Hujan deras terus mengguyur di selingi dengan petir yang terus menyambar. Bahkan kabut tipis menyelimuti alam. Sedikit menghalangi pemandangan Abian yang kini terlihat begitu cemas.
Mobil milik Abian terus melaju dengan kecepatan tinggi membelah derasanya hujan dan jalanan berliku mengikuti menuju titik GPS ponsel Flora berada.Pria itu hampir gila saat membayangkan kemungkinan buruk yang mungkin tengah Flora alami sekarang. la menyesal karena tidak menjemput Flora dan malah membiarkan ia pulang sendirian."Flora, bertahanlah, aku akan segera datang." Abian bergumam dengan wajah gusar.Sesekali ia memukul kemudi untuk melepaskan rasa tegang dan gelisahnya.Semakin lama, Abian semakin merasa asing dengan tempat itu. la sempat ragu saat mobilnya memasuki kawasan hutan belantara. Tapi titik GPS itu menunjukkan kalau ponsel Flora berada di sana.Sementara itu di tempat lain.Guyuran deras air hujan yang tercurah dari langitBab 186"Flora!" Abian menepuk pipi Flora. Jantung Abian berdebar kencang hingga tubuhnya bergetar. Rasa takut mulai menyelimutinya. Bagaimana kalau Flora benar-benar pergi meninggalkannya?"Tidak... tidak kau tidak boleh meninggalkan aku Flora ." Abian menggelengkan kepalanya. la segera memeriksa denyut nadi Flora. Dan Abian menghela napasnya saat denyut nadi Flora masih terasa walaupun sudah melemah.Dalam keadaan panik Abian segera melakukan CPR sebagai penyelamatan pertama untuk menolong nyawa Flora.Flora yang seperti terlempar ke dunia lain beberapa saat yang lalu kini merasakan sebuah kehangatan muncul tiba-tiba. la merasakan tangan hangat sedang memeluknya.Pada saat itu Abian sedang melakukan pernapasan buatan pada Flora. Dan di saat itulah Flora merasakan ada aliran udara yang perlahan memenuhi rongga jantungnya."Uhuk... uhuk... uhuk...!"Flora akhirnya tersadar dan mengeluarkan semua air yang memenuhi rongga
Flora menceritakan semua yang terjadi pada dirinya sore itu. Abian dan Kala mendengarkan dengan seksama. Abian sepertinya menahan geram. Terlihat dari beberapa kali ia mengepalkan tangannya. "Pak saya yakin pelakunya adalah orang yang tidak ingin melihat kalian bahagia." Kala menyatakan pendapatnya. Abian juga sependapat. Tapi siapa kira-kira yang berani melakukan hal senekat itu? Pikiran Abian tertuju pada Arifin. Dia adalah salah satu orang yang berpotensi melakukan kejahatan seperti ini karena Arifin merasa sudah tidak ada harapan lagi memiliki Flora jadi bisa saja dia berbuat nekad. "Kurang ajar, kau pasti akan merasakan akibatnya Arifin. Jika kau memang benar pelakunya aku tidak akan segan menyeretmu kembali ke penjara!" Abian memukulkan tangannya ke atas meja. "Apa kau yakin pelakunya dia Mas?" Flora memicingkan matanya. Sebenarnya dia juga sependapat dengan Abian tetapi dia masih ragu apa mungkin Arifi
Abian berjalan menuju parkiran, dia telah mencoret nama Arifin dari daftar orang yang ia curigai. Lalu siapa kira-kira orang yang berpotensi besar menginginkan kematian Flora?Abian terus menduga-duga, apakah mungkin saingan bisnisnya yang menginginkan dia terpuruk dan berakibat mengganggu konsentrasi kerjanya? Tetapi selama ini dia tidak merasa mempunyai saingan bisnis seperti itu.Drrrtt...Ponselnya berbunyi. Ada sebuah pesan masuk dari orang yang tidak dikenal."Datanglah ke rooftof apartemen Night Blue malam ini." Abian membaca pelan pesan yang tertera di layar ponselnya.Pria itu mengerutkan keningnya. Siapa yang mengirim pesan ini padanya."Apartemen Night Blue? Apartemen siapa itu?" Abian kembali bergumam."Apa mungkin ini adalah pesan dari orang yang mencelakakan Flora?" Abian merasa penasaran.Tepat pukul tujuh Abian sudah sampai di tempat yang di janjikan oleh pengirim pesan anonim pada ponselnya.
