Pengen ambil Wisnu jadi menantu. Hehehehe
Melihat Mama bahagia dengan Papi Kusuma, hati ini merasa lega. Kebahagiaan Mama yang sempat terenggut, seakan tidak berbekas. Senyuman, candaan, bahkan kekesalan yang ditunjukkan Mama kepada Papi Suma, menunjukkan betapa indahnya hubungan mereka. Mereka selalu menunjukkan kemesraan yang sebenarnya. Setelah kejadian yang membuat pipi Mama memerah, entah kemana Papi menarik Mama. Sekarang tertinggal aku dan Amelia meneruskan makan sambil ngobrol. "Kak Wisnu." "Apa?" Aku menoleh dan mendapati dia mengarahkan ponsel ke arahku. "Amel mau bikin status. Pamer kalau punya kakak," ucapnya, kemudian sibuk berkutat dengan ponsel. Senyumku mengembang melihat Amelia. Dia begitu membanggakan aku. Kadang aku heran, kenapa dia suka punya kakak secerewet aku ini? Adik tiriku ini sering merajuk dan mengesalkan, walaupun akan menurut saat aku mulai melotot dan menghujani omelan. "Kalau Kak Wisnu sih enak, ya." "Enak apanya?" tanyaku sambil menunjuk pisang goreng yang aku pegang. Sama d
Bohong kalau aku tidak suka dia. Berapa banyak alasan yang aku kemukakan untuk menjauhinya, selalu bermuara pada namanya. Sejauh-jauhnya kaki ini berlari, tetapi tetap berujung pada dirinya. Aku tidak tahu. Ini anugrah atau cobaan. Anugrah karena penglihatanku semakin jelas menangkap nama cinta pada dirinya. Atau, ini justru cobaan pada tujuan yang sedang aku rintis?Semakin aku sering berhubungan dengan gadis ini, konsentrasiku seakan terbagi. Begitu pula waktu dan kesempatan. Karenanya, aku memilih berlama-lama di proyek. Bukannya kesibukan yang sangat, tetapi untuk menghindari keinginanku untuk menghubungi. Begitu juga dia. Aku memposisikan kami terpisah, karena sinyal. Dengan begitu, aku bisa melakukan pekerjaan yang aku cita-citakan. Ini yang menyebabkan aku belum merasa siap untuk bersamanya. [Rima, kamu marah kepadaku karena lama membalas chat? Sudah lama kita tidak ngobrol. Aku kangen....Jempol tangan ini terhenti. Kenapa aku menulis ini? Memalukan dan membanting harga
Memang bisa kopi yang sudah dingin dipanasin? Bisa.Tinggal jerang adonan kopi di atas kompor kembali. Setahuku ada racikan kopi seperti ini, namanya kopi klotok. Kopi direbus dalam panci di atas tungku sehingga mengeluarkan bunyi klotok-klotok ketika mendidih. Kata orang-orang, cara ini mirip pembuatan kopi tradisional di Turki.Itu yang bisa aku lakukan untuk memanaskankan lagi yang sudah dingin. Seperti Rima terhadapku."Nih, kopinya Kakak, enak kembali." Aku mendekatkan kopi yang mengepul ke dekat hidungnya. Aroma kopi ini terciuk lebih menggoda dibandingkan sebelumnya. "Mau, Kak.""Hus. Kamu nanti saja kalau sudah terpaksa lembur-lembur," ucapku sambil mendudukkan diri di sampingnya. Dia masih berkutat dengan tugas dari kampus. Berbagai literatur dia cari untuk jawaban, baik dari buku ataupun pendapat yang tercatat di internet. "Enak sekarang. Kalau cari bahan tinggal klik di kolom pencarian. Semua yang kita cari muncul semua," ucap Amelia tanpa melepaskan pandangan mata dar
Aku mengikuti Papi yang terlihat bersemangat. Mama bertanya, katanya ini urusan laki-laki."Bilang saja kangen," sahut Mama sambil tertawa dan membiarkan kami pergi."Ada apa, Pi? Ada yang ketinggalan?" tanyaku saat langkahnya berhenti.Dia membalikkan badan dan menghampiri aku yang tiga langkah di belakangnya."Kalau jalan dengan Papi jangan di belakang. Sini!" ucapnya sambil merangkul pundak ini. Kami berjalan beriringan seperti bapak dan anak.Ya, itu yang aku rasakan. Papi Kusuma walaupun ayah tiri, tetapi memperlakukan tidak dengan batasan. Perlakuan dari Papa Bram yang sudah tidak lagi aku dapatkan.Terkesan cengeng, tapi aku yakin semua anak lelaki seusia berapapun, pasti merindukan seperti saat ini."Kita mau apa dulu?" tanya Papi setelah kami di atas. Rofttop dengan bentukan sederhana tetapi asri. Angin semilir terasa sejuk menyelinap di sela tanaman gantung.Aku duduk di kursi kayu, mengeluarkan kotak catur dan menyusun bidak. Sedangkan Papi mengambil minuman dingin yang suda
