"Amelia disuruh manggil malah ikutan macet, ya," ucap Mama sambil menatap kami bertiga. Aku, Amelia, dan Papi Kusuma mengambil jeda untuk tersenyum bersama. Seperti anak-anak yang ketahuan oleh ibunya. Seakan kompak, kami pun memberikan tatapan memohon pengampunan kepada Mama. Jeda hanya sebentar, kemudian .....JRENG!~~Tuk-tik-tak-tik, tuk-tik-tak-tik, tuk-tik-tak-tik, tukTuk-tik-tak-tik, tuk-tik-tak, suara sepatu kuda~~Tidak hanya itu, kami bertiga bernyanyi sambil memiringkan badan ke kanan dan ke kiri dengan kompak. Mengubah Mama menjadi tersenyum lebar, dan sekarang tertawa melihat kekonyolan kami bertiga. Sungguh kebersamaan yang membahagiakan, walaupun sederhana."Kalian ini, tidak yang masih muda sampai yang sudah ubanan, tidak tahu kalau sekarang sudah sore. Ayo sekarang turun. Tuh, Denish dan Anind nyariin dari tadi." Omelan Mama walaupun terjeda, tetap saja berhasil tayang. Papi cuma senyum-senyum sambil mengalungkan tangan di bahu Mama. Meredakan omelan yang masi
Bab 444. Tujuan Sudah Mendekat"Penampilan itu memang bukan segala-galanya. Tetapi itu perlu untuk menumbuhkan kepercayaan," ucap Papi Kusuma setengah memaksa. Aku diminta untuk membawa mobil sport yang dihadiahkannya dulu. Memang aku jarang menggunakannya, terlebih selain sayang, juga enggan dikatakan 'hedon'."Bisnis di skala besar memerlukan pengakuan. Bagaimana orang bisa percaya, menawarkan kerjasama bernilai milyaran, tetapi menggunakan kendaraan yang biasa. Investor akan ragu kalau tidak ada bahan pertimbangan sekunder. Pokoknya, dengar kata Papi.""Tapi, Pi. Tidak enak sama teman-teman di sana. Kawatir dikatakan sombong."Papi menepuk lenganku. Mengangguk seakan memaksaku yakin dengan yang diucapkan. "Sekarang bukan waktunya mendengarkan omongan apalagi prasangka orang. Tetapkan langkah. Asal tidak merugikan orang lain, 'go ahead'! Fokus pada tujuan.""Iya, Pi.""Sombong itu merujuk pada tingkah laku. Bukan karena kamu punya atau tidak. Walaupun kamu membawa mobil sport, te
Jalan terlihat lebar, seakan aku diberi keleluasaan untuk melesat menggapai harapan. Memang benar, saat hati riang apapun yang dikerjakan terasa mudah. Tidak hanya itu, kendaraan yang aku kendarai meringankan langkah ini. Seperti mengunakan sepatu baru yang aku sukai, langkah menjadi ringan dan nyaman. Seperti terbang. "Hati-hati di jalan. Lihat selalu kecepatannya berapa. Mobil ini, tidak terasa saat kamu menginjak pedal gas melebihi biasanya." Pesan Papi Kusuma. "Siap, Pi. Makanya Wisnu lewat jalan tol terus, supaya tidak mengganggu pengendara lain.""Justru melewati jalan tol, Papi mengingatkanmu. Jalan itu memang dibangun bebas hambatan, lurus, dan membuat pengemudi terlena menginjak pesal gas. Beneran, ya. Kamu harus hati-hati. Pokoknya, lihat terus angka kecepatan," tandas Papi tadi malam. Raut wajahnya yang menunjukkan kekawatiran, membuatku senang. Cerewetnya dia menunjukan kasih sayang. Aku suka. "Siap, Pi. Wisnu pasti hati-hati," sahutku sambil mengangguk. Kekawatira
Jarum jam di arloji seperti bergerak cepat. Waktu dua jam yang seharusnya lama, ternyata tidak bisa diperlambat. Ini semua gara-gara dia. Kalau sebelumnya dada ini sering sesak oleh rindu yang terus menggerutu karena tidak kunjung bertemu. Sekarang seakan berdendang, karena terbayar dengan senyuman. Entah kenapa, aku sekarang menjelma menjadi pujangga. Yang juga melantunkan ungkapan yang dulunya sering membuatku tertawa. "Wisnu. Jatuh cinta itu merubah sifat seseorang. Yang dulunya diam, menjadi cerewet. Yang sebelumnya kaku, sekarang tiba-tiba menjadi romantis," ucap Papi Kusuma sebelum menceritakan tentang dirinya. Terlihat jelas binar cinta di setiap kata yang menceritakan Mama. Tertangkap kenyataan, kalau Papi begitu mengupayakan Mama. Tidak hanya saat dulu, tetapi sampai sekarang pun tetap memastikan Mama nyaman bersamanya."Kamu pikir Papi, dari dulu seperti ini? Tidak. Tapi Papi berusaha supaya Mamamu bahagia. Salah satu caranya membaca buku-buku seperti ini," jelas Papi me
Hati yang sempat berbunga sekarang layu kembali. Bahkan hati ini pun memanas. Kecemburuan yang sebenarnya bukan hakku, menyeruak begitu saja. Aku seperti lelaki tidak tahu diri. Meletakkan keegoan pada seseorang yang sudah aku baikan. Sadar. Aku sadar benar. Namun, kenapa hati ini tidak bisa diajak kompromi?Lukas datang. Dia tergesa. Terlihat dari keringat membasahi wajahnya, dan napas yang terengah-engah. "Aku berusaha menghubungimu. Tapi ponselmu jarang aktif," seru Lukas sambil mengambil kursi. Dia duduk tepat di depanku. Wajahnya masih seperti dulu, justru terlihat lebih matang dengan rambut mulai memanjang. Kulitnya yang cerah, menyempurnakan tubuhnya yang tinggi besar. Sosok yang mengundang wanita manapun mengejarnya, bahkan rela diduakan. Kalau dibandingkan aku. Jujur, secara fisik aku kalah. 'Ck! Pantas saja Rima memilih dia. Sampai-sampai rela menangis hanya untuk cecunguk ini,' bisik hatiku dengan kepalan tangan semakin erat. "Ada yang aku tanyakan kepada kamu."