"Dooor!!" Siska melepaskan tembakannya ke udara."Jangan takut Abi. Kita akan sama-sama pergi dari dunia ini. Kita akan bersama selamanya. Tidak akan pernah terpisahkan." Siska tersenyum.Abian menyugar rambutnya. la berusaha untuk tetap tenang dan bersikap lebih lunak pada gadis itu. Siska sedang kalap dan ia tidak boleh bertindak secara gegabah."Siska kita bisa membicarakan ini dengan kepala dingin. Sekarang tolong turunkan dulu senjata itu." Abian bicara dengan lebih lembut."Aku mencintaimu Abian, aku lebih rela kalau kau mati bersama denganku daripada melihatmu hidup bersama perempuan lain." Siska masih monodongkan senjata api tersebut mengarah ke arah kepala Abian.Abian menghela napas dan menahannya sejenak. Dia sungguh tidak menyangka jika Siska akan benar-benar nekad melakukan hal seperti itu.Lelehan air mata terus membasahi wajah Siska yang pucat. Tangannya bergetar sembari terus menodongkan senjata api tersebut ke ar
Mobil Abian melesat menuju rumah sakit tempat Flora di rawat. Saat itu waktu menunjukan hampir tengah malam. Flora mungkin sudah tidur.Abian membuka pintu ruangan dengan perlahan namun dia dikejutkan dengan Flora yang masih terbangun dengan wajah kesal."Astaga... Flora kau masih belum tidur?" Abian termangu."Menututmu?" Flora menjawab ketus. Dia tidak bisa tidur karena tidak ada kabar dari Abian sama sekali sampai tengah malam seperti ini."Sayang, maafkan aku yang pulang terlambat." Abian langsung memburu Flora untuk memeluk wanita itu. Namun Flora menolak pelukan Abian."Mas noda apa ini?" Perhatian Flora malah tertuju pada lengan baju Abian yang terdapat noda darah."Ah, ini... ini adalah noda darah." Abian menjawab dengan sedikit ragu."Noda darah? Darah siapa? Kau tidak apa-apa kan Mas?" Flora yang awalnya kesal berubah menjadi cemas. Dia segera memeriksa tubuh Abian, khawatir suaminya itu terluka."Aku
Flora sudah menduga kalau pagi ini dia akan bangun kesiangan. Ketika membuka mata, Flora melihat cahaya matahari masuk dari celah jendela. Meringis pelan, Flora merasakan kalau tubuhnya pegal sekali karena habis di gempur oleh singa lapar."Sudah bangun?" Suara dari arah belakangnya membuat Flora menoleh sekilas. Ternyata Abian juga baru bangun, Flora mendengkus pelan sembari bergumam tak jelas."Jam berapa?" tanya Flora, suaranya terdengar serak karena baru bangun tidur. Membiarkan Abian memeluk tubuh darinya belakang."Jam 10," jawab Abian.Ah, pantas saja cacing di dalam perutnya ini berdemo hebat.Pasti karena kelaparan dan tak sabar minta di isi. Flora mengubah posisi tidurnya menjadi telentang, menatap langit-langit kamar. Tiba-tiba pipinya memanas mengingat kegiatan mereka malam tadi yang hampir selesai saat subuh hendak tiba."Maaf, ya?" lirih Abian, membuat Flora menaikkan satu alisnya. Kenapa suaminya ini minta maaf.
