"Sudah lega?" "Hu-um." Aku mengangguk dengan tersenyum dan mengerjapkan mata, berusaha mengusir rasa kantuk yang sudah di ambang. Tangan ini diraih, dia menarikku menuju tempat parkir. Semua urusan sudah selesai. Sesekali aku melirik lelakiku yang sesekali menggeratkan genggaman.'Hmm ... aku sangat bangga memilikinya. Pandangan di luar gedung ini terlihat lengang. Hanya tukang sapu yang memulai aktifitas. Suara gerakan sapu lidi mengiringi semburat sinar matahari yang akan menunjukkan kekuasaannya. Malam sudah usai, dan sekarang sudah menjelang pagi. "Awas kepalamu," ucap Mas Suma dengan tangan kiri membukakan pintu, dan tangan kanan menekan kepalaku. Kebiasaan yang sering dia lakukan, tetapi tetap menimbulkan geleyar indah di hati. "Mas Suma yakin mengemudi sendiri? Tidak ngantuk?" "Tidak. Kan ada kamu yang jadi navigatornya," sahutnya sambil melempar senyuman. Pelan, mobil mulai berjalan. Namun tiba-tiba dihentikan. Dia melongokkan kepala ke depan,dan memutar pandangan. "A
"Ran. Aku ngantuk," ucapnya setelah mulutnya menguap. Kedua tangan diregangkan ke atas, kemudian ke samping kanan dan kiri. Dia pasti tidak hanya ngantuk, tetapi pegal juga. Kami belum mendapat kesempatan tidur."Minum ini dulu supaya segar." Aku menyodorkan minuman jahe panas. Minuman dengan jahe segar yang dimemarkan, diseduh dengan air panas, dengan pemanis madu. Ini tidak hanya menyegarkan, tetapi juga menambah tenaga. Dulu, Ibuk selalu menyiapkan untuk Bapak saat beliau lembur pekerjaan. Aku masih ingat saat Ibuk menuangkan minuman yang masih panas ke piring kecil, mengipas untuk mengurai uap panas. "Ini sudah hangat." Aku menyodorkan piring kecil berisi minuman, meniru yang diperlakukan Ibu dulu. "Terima kasih, Rani. My lovely wife ini memang is the best." Ungkapan yang terdengar gombalan, tetapi membuat hati ini menghangat. Mas Suma yang awalnya duduk tegak di sofa, tubuhnya mulai merosot. Bersandar beberapa saat, kemudian merebahkan diri dengan kepala di pegangan sofa.
Setuju. Akhirnya aku menyetujuinya, tidak hanya dengan keiklasan, akan tetapi juga dengan rasa bangga. Sangat jarang seorang mantan suami bertanggung jawab kepada keluarga mantan istri. Di luaran sana, siapa yang mau seperti Mas Suma? Kok mantan istri, anak sendiri saja sering diterlantarkan kalau mereka sudah berpisah. "Kita harus rahasiakan ini. Ingat, tujuan kita demi kebahagiaan Amelia, kan?" "Betul itu, Mas. Kalau begitu, jangan sampai berkas ini diketahui olehnya. Kamu harus menyimpannya. Kalau perlu dimusnahkan saja.""Pasti. Ini akan diurus oleh Desi. Dia pandai kalau melakukan hal ini. Kamu tidak usah khawatir, Amelia juga jarang berhubungan dengan Desi."Mas Suma terlihat merasa lega. Dia menatapku sejenak, sebelum menarik tubuh ini ke dalam pelukan. "Terima kasih, Rani. Aku sangat beruntung memilikimu," bisiknya sambil membubuhkan ciuman di kening ini. Mengusap lembut punggungku, dan semakin menenggelamkan aku ke dalam pelukannya. Merasa disayangi suami. Menghargai dan
Yang aku harapkan bukan seperti ini. Dalam bayanganku pun persis seperti di dalam dongeng di buku yang dulu aku baca. Cerita yang membuatku iri karena saat itu aku belum mempunyai ibu. Sekaligus bacaan sebagai penghibur kerinduan yang tidak pernah terbayar. Ternyata penantianku dari kecil sampai dewasa tidak seperti yang aku inginkan. Dalam pikiranku, aku tidur seranjang dengan Mami Dewi layaknya anak dan ibu. Saling mencurahkan kasih sayang, cinta, dan saling menguatkan. Bukan justru menyebar kebencian. [Kakak pulang. Pesananmu sudah Kakak belikan] Ketidaknyamanan luruh seketika karena kabar baik. Kak Wisnu pulang. Ini berarti kami dalam formasi lengkap. Kesempatan yang tidak boleh dilewatkan. Dan sekarang kami berenam berkumpul di ruang keluarga. Bukan Papi namanya, kalau tidak menyeletuk dan ngeselin. "Beneran Amelia sudah ada yang naksir lagi. Dulu Rangga, sekarang Kevin. Wah, keren. Kakak saja tidak laku-laku," seru Kak Wisnu sambil garuk-garuk kepala. "Itu yang ket
