"Dooor!!" Siska melepaskan tembakannya ke udara.
"Jangan takut Abi. Kita akan sama-sama pergi dari dunia ini. Kita akan bersama selamanya. Tidak akan pernah terpisahkan." Siska tersenyum.Abian menyugar rambutnya. la berusaha untuk tetap tenang dan bersikap lebih lunak pada gadis itu. Siska sedang kalap dan ia tidak boleh bertindak secara gegabah."Siska kita bisa membicarakan ini dengan kepala dingin. Sekarang tolong turunkan dulu senjata itu." Abian bicara dengan lebih lembut."Aku mencintaimu Abian, aku lebih rela kalau kau mati bersama denganku daripada melihatmu hidup bersama perempuan lain." Siska masih monodongkan senjata api tersebut mengarah ke arah kepala Abian.Abian menghela napas dan menahannya sejenak. Dia sungguh tidak menyangka jika Siska akan benar-benar nekad melakukan hal seperti itu.Lelehan air mata terus membasahi wajah Siska yang pucat. Tangannya bergetar sembari terus menodongkan senjata api tersebut ke arMobil Abian melesat menuju rumah sakit tempat Flora di rawat. Saat itu waktu menunjukan hampir tengah malam. Flora mungkin sudah tidur.Abian membuka pintu ruangan dengan perlahan namun dia dikejutkan dengan Flora yang masih terbangun dengan wajah kesal."Astaga... Flora kau masih belum tidur?" Abian termangu."Menututmu?" Flora menjawab ketus. Dia tidak bisa tidur karena tidak ada kabar dari Abian sama sekali sampai tengah malam seperti ini."Sayang, maafkan aku yang pulang terlambat." Abian langsung memburu Flora untuk memeluk wanita itu. Namun Flora menolak pelukan Abian."Mas noda apa ini?" Perhatian Flora malah tertuju pada lengan baju Abian yang terdapat noda darah."Ah, ini... ini adalah noda darah." Abian menjawab dengan sedikit ragu."Noda darah? Darah siapa? Kau tidak apa-apa kan Mas?" Flora yang awalnya kesal berubah menjadi cemas. Dia segera memeriksa tubuh Abian, khawatir suaminya itu terluka."Aku
Flora sudah menduga kalau pagi ini dia akan bangun kesiangan. Ketika membuka mata, Flora melihat cahaya matahari masuk dari celah jendela. Meringis pelan, Flora merasakan kalau tubuhnya pegal sekali karena habis di gempur oleh singa lapar."Sudah bangun?" Suara dari arah belakangnya membuat Flora menoleh sekilas. Ternyata Abian juga baru bangun, Flora mendengkus pelan sembari bergumam tak jelas."Jam berapa?" tanya Flora, suaranya terdengar serak karena baru bangun tidur. Membiarkan Abian memeluk tubuh darinya belakang."Jam 10," jawab Abian.Ah, pantas saja cacing di dalam perutnya ini berdemo hebat.Pasti karena kelaparan dan tak sabar minta di isi. Flora mengubah posisi tidurnya menjadi telentang, menatap langit-langit kamar. Tiba-tiba pipinya memanas mengingat kegiatan mereka malam tadi yang hampir selesai saat subuh hendak tiba."Maaf, ya?" lirih Abian, membuat Flora menaikkan satu alisnya. Kenapa suaminya ini minta maaf.