Abian tersenyum kecut mendengar perkataan polos putrinya itu."Nggak! Pokok, ya Hanan mau punya adik, Dad! Jangan dengarkan Hanin!" Sekarang malah si sulung yang membuka pendapat. Bikin Abian pusing saja, ini cebongnya aja belum jadi kenapa dua anaknya malah beda pendapat?"Tidak mau! Anin tidak mau punya adik!" pekik Hanin bahkan nyaris berteriak. Abian menghela napas pelan, paginya sudah dihadapkan dengan perdebatan si kembar padahal mereka baru saja berjumpa setelah Abian dan Flora mengalami masa sulit."Eh, jangan berantem pagi-pagi gini, ya?" pinta Abian. Lelaki itu mendudukkan tubuhnya di tengah-tengah si kembar. Dirinya menjadi penengah sekarang. "Sekarang Daddy tanya sama Hanin, kenapa tidak mau punya adik? Kan, kalau punya adik, Hanin dapat temam baru lho."Hanin menggeleng cepat. "Tidak mau saja! Nanti kalau ada adik baru, Hanin tidak di sayang sama Daddy dan Mommy lagi," balasnya. Dan, itu alasan sangat klasik. Oh, ayolah, baru saja Abi
"Sayang, suapi dong," ujarnya dengan nada manja.Sumpah demi apa, Flora sebenarnya geli dengar nada suara Abian seperti itu. Tapi, ini suaminya. Flora seharusnya bersyukur karena Abian mau bermanja dengannya padahal mereka sudah lumayan lama menikah, benih-benih cinta itu masih ada."Emangnya kamu belum sarapan, Mas?" tanya Flora.Abian menggeleng pelan. "Tadi cuman suapi Hanin aja," sahutnya. "Sekarang gantian dong, Mommy yang suapi Daddy."Menjadikan Flora mendengkus geli, tak urung menyuapi Abian dengan telaten. Mumpung si kembar lagi anteng, jadi Abian menyempatkan momen ini untuk bermanja ria dan bermesraan bersama Flora.Wanita itu berdiri dari duduknya hendak membuang sisa tempat bubur mereka tadi ke tempat sampah, sekalian mengambil air minumnya yang habis.Melihat itu, Abian pun langsung mengikut Flora. Dia merasa aman karena si kembar masih anteng saja seraya memeluk Flora dari belakang. Sebab istrinya itu mengambil air
Zahra masih saja setia menunduk, tidak berani menatap pria paruh baya yang sejak tadi menatapnya dengan sorot tajam. Zahra sangat takut, takut sekali, di saat seperti ini dia membutuhkan perlindungan dari papinya. Tapi, Papi sudah bahagia di sisi Tuhan sekarang. Maka itu, yang Zahra lakukan adalah saling meremas kedua tangannya satu sama lain. "Tinggalkan putraku, saya mohon padamu untuk kali ini. Biarlah kau anggap saya ini sebagai ayah yang egois. Tapi, saya melakukan ini demi kebaikan dan keselamatan putraku," ujar Abian dengan suara beratnya. Menatap Zahra yang masih menunduk. Tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana raut wajah gadis itu. "Kalian tidak bisa bersama." Abian menahan napasnya. "Masa lalu Papi mu akan selalu menghantuimu meski dia sudah meninggal. Mereka tidak akan pernah puas sebelum membuatmu mati. Karena keturunan dari almarhum Marion harus mati ditangan mereka, demi membalaskan dendam. Musuh-musuh Papi mu terlalu banyak. Hanan akan terus terancam bila berad
Sepuluh bulan kemudian. "Dad, Hanan nggak apa-apa, kan?" Hanin yang baru saja tiba dengan mommynya di rumah sakit, langsung saja memberondong daddynya dengan pertanyaan. Hanin rasanya ingin pingsan kala mendengar apa yang menimpa kembarannya itu. Tapi, Hanin harus kuat karena ada mommynya yang lebih syok saat mendengar kembarannya di serang. Dan, itu di luar jangkauan dari daddynya. Semenjak SMA dan Hanan pandai beladiri. Kembaranya itu meminta dengan sendirinya untuk tidak ada pengawal yang lagi menjaganya dari kejauhan. Hanan merasa bisa menjaga dirinya sendiri, maka itu meminta Daddynya membayar pengawal untuk menjaganya dan Hendra saja bila di luar rumah. Namun, kembarannya itu sudah sok jagoan sekali. Tapi, ujung-ujungnya berakhir seperti ini. Abian yang ditanya putrinya itu menggeleng pelan. Wajahnya pucat pasi bak mayat sekarang. Di melihat dengan mata kepalanya sendiri, ada dua bekas tusukan yang di dapat putranya itu. Dia terus berdoa dalam hati dan terus meminta pada Tu
