi Zahra moderator, nih?" gumam Zahra karena untuk pertama kalinya dia tunjuk seperti ini. "Iya." Ketiga temannya itu mengangguk serentak. "Tapi, Zahra nggak punya pengalaman lhooo," rengeknya. "Sebelum presentasi tiba, kamu masih bisa belajar di rumah kok, Ra," sahut Hanum, memberikan senyuman menenangkannya. "Tetap saja. Zahra takut gugup," balasnya lagi. "Nggak boleh protes. Gue udah kasih tugas masing-masing. Jadi, jangan sampai presentasi kita ini dapat nilai rendah. Paham kalian!" ujar Hanan penuh ketegasan.
"Kenapa, Dad?" Hanin langsung melayangkan pertanyaan dengan nada penuh protes. Akan tetapi, Abian tetap menatap si kembar penuh ketegasan. "Turuti perkataan Daddy. Kalian akan mengalami hal buruk kalau tetap berteman dengan dia. Ini demi kebaikan kalian berdua," ujar Abian penuh penekanan. Hanin tertawa miris. "Hanin tidak menyangka kalau Daddy sampai mengekang anaknya seperti ini. Dalam pertemanan saja dibatasi!" balasnya tak suka. Dia senang berteman dengan Zahra. Zahra selalu mengasyikkan meski terkadang kesal dengan kepolosan gadis itu. "Hanin, jangan membangkang Daddy, ok?" pinta Abian dengan helaan napas pelan. "Daddy punya alasan untuk ini. Percaya sama Daddy, Daddy tidak pernah melarang satu hal kalau itu tidak merugikan kalian. Tolong pahamilah permintaan Daddy kali ini." Abian menatap si kembar lekat. Dia berharap si kembar bisa mengerti keadaan sekarang. Ketakutan Abian sejak dulu adalah sebuah
"Tapi, nggak harus memperkekang pertemanan anak-anaknya juga, Nan," sahut Hanin cepat. "Apa salah Zahra coba? Yang ada dia sedih pas kita tiba-tiba menjauh dari dia. Kasihan tahu lho, Nan. Memang gue selalu kesal sama tingkah polosnya, tapi gue nggak tega melihatnya sendirian nanti tanpa teman-teman. Lo tahu sendiri kalau di kelas, dia cuman dekat sama kita aja." "Gue tahu." Hanan bersandar di sisi meja belajar Hanin. Lalu bersedekap dada dan menatapi kembarannya itu. "Tapi, kita tidak tahu alasan Daddy sebenarnya." "Lo kenapa selalu dipihak Daddy, sih?" sungut Hanin kesal. Larangan Daddy kali ini nggak masuk akal, lho. Bukannya selama ini Daddy memperbolehkan kita berteman dengan siapa saja?" Hanan mendengkus pelan. "Coba ambil sisi lainnya dulu, Nin. Sekarang kita pikirkan alasan Daddy yang katanya demi kebaikan kita. Itu artinya Daddy sedang menjauhkan kita dari bahaya. Meski sepenuhnya gue nggak setuju juga dengan larangan Daddy. Tapi
Tanpa disadari dua gadis itu. Hanan sejak tadi memperhatikan mereka, mendesah pelan, Hanan kembali teringat dengan pembicaraan Daddy dan Mommynya kemarin malam. Saat itu Hanan tidak sengaja mendengar semuanya. Dia penasaran dengan alasan dari Daddynya itu sehingga memutuskan untuk menguping, meski itu adalah tindakan tidak sopan. Hanan pun perlahan bisa mengerti akan kecemasan Daddynya itu, sehingga memberikan ide dan jalan keluar padanya dan juga Hanin agar keduanya tetap bisa berteman dengan Zahra. "Demen lo sama Zahra?" Hanan langsung menoleh ke arah teman satu mejanya, ternyata dia ketahuan menatap kembarannya dan Zahra. Pemuda itu menyeringai lebar, menjadikan Hanan mendengkus pelan melihatnya. Raut wajahnya masih datar dan tidak niat membalas ucapan temannya tadi. "Zahra cantik kok, nggak masalah lo naksir sama dia. Artinya lo itu normal Pak ketua," seloroh pemuda di sebelah Hanan itu lagi. Hanan kembali mendengkus. T
Meski Hanin sering berisik dan suka berteriak tidak jelas. Bila jatuh sakit seperti ini, mansion akan terasa sepi sekali. Baik Hendra dan Hanan merasakan kehilangan, Hanin yang biasanya aktif dan lincah ke sana kemari kini terbaring lemah di kasur empuknya dengan handuk kecil di dahinya. Hanin jatuh sakit setelah traumanya kembali, hal ini terjadi untuk pertama kalinya setelah Hanin melihat lelaki yang mirip Arifin itu lagi. Hanan pun menceritakan semuanya pada sang mommy, sehingga Flora menyarankan Abian untuk membawa putri mereka ke konseling psikologi. Agar trauma Hanin tidak semakin parah nantinya. Dan, pagi ini Hanan berangkat ke sekolah seorang diri. Rasanya tidak enak sekali karena tidak ada Hanin di sampingnya. Tidak ada Hanin yang merecokinya, tidak ada yang menggodanya dengan suara cempreng nan mengesalkan itu. Hanan mendesah pelan, walau dirinya terlihat cuek dari luar, tetap saja dia merasa khawatir dengan Hanin. "Lho, tumben Hanan datang se