Abian tersenyum kecut mendengar perkataan polos putrinya itu."Nggak! Pokok, ya Hanan mau punya adik, Dad! Jangan dengarkan Hanin!" Sekarang malah si sulung yang membuka pendapat. Bikin Abian pusing saja, ini cebongnya aja belum jadi kenapa dua anaknya malah beda pendapat?"Tidak mau! Anin tidak mau punya adik!" pekik Hanin bahkan nyaris berteriak. Abian menghela napas pelan, paginya sudah dihadapkan dengan perdebatan si kembar padahal mereka baru saja berjumpa setelah Abian dan Flora mengalami masa sulit."Eh, jangan berantem pagi-pagi gini, ya?" pinta Abian. Lelaki itu mendudukkan tubuhnya di tengah-tengah si kembar. Dirinya menjadi penengah sekarang. "Sekarang Daddy tanya sama Hanin, kenapa tidak mau punya adik? Kan, kalau punya adik, Hanin dapat temam baru lho."Hanin menggeleng cepat. "Tidak mau saja! Nanti kalau ada adik baru, Hanin tidak di sayang sama Daddy dan Mommy lagi," balasnya. Dan, itu alasan sangat klasik. Oh, ayolah, baru saja Abi
"Sayang, suapi dong," ujarnya dengan nada manja.Sumpah demi apa, Flora sebenarnya geli dengar nada suara Abian seperti itu. Tapi, ini suaminya. Flora seharusnya bersyukur karena Abian mau bermanja dengannya padahal mereka sudah lumayan lama menikah, benih-benih cinta itu masih ada."Emangnya kamu belum sarapan, Mas?" tanya Flora.Abian menggeleng pelan. "Tadi cuman suapi Hanin aja," sahutnya. "Sekarang gantian dong, Mommy yang suapi Daddy."Menjadikan Flora mendengkus geli, tak urung menyuapi Abian dengan telaten. Mumpung si kembar lagi anteng, jadi Abian menyempatkan momen ini untuk bermanja ria dan bermesraan bersama Flora.Wanita itu berdiri dari duduknya hendak membuang sisa tempat bubur mereka tadi ke tempat sampah, sekalian mengambil air minumnya yang habis.Melihat itu, Abian pun langsung mengikut Flora. Dia merasa aman karena si kembar masih anteng saja seraya memeluk Flora dari belakang. Sebab istrinya itu mengambil air
Selesai makan siang. Abian memboyong Flora dan si kembar ke suatu tempat, Flora yang tidak tahu tujuan ke mana di bawa Abian hanya bisa pasrah. Toh, saat bertanya pun percuma, karena Abian menjawab dengan tidak jelas."Nanti juga kamu tahu kok." Hanya itu jawaban yang diberikan Abian. Jadi Flora memilih diam saja. Menatap si kembar yang duduk di kursi belakang dan sibuk bermain dengan mainan sendiri. Untuk hari ini Flora biarkan mereka libur sekolah, tapi tidak untuk besok. Tidak baik mereka libur mulu, yang ada nanti ketinggalan pelajaran walau Abian sudah meminta rekap pelajaran yang sudah dipelajari kala si kembar libur, pada wali kelas si kembar."Pegangan mulu, Mas. Kayak mau nyebrang aja," cibir Flora, melirik tangannya yang sejak tadi genggam oleh Abian dan sesekali di cium oleh lelaki itu. Ah, Flora saja bisa merasakan kalau telapak dan punggung tangannya itu sudah basah karena keseringan di cium Abian."Aku sangat sangat bersyukur memiliki kalian
"Tapi, di sini nggak ada hantu, ya, kan, Mom?" tanya Hanin, sedikit ngawur memang. "Hanin tidak mau tidur berdua sama Hanan kalau ada hantu."Abian tertawa pelan jadinya. "Ya, kali ada hantu sayang." Dia menggendong Hanan dan membawanya duduk di ranjang Hanin. "Percaya sama Daddy, deh, tidak ada hantu di sini ," sambungnya."Hanin memang penakut, Dad," sahut Hanan, tersenyum miring menatap adiknya yang kini mendelik tidak suka."Bukan takut. Hanya saja tidak suka melihat wajah hantu yang menyeramkan!" kilah Hanin. Tidak mau dianggap penakut oleh siapapun."Memangnya Hanin pernah lihat hantu?" tanya Abian kepo."Pernah, Dad!" jawab Hanin cepat. "Waktu pernah lihat di ponsel Oma Ranti. Hantu ya serem banget," ceritanya menggebu-gebu."Itu bukan hantu Hanin ." Terlihat Hanan menghela napas pelan. "Itu boneka hidup yang suka membunuh orang," jelasnya lagi.Tapi, Hanin memang tidak pernah percaya. Dia lebih percaya dengan per