"Rumah lo di mana?" tanya Hanan setelah itu. "Ntar Zahra kasih tahu jalannya. Hanan lurus aja dulu, nanti ada pertigaan baru belok kiri," jawab Zahra agak kuat takut Hanan tidak mendengar bila suaranya kecil. "Ok." Hanan mengangguk pelan. Matanya kembali menatap ke arah spion. Saat tiba dipertigaan, dia langsung berbelok kiri dan benar saja mobil di belakang sana ikut belok juga. Hanan menyeringai lebar. "Kayaknya mereka mau main-main sama gue, nih," batinnya. Hanan pernah mengalami siatusi seperti ini. Saat itu ada Pak supir yang ahli mengelebui orang-orang yang menguntit mobil mereka. Maka dari itu juga Hanan belajar juga. "Zahra!" panggilnya. "Ya?" "Pegangan yang kuat!" ucap Hanan. "Eh, kenapa?" Zahra melotot kecil. Dia malah malu ketika mau memeluk Hanan. Yang tadi hanya spontan saja. Zahra tidak mau mengulangi hal seperti itu lagi. Tapi, kali ini dia langsung berpegangan pada ujung jaket Hanan tanpa memeluk Hanan. "Pokoknya pegangan yang kenceng, ya!" Hanan mewanti
Sebagai teman yang baik. Zahra membawakan buah tangan untuk menjenguk Hanin. Dia sempat mampir ke toko roti dan toko buah sebelum pergi ke rumah Hanin. Gadis itu dengan perasaan riangnya menjenguk Hanin yang sejak pagi sudah tidak dia temui. Rasanya Zahra rindu, karena saat bersama Hanin, dia merasa aman karena Hanin selalu melindunginya kapanpun. Zahra juga dapat merasakan sosok kakak bila di samping Hanin. Mobil Zahra yang baru tiba di depan gerbang rumah Hanin langsung terhenti karena pintu gerbangnya tak dibukakan sama sekali. Zahra langsung membuka kaca jendelanya untuk meminta sang satpam membuka gerbang di depan sana. Namun, satpam itu malah menolaknya. "Zahra ini teman Hanin lho, Pak." Zahra menghela napas pelan dengan bibir mengerucut. "Zahra ke sini juga mau jenguk Hanin yang lagi sakit. Zahra pun udah pernah datang ke sini. Pak satpam nggak kenal sama Zahra, ya?" todongnya dengan jari telunjuknya. "Maaf, Nona.
Meski Hanin sering berisik dan suka berteriak tidak jelas. Bila jatuh sakit seperti ini, mansion akan terasa sepi sekali. Baik Hendra dan Hanan merasakan kehilangan, Hanin yang biasanya aktif dan lincah ke sana kemari kini terbaring lemah di kasur empuknya dengan handuk kecil di dahinya. Hanin jatuh sakit setelah traumanya kembali, hal ini terjadi untuk pertama kalinya setelah Hanin melihat lelaki yang mirip Arifin itu lagi. Hanan pun menceritakan semuanya pada sang mommy, sehingga Flora menyarankan Abian untuk membawa putri mereka ke konseling psikologi. Agar trauma Hanin tidak semakin parah nantinya. Dan, pagi ini Hanan berangkat ke sekolah seorang diri. Rasanya tidak enak sekali karena tidak ada Hanin di sampingnya. Tidak ada Hanin yang merecokinya, tidak ada yang menggodanya dengan suara cempreng nan mengesalkan itu. Hanan mendesah pelan, walau dirinya terlihat cuek dari luar, tetap saja dia merasa khawatir dengan Hanin. "Lho, tumben Hanan datang se