Kata orang, kalau kita ingin kehidupan yang mudah, kerjakan hal yang tidak mudah. Sebaliknya, kalau kita mengerjakan sesuatu yang mudah saja, bisa saja hidup kita tidak akan mudah. "Benar itu, Pi?" tanyaku kepada Papi, setelah aku kembali naik kembali ke roff top. Berkumpul kembali dengan Papi dan Mama untuk berbincang santai. Aku tidak bisa ngobrol banyak dengan Rima. Baru saja aku angkat ponsel yang berbunyi, dia langsung berkata, "Mas Wisnu, maaf. Dosen yang aku tunggu sudah datang. Tadi pas aku telpon, saat menunggu konsultasi proposal PKL. Aku tutup, ya. Nanti malam kita telponan."Nadanya terdengar tergesa dan berbisik. Aku hanya bisa mengatakan iya dan menelan ludah. Niatku ingin berbincang banyak dengannya tertunda. Rinduku mendengar suaranya, tergantung begitu saja. Bukan salah dia juga, tetapi kesempatan yang belum berpihak kepada kami. "Kamu bertanya seperti itu, untuk masalah usaha, atau percintaan?" Papi Suma memandang Mama, kemudian mereka tersenyum simpul kepadaku.
Urusan laki-laki. Ini perbincangan dengan Papi Kusuma. Memang Mama adalah orang tua yang menurutku sempurna. Sekaligus teman yang baik juga untuk berdiskusi. Aku melihat, Mama orang yang serba bisa dan tahu. Akan tetapi sebagai anak lelaki, aku merasa ada beberapa lubang kebutuhan yang tidak terpenuhi dengan berbincang dengan Mama. Seperti saat ini, bertukar pikiran dengan Papi."Kata Mama kamu, ada beberapa pilihan yang kamu incar. Sudah memastikan yang mana?""Sebenarnya tidak tahu benar, Pi. Mereka semuanya cantik, baik, pintar, dan kalau melihat gelagatnya ... sayang juga kepada Wisnu.""Ya sudah. Pilih salah satu. Kamu tidak ada keinginan mempunyai teman dekat seorang wanita?""Ingin juga. Tetapi Wisnu masih berkonsentrasi pada karir, Pi. Mempunyai pacar, dalam bayangan kepala ini akan ribet, dan mengurangi kesempatan bekerja."Papi tersenyum, kemudian bersandar di sofa dan melipat kakinya. "Sudut pandang kamu digeser sedikit. Jangan melihat di sisi negatif. Kamu dulukan serin
"Amelia disuruh manggil malah ikutan macet, ya," ucap Mama sambil menatap kami bertiga. Aku, Amelia, dan Papi Kusuma mengambil jeda untuk tersenyum bersama. Seperti anak-anak yang ketahuan oleh ibunya. Seakan kompak, kami pun memberikan tatapan memohon pengampunan kepada Mama. Jeda hanya sebentar, kemudian .....JRENG!~~Tuk-tik-tak-tik, tuk-tik-tak-tik, tuk-tik-tak-tik, tukTuk-tik-tak-tik, tuk-tik-tak, suara sepatu kuda~~Tidak hanya itu, kami bertiga bernyanyi sambil memiringkan badan ke kanan dan ke kiri dengan kompak. Mengubah Mama menjadi tersenyum lebar, dan sekarang tertawa melihat kekonyolan kami bertiga. Sungguh kebersamaan yang membahagiakan, walaupun sederhana."Kalian ini, tidak yang masih muda sampai yang sudah ubanan, tidak tahu kalau sekarang sudah sore. Ayo sekarang turun. Tuh, Denish dan Anind nyariin dari tadi." Omelan Mama walaupun terjeda, tetap saja berhasil tayang. Papi cuma senyum-senyum sambil mengalungkan tangan di bahu Mama. Meredakan omelan yang masi
Bab 444. Tujuan Sudah Mendekat"Penampilan itu memang bukan segala-galanya. Tetapi itu perlu untuk menumbuhkan kepercayaan," ucap Papi Kusuma setengah memaksa. Aku diminta untuk membawa mobil sport yang dihadiahkannya dulu. Memang aku jarang menggunakannya, terlebih selain sayang, juga enggan dikatakan 'hedon'."Bisnis di skala besar memerlukan pengakuan. Bagaimana orang bisa percaya, menawarkan kerjasama bernilai milyaran, tetapi menggunakan kendaraan yang biasa. Investor akan ragu kalau tidak ada bahan pertimbangan sekunder. Pokoknya, dengar kata Papi.""Tapi, Pi. Tidak enak sama teman-teman di sana. Kawatir dikatakan sombong."Papi menepuk lenganku. Mengangguk seakan memaksaku yakin dengan yang diucapkan. "Sekarang bukan waktunya mendengarkan omongan apalagi prasangka orang. Tetapkan langkah. Asal tidak merugikan orang lain, 'go ahead'! Fokus pada tujuan.""Iya, Pi.""Sombong itu merujuk pada tingkah laku. Bukan karena kamu punya atau tidak. Walaupun kamu membawa mobil sport, te
POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan
Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. “Jangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.” “Siap, Nyonya Rani.” Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. “Artisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,” ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku
Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,” ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. “Tapi, Tu
Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?“Ini untuk tahun ke berapa, Bu Rani?” tanya Claudia“Baru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?” Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi …. Sip!“Aku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,” ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.“Keluarga besar menggunakan pilihan
“Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini
Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”
Hati itu milik kita. Berada dalam tubuh kita sendiri, dan kitalah yang harus melindunginya dari apapun. Sedangkan kesenangan, kesedihan, itu adalah rasa yang ditimbulkan dari luar.Jadi, hati kita merasa sedih atau senang, tergantung dari izin kita. Apakah kita menerima atau mengabaikan hal yang menyebabkan rasa itu.*Aku dan Mas Suma tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada Pak Tiok. Di luar nalar dan di luar jangkauan pikiranku. Kenapa ada orang yang tega mengorbankan hati orang lain demi kebahagiannya.“Jadi suami Kalila itu sudah menjatuhkan talak tiga?” tanya Mas Suma.Pak Tiok tertawa miris. “Iya. Karenanya mereka membutuhkan aku supaya bisa menikah lagi.“Gila!” seru Mas Suma geram.Akupun demikian. Tanganku terkepal keras merasa tidak terima dengan perlakuan mereka. Terutama si wanita. Bisa-bisanya memperlakukan itu kepada orang yang menolongnya.Masih ingat aku bagaimana dia menangis karena korban penganiayaan si mantan suami. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan yang m
Sampai di rumah, aku benar-benar capek jiwa raga. Kepaku dibebani dengan pikiran tentang Pak Tiok. Bisa-bisanya ada orang seperti dia yang terus-menerus mengalami kegagalan dalam percintaan.Wajah rupawan, perawakan juga seperti foto model, karir pun tidak diragukan lagi. Namun, kenapa bisa dia mengalami hal seperti ini?“Mama istirahat saja dulu. Belanjaannya, biar Rima minta bantuan Bik Inah,” ucapnya sambil membawa belanjaan ke arah dapur. Rumah masih lengang. Mas Suma dan Wisnu pasti belum pulang. Begitu juga Amelia.Aku mengangguk menerima anjuran gadis itu. Dia tahu apa yang aku pikirkan. Sepanjang jalan aku mengomel dan membicarakan tetang Pak Tiok. Bagaimana perjalanan kisah mereka sampai menikah. Bagaimana Pak Tiok melindungi Kalika yang mendapat perlakukan tidak baik dari mantan suami.Sempat Rima tadi menyeletuk.“Laki-laki itu jangan-jangan mantannya Mbak tadi.”“Mama tidak tahu benar, Rima. Saat dia datang mengacau pernikahan, dia dalam keadaan mabok dengan penampilan yan
Kembali dari galeri, aku dan Rima tidak langsung pulang. Kami singgah di mall.“Tidak usah, Ma.”“Kenapa? Mama ingin membelikan kamu baju. Kepingin saja,” ucapku bersikukuh. Akhirnya kekasih Wisnu ini membelokkan mobil ke mall yang ternama di kota ini.“Kita kemana, Ma?” ucapnya berlari mensejajariku. Dia pasti heran, aku berjalan ke arah kebalikan dari tempat yang menjual pakaian.“Kita ke butik langganan kami. Aku akan mengukur kamu untuk data mereka,” jawabku terus berjalan. Sebenarnya bisa parkir di depan butik Claudia, tapi itu membuatku jauh dari tempat belanjaan yang menjadi tujuan utama.Pegawai yang berjaga langsung membukakan pintu, mereka tersenyum dengan tangan menangkup di depan. “Selamat datang, Nyonya Maharani.”Aku mengangguk, Rima yang di belakangku langsung mensejajari.“Hai, Bu Rani. Lama tidak kesini!” seru Claudia kemudian mengalihkan pandangan ke arah Rima.“Kenalkan ini Rima, calon mantu,” ucapku kemudian mendekat, “calonnya Wisnu.”Claudia langsung mengarahkan