Sementara itu di mansion baru Abian. Semua orang berukumpul di ruang tengah untuk melepas kepergian Abian dan Flora yang akan honeymoon. Di sana sudah ada Ranti yang akan menjaga si kembar dalam waktu yang dekat."Kalian berapa hari di Swiss?" tanya Ranti, menatap dua koper berukuran besar terletak di sisi sofa. Flora sudah di monopoli si kembar karena tidak mau ditinggal oleh sang mama."Dua hari di Swiss dan dua hari di Paris, Ma. Setelah itu kita akan pulang ke Indo lagi," jelas Abian. Menatap si kembar yang terus memeluk Flora. Sejujurnya Abian tidak tega meninggalkan si kembar sedangkan mereka berliburan berdua. Tapi, tidak mungkin juga mereka pergi berempat, si kembar harus sekolah dan mereka pun butuh waktu untuk honeymoon untuk melepaskan penat sekaligus membuat adik untuk Hanan dan Hanin."Sayang..., kalian tinggal sama Oma yah selama empat hari, ya?" bujuk Abian, dia duduk di sebelah Hanin yang terus memeluk Flora."Empat hari itu lama,
Swiss, pukul 07.00 setempat.Flora baru saja terbangun, tubuhnya sangat lelah apalagi subuh tadi Abian minta dilayani, padahal mereka baru menghabiskan belasan jam di pesawat. Ya, Abian kembali mengamuk di atas ranjang dan terus menggaulinya tanpa ampun. lya, Flora saja hampir menyerah dengan kebrutalan suaminya itu. Tapi, Flora terkadang merasa ketagihan juga.Pipi Flora bersemu merah ketika berbaring ke kanan dia mendapati wajah Abian yang masih terlelap. Kalau sudah begini, Abian terlihat tampan sekali. Apalagi saat berada di atasnya dan mengukung Flora tanpa ampun, ya kenapa juga Flora harus mengingat momen-momen mereka itu, sih? Bikin malu saja, tapi sekaligus senang juga. Ah, Flora bingung dengan dirinya sendiri sekarang.Tangan Flora bergerak mengusap hidung mancung Abian. Berbeda sekali dengan hidungnya yang berukuran sedang. Bahkan si kembar menuruni bentuk hidung Abian yang mancung."Sudah bangun?" Suara serak Abian menyentakkan Flora.
Zahra masih saja setia menunduk, tidak berani menatap pria paruh baya yang sejak tadi menatapnya dengan sorot tajam. Zahra sangat takut, takut sekali, di saat seperti ini dia membutuhkan perlindungan dari papinya. Tapi, Papi sudah bahagia di sisi Tuhan sekarang. Maka itu, yang Zahra lakukan adalah saling meremas kedua tangannya satu sama lain. "Tinggalkan putraku, saya mohon padamu untuk kali ini. Biarlah kau anggap saya ini sebagai ayah yang egois. Tapi, saya melakukan ini demi kebaikan dan keselamatan putraku," ujar Abian dengan suara beratnya. Menatap Zahra yang masih menunduk. Tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana raut wajah gadis itu. "Kalian tidak bisa bersama." Abian menahan napasnya. "Masa lalu Papi mu akan selalu menghantuimu meski dia sudah meninggal. Mereka tidak akan pernah puas sebelum membuatmu mati. Karena keturunan dari almarhum Marion harus mati ditangan mereka, demi membalaskan dendam. Musuh-musuh Papi mu terlalu banyak. Hanan akan terus terancam bila berad