Tanpa disadari dua gadis itu. Hanan sejak tadi memperhatikan mereka, mendesah pelan, Hanan kembali teringat dengan pembicaraan Daddy dan Mommynya kemarin malam. Saat itu Hanan tidak sengaja mendengar semuanya. Dia penasaran dengan alasan dari Daddynya itu sehingga memutuskan untuk menguping, meski itu adalah tindakan tidak sopan. Hanan pun perlahan bisa mengerti akan kecemasan Daddynya itu, sehingga memberikan ide dan jalan keluar padanya dan juga Hanin agar keduanya tetap bisa berteman dengan Zahra. "Demen lo sama Zahra?" Hanan langsung menoleh ke arah teman satu mejanya, ternyata dia ketahuan menatap kembarannya dan Zahra. Pemuda itu menyeringai lebar, menjadikan Hanan mendengkus pelan melihatnya. Raut wajahnya masih datar dan tidak niat membalas ucapan temannya tadi. "Zahra cantik kok, nggak masalah lo naksir sama dia. Artinya lo itu normal Pak ketua," seloroh pemuda di sebelah Hanan itu lagi. Hanan kembali mendengkus. T
"Tapi, nggak harus memperkekang pertemanan anak-anaknya juga, Nan," sahut Hanin cepat. "Apa salah Zahra coba? Yang ada dia sedih pas kita tiba-tiba menjauh dari dia. Kasihan tahu lho, Nan. Memang gue selalu kesal sama tingkah polosnya, tapi gue nggak tega melihatnya sendirian nanti tanpa teman-teman. Lo tahu sendiri kalau di kelas, dia cuman dekat sama kita aja." "Gue tahu." Hanan bersandar di sisi meja belajar Hanin. Lalu bersedekap dada dan menatapi kembarannya itu. "Tapi, kita tidak tahu alasan Daddy sebenarnya." "Lo kenapa selalu dipihak Daddy, sih?" sungut Hanin kesal. Larangan Daddy kali ini nggak masuk akal, lho. Bukannya selama ini Daddy memperbolehkan kita berteman dengan siapa saja?" Hanan mendengkus pelan. "Coba ambil sisi lainnya dulu, Nin. Sekarang kita pikirkan alasan Daddy yang katanya demi kebaikan kita. Itu artinya Daddy sedang menjauhkan kita dari bahaya. Meski sepenuhnya gue nggak setuju juga dengan larangan Daddy. Tapi
"Kenapa, Dad?" Hanin langsung melayangkan pertanyaan dengan nada penuh protes. Akan tetapi, Abian tetap menatap si kembar penuh ketegasan. "Turuti perkataan Daddy. Kalian akan mengalami hal buruk kalau tetap berteman dengan dia. Ini demi kebaikan kalian berdua," ujar Abian penuh penekanan. Hanin tertawa miris. "Hanin tidak menyangka kalau Daddy sampai mengekang anaknya seperti ini. Dalam pertemanan saja dibatasi!" balasnya tak suka. Dia senang berteman dengan Zahra. Zahra selalu mengasyikkan meski terkadang kesal dengan kepolosan gadis itu. "Hanin, jangan membangkang Daddy, ok?" pinta Abian dengan helaan napas pelan. "Daddy punya alasan untuk ini. Percaya sama Daddy, Daddy tidak pernah melarang satu hal kalau itu tidak merugikan kalian. Tolong pahamilah permintaan Daddy kali ini." Abian menatap si kembar lekat. Dia berharap si kembar bisa mengerti keadaan sekarang. Ketakutan Abian sejak dulu adalah sebuah
Hanan menggeleng lagi. "Gue akan bertugas mencatat pertanyaan aja. Zahra yang jadi moderator dan Hanum kebagian menjawab pertanyaan," jelasnya kemudian. "Kalau kamu udah atur tugas kita masing-masing nggak perlu nanya kayak tadi, Nan," tegur Hanum dengan gelengan kepalanya. Hanan tak menjawab. "Jadi Zahra moderator, nih?" gumam Zahra karena untuk pertama kalinya dia tunjuk seperti ini. "Iya." Ketiga temannya itu mengangguk serentak. "Tapi, Zahra nggak punya pengalaman lhooo," rengeknya. "Sebelum presentasi tiba, kamu masih bisa belajar di rumah kok, Ra," sahut Hanum, memberikan senyuman menenangkannya. "Tetap saja. Zahra takut gugup," balasnya lagi. "Nggak boleh protes. Gue udah kasih tugas masing-masing. Jadi, jangan sampai presentasi kita ini dapat nilai rendah. Paham kalian!" ujar Hanan penuh ketegasan.