Nikmatnya memasak itu, bukan karena apa yang dimasak. Akan tetapi, kenikmatannya pada untuk siapa masakan itu disiapkan. Pagi yang terasa ringan di hati. Semangatku kembali seperti semula. Memasak dengan hati yang riang. "Bu Rani suaranya bagus," celetuk Bik Inah sambil senyum-senyum. Aku yang bersenandung lagi Harta Paling Berharga, tersenyum dan meneruskan nyanyianku. Memang tidak semerdu penyanyinya, tapi kebahagiaan yang aku rasakan begitu sangat. Dia meneruskan menggoreng potongan pisang dan adonan kue yang sudah aku siapkan. Sambil mendengarkan nyanyian yang terjeda, bahkan Bik Inah pun ikut bersenandung. ~Harta yang paling berharga adalah keluargaIstana yang paling indah adalah keluargaPuisi yang paling bermakna adalah keluargaMutiara tiada tara adalah keluarga~"Bik Inah. Pisang goreng yang sudah tidak berminyak, letakkan mengitari mangkuk ini, ya?" ucapku sambil menunjukkan piring besar beralaskan daun pisang, yang ditengahnya mangkuk berisi gula merah cair. Potong
Teriakanku mengundang Mas Suma keluar dari kamar. Dia tergopoh menghampiri kami, sambil mengancingkan kancing baju. Dari rambutnya yang sedikit basah terlihat dia baru saja selesai mandi. Mandi untuk kedua kali setelah semalam. "Kenapa-kenapa? Rani, kamu kenapa?" tanyanya menunjukkan wajah kebingungan. Dia menatap kami bergantian. "Tidak apa-apa, Pi. Ini lo, Kak Wisnu gangguin Mama," ucap Amelia menjelaskan. "Oh, aku pikir kamu teriak karena ada apa-apa. Kaget aku," ucap Mas Suma sambil memberikan tatapan kawatir kepadaku. Suamiku ini mengusap-usap punggungku sekilas. Sentuhan sesaat, tetapi menghangatkan hati ini. Aku membalasnya dengan senyuman, begitu juga dia. Sesaat, kami saling pandang di satu garis lurus. "Cie-cie, Papi, Mama. Tidak berperi kejomloan," celetuk Wisnu disambut tawa kecil Amelia. Yang bergabung bertambah lagi. Amelia aku suruh mengambil pisang goreng yang sudah ditata oleh Bik Inah di piring besar yang sudah aku siapkan tadi. Kami pindah ke meja makan
Melihat Mama bahagia dengan Papi Kusuma, hati ini merasa lega. Kebahagiaan Mama yang sempat terenggut, seakan tidak berbekas. Senyuman, candaan, bahkan kekesalan yang ditunjukkan Mama kepada Papi Suma, menunjukkan betapa indahnya hubungan mereka. Mereka selalu menunjukkan kemesraan yang sebenarnya. Setelah kejadian yang membuat pipi Mama memerah, entah kemana Papi menarik Mama. Sekarang tertinggal aku dan Amelia meneruskan makan sambil ngobrol. "Kak Wisnu." "Apa?" Aku menoleh dan mendapati dia mengarahkan ponsel ke arahku. "Amel mau bikin status. Pamer kalau punya kakak," ucapnya, kemudian sibuk berkutat dengan ponsel. Senyumku mengembang melihat Amelia. Dia begitu membanggakan aku. Kadang aku heran, kenapa dia suka punya kakak secerewet aku ini? Adik tiriku ini sering merajuk dan mengesalkan, walaupun akan menurut saat aku mulai melotot dan menghujani omelan. "Kalau Kak Wisnu sih enak, ya." "Enak apanya?" tanyaku sambil menunjuk pisang goreng yang aku pegang. Sama d
Bohong kalau aku tidak suka dia. Berapa banyak alasan yang aku kemukakan untuk menjauhinya, selalu bermuara pada namanya. Sejauh-jauhnya kaki ini berlari, tetapi tetap berujung pada dirinya. Aku tidak tahu. Ini anugrah atau cobaan. Anugrah karena penglihatanku semakin jelas menangkap nama cinta pada dirinya. Atau, ini justru cobaan pada tujuan yang sedang aku rintis?Semakin aku sering berhubungan dengan gadis ini, konsentrasiku seakan terbagi. Begitu pula waktu dan kesempatan. Karenanya, aku memilih berlama-lama di proyek. Bukannya kesibukan yang sangat, tetapi untuk menghindari keinginanku untuk menghubungi. Begitu juga dia. Aku memposisikan kami terpisah, karena sinyal. Dengan begitu, aku bisa melakukan pekerjaan yang aku cita-citakan. Ini yang menyebabkan aku belum merasa siap untuk bersamanya. [Rima, kamu marah kepadaku karena lama membalas chat? Sudah lama kita tidak ngobrol. Aku kangen....Jempol tangan ini terhenti. Kenapa aku menulis ini? Memalukan dan membanting harga