Sepuluh bulan kemudian. "Dad, Hanan nggak apa-apa, kan?" Hanin yang baru saja tiba dengan mommynya di rumah sakit, langsung saja memberondong daddynya dengan pertanyaan. Hanin rasanya ingin pingsan kala mendengar apa yang menimpa kembarannya itu. Tapi, Hanin harus kuat karena ada mommynya yang lebih syok saat mendengar kembarannya di serang. Dan, itu di luar jangkauan dari daddynya. Semenjak SMA dan Hanan pandai beladiri. Kembaranya itu meminta dengan sendirinya untuk tidak ada pengawal yang lagi menjaganya dari kejauhan. Hanan merasa bisa menjaga dirinya sendiri, maka itu meminta Daddynya membayar pengawal untuk menjaganya dan Hendra saja bila di luar rumah. Namun, kembarannya itu sudah sok jagoan sekali. Tapi, ujung-ujungnya berakhir seperti ini. Abian yang ditanya putrinya itu menggeleng pelan. Wajahnya pucat pasi bak mayat sekarang. Di melihat dengan mata kepalanya sendiri, ada dua bekas tusukan yang di dapat putranya itu. Dia terus berdoa dalam hati dan terus meminta pada Tu
"Rumah lo di mana?" tanya Hanan setelah itu. "Ntar Zahra kasih tahu jalannya. Hanan lurus aja dulu, nanti ada pertigaan baru belok kiri," jawab Zahra agak kuat takut Hanan tidak mendengar bila suaranya kecil. "Ok." Hanan mengangguk pelan. Matanya kembali menatap ke arah spion. Saat tiba dipertigaan, dia langsung berbelok kiri dan benar saja mobil di belakang sana ikut belok juga. Hanan menyeringai lebar. "Kayaknya mereka mau main-main sama gue, nih," batinnya. Hanan pernah mengalami siatusi seperti ini. Saat itu ada Pak supir yang ahli mengelebui orang-orang yang menguntit mobil mereka. Maka dari itu juga Hanan belajar juga. "Zahra!" panggilnya. "Ya?" "Pegangan yang kuat!" ucap Hanan. "Eh, kenapa?" Zahra melotot kecil. Dia malah malu ketika mau memeluk Hanan. Yang tadi hanya spontan saja. Zahra tidak mau mengulangi hal seperti itu lagi. Tapi, kali ini dia langsung berpegangan pada ujung jaket Hanan tanpa memeluk Hanan. "Pokoknya pegangan yang kenceng, ya!" Hanan mewanti
Sebagai teman yang baik. Zahra membawakan buah tangan untuk menjenguk Hanin. Dia sempat mampir ke toko roti dan toko buah sebelum pergi ke rumah Hanin. Gadis itu dengan perasaan riangnya menjenguk Hanin yang sejak pagi sudah tidak dia temui. Rasanya Zahra rindu, karena saat bersama Hanin, dia merasa aman karena Hanin selalu melindunginya kapanpun. Zahra juga dapat merasakan sosok kakak bila di samping Hanin. Mobil Zahra yang baru tiba di depan gerbang rumah Hanin langsung terhenti karena pintu gerbangnya tak dibukakan sama sekali. Zahra langsung membuka kaca jendelanya untuk meminta sang satpam membuka gerbang di depan sana. Namun, satpam itu malah menolaknya. "Zahra ini teman Hanin lho, Pak." Zahra menghela napas pelan dengan bibir mengerucut. "Zahra ke sini juga mau jenguk Hanin yang lagi sakit. Zahra pun udah pernah datang ke sini. Pak satpam nggak kenal sama Zahra, ya?" todongnya dengan jari telunjuknya. "Maaf, Nona.
Meski Hanin sering berisik dan suka berteriak tidak jelas. Bila jatuh sakit seperti ini, mansion akan terasa sepi sekali. Baik Hendra dan Hanan merasakan kehilangan, Hanin yang biasanya aktif dan lincah ke sana kemari kini terbaring lemah di kasur empuknya dengan handuk kecil di dahinya. Hanin jatuh sakit setelah traumanya kembali, hal ini terjadi untuk pertama kalinya setelah Hanin melihat lelaki yang mirip Arifin itu lagi. Hanan pun menceritakan semuanya pada sang mommy, sehingga Flora menyarankan Abian untuk membawa putri mereka ke konseling psikologi. Agar trauma Hanin tidak semakin parah nantinya. Dan, pagi ini Hanan berangkat ke sekolah seorang diri. Rasanya tidak enak sekali karena tidak ada Hanin di sampingnya. Tidak ada Hanin yang merecokinya, tidak ada yang menggodanya dengan suara cempreng nan mengesalkan itu. Hanan mendesah pelan, walau dirinya terlihat cuek dari luar, tetap saja dia merasa khawatir dengan Hanin. "Lho, tumben Hanan datang se
Tanpa disadari dua gadis itu. Hanan sejak tadi memperhatikan mereka, mendesah pelan, Hanan kembali teringat dengan pembicaraan Daddy dan Mommynya kemarin malam. Saat itu Hanan tidak sengaja mendengar semuanya. Dia penasaran dengan alasan dari Daddynya itu sehingga memutuskan untuk menguping, meski itu adalah tindakan tidak sopan. Hanan pun perlahan bisa mengerti akan kecemasan Daddynya itu, sehingga memberikan ide dan jalan keluar padanya dan juga Hanin agar keduanya tetap bisa berteman dengan Zahra. "Demen lo sama Zahra?" Hanan langsung menoleh ke arah teman satu mejanya, ternyata dia ketahuan menatap kembarannya dan Zahra. Pemuda itu menyeringai lebar, menjadikan Hanan mendengkus pelan melihatnya. Raut wajahnya masih datar dan tidak niat membalas ucapan temannya tadi. "Zahra cantik kok, nggak masalah lo naksir sama dia. Artinya lo itu normal Pak ketua," seloroh pemuda di sebelah Hanan itu lagi. Hanan kembali mendengkus. T
"Tapi, nggak harus memperkekang pertemanan anak-anaknya juga, Nan," sahut Hanin cepat. "Apa salah Zahra coba? Yang ada dia sedih pas kita tiba-tiba menjauh dari dia. Kasihan tahu lho, Nan. Memang gue selalu kesal sama tingkah polosnya, tapi gue nggak tega melihatnya sendirian nanti tanpa teman-teman. Lo tahu sendiri kalau di kelas, dia cuman dekat sama kita aja." "Gue tahu." Hanan bersandar di sisi meja belajar Hanin. Lalu bersedekap dada dan menatapi kembarannya itu. "Tapi, kita tidak tahu alasan Daddy sebenarnya." "Lo kenapa selalu dipihak Daddy, sih?" sungut Hanin kesal. Larangan Daddy kali ini nggak masuk akal, lho. Bukannya selama ini Daddy memperbolehkan kita berteman dengan siapa saja?" Hanan mendengkus pelan. "Coba ambil sisi lainnya dulu, Nin. Sekarang kita pikirkan alasan Daddy yang katanya demi kebaikan kita. Itu artinya Daddy sedang menjauhkan kita dari bahaya. Meski sepenuhnya gue nggak setuju juga dengan larangan Daddy. Tapi
"Kenapa, Dad?" Hanin langsung melayangkan pertanyaan dengan nada penuh protes. Akan tetapi, Abian tetap menatap si kembar penuh ketegasan. "Turuti perkataan Daddy. Kalian akan mengalami hal buruk kalau tetap berteman dengan dia. Ini demi kebaikan kalian berdua," ujar Abian penuh penekanan. Hanin tertawa miris. "Hanin tidak menyangka kalau Daddy sampai mengekang anaknya seperti ini. Dalam pertemanan saja dibatasi!" balasnya tak suka. Dia senang berteman dengan Zahra. Zahra selalu mengasyikkan meski terkadang kesal dengan kepolosan gadis itu. "Hanin, jangan membangkang Daddy, ok?" pinta Abian dengan helaan napas pelan. "Daddy punya alasan untuk ini. Percaya sama Daddy, Daddy tidak pernah melarang satu hal kalau itu tidak merugikan kalian. Tolong pahamilah permintaan Daddy kali ini." Abian menatap si kembar lekat. Dia berharap si kembar bisa mengerti keadaan sekarang. Ketakutan Abian sejak dulu adalah sebuah
Hanan menggeleng lagi. "Gue akan bertugas mencatat pertanyaan aja. Zahra yang jadi moderator dan Hanum kebagian menjawab pertanyaan," jelasnya kemudian. "Kalau kamu udah atur tugas kita masing-masing nggak perlu nanya kayak tadi, Nan," tegur Hanum dengan gelengan kepalanya. Hanan tak menjawab. "Jadi Zahra moderator, nih?" gumam Zahra karena untuk pertama kalinya dia tunjuk seperti ini. "Iya." Ketiga temannya itu mengangguk serentak. "Tapi, Zahra nggak punya pengalaman lhooo," rengeknya. "Sebelum presentasi tiba, kamu masih bisa belajar di rumah kok, Ra," sahut Hanum, memberikan senyuman menenangkannya. "Tetap saja. Zahra takut gugup," balasnya lagi. "Nggak boleh protes. Gue udah kasih tugas masing-masing. Jadi, jangan sampai presentasi kita ini dapat nilai rendah. Paham kalian!" ujar Hanan penuh ketegasan.