"Benar, kita latihan di sana tidak apa-apa?" tanyaku sekali lagi masih ragu. Aku ingat, Rima juga pernah menceritakan kalau Papinya tidak suka kalau dia menari. Kalau seandainya kami kepergok, bagaimana? Latihan berdua saja. Bisa jadi menimbulkan penafsiran yang aneh-aneh. "Tidak. Rima jamin, deh. Teman-temn kalau membuat tugas kelompok dan membutuhkan ruangan lebar, juga Rima ajak kesana," ucapnya membuatku yakin. Aku dan Rima berangkat pagi-pagi. Rencananya, kami memanfaatkan waktu di hari minggu ini full untuk latihan tari. Menyelesaikan koreografi, dan nantinya bisa diperdalam di tempat masing-masing.Pintu gerbang langsung dibuka saat Rima membunyikan bel. Muncul perempuan separuh baya yang dipanggil Bik Suti."Syukurlah, Neng Rima sudah datang," seru Bik Suti dengan menunjukkan wajah lega.Dia mengangguk kepadaku, dan mempersilakan masuk sebelum menutup pintu gerbang tinggi itu.Rima mengajak untuk masuk setelah memarkir motor di garasi. Rumah yang lumayan besar kalau diperun
"Mas Wisnu!" Baru saja aku akan memencet tombol bel, suara Rima menghentikan gerakanku. Setengah berlari dia menghampiriku. Penampilannya sekarang dilengkapi dengan topi hitam. Ya, itu topi yang"Rima? Aku pikir kamu sudah pulang. Ini sudah sore." "Rima di unitas. Aku pikir Mas Wisnu ke sana. Eh, tidak muncul sama sekali. Untungnya tadi ketemu Mas Lucas. Dia bilang Mas Wisnu mencari aku ke rumah. Makanya aku buru-buru pulang," ucapnya sambil menekan dada. Terlihat sekali dia berusaha mengatur napas.Aku melihat ke sekitar, tidak mendapati kendaraan apapun yang seharusnya dia tumpangi. "Kamu naik apa pulang?" "Naik angkot sampai depan. Makanya ke sini lari biar ketemu Mas Wisnu. Sekalian olah raga," ucapnya sambil menunjukkan senyuman. "Kalau begitu, aku boleh berkunjung ke rumahmu?" Sekilas aku melihat raut wajahnya berubah, tetapi kemudian senyumannya mengembang kembali. "Di rumah tidak orang. Kalau kita makan di luar bagaimana. Ada cafe di depan. Rima yang traktir, deh," ucap
Ini kali pertama mobil ini ditumpangi seorang kekasih. Aku tandai tanggal sekarang sebagai hari kelengkapan. Awal malam menjadikan awal dari segalanya. Seorang Wisnu mulai dilengkapi dengan cita-cita dan wanita. Bibir ini tersenyum dengan sempurna, menyadari kalau aku sudah mulai melangkah ke arah yang aku inginkan. Hidung ini menangkap aroma parfum yang ditinggalkan Rima. Menghidu saja menimbulkan geleyar aneh."Mas Wisnu senyum-senyum saja." Suara yang sudah akrab di telinga ini terdengar. Rima masuk dengan kresek penuh dengan minuman botol dan camilan. "Kita berangkat!" seruku kemudian menjalankan mobil secara perlahan. Memasuki jalan raya yang mulai tidak padat. "Rima. Sudah izin orang tua kalau kamu ikut aku?" "Sudah. Tadi aku sudah kirim pesan.""Bilangnya keluar sama siapa?" tanyaku sambil menoleh ke arahnya. Dia pun menatapku dengan senyuman. "Keluar sama teman.""Teman? Teman saja?" tanyaku berniat menggodanya. "Iya. Teman hidup," ucapnya kemudian membekap mulutnya ya
POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan
Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. “Jangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.” “Siap, Nyonya Rani.” Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. “Artisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,” ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku
Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,” ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. “Tapi, Tu
Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?“Ini untuk tahun ke berapa, Bu Rani?” tanya Claudia“Baru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?” Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi …. Sip!“Aku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,” ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.“Keluarga besar menggunakan pilihan
“Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini
Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”
Hati itu milik kita. Berada dalam tubuh kita sendiri, dan kitalah yang harus melindunginya dari apapun. Sedangkan kesenangan, kesedihan, itu adalah rasa yang ditimbulkan dari luar.Jadi, hati kita merasa sedih atau senang, tergantung dari izin kita. Apakah kita menerima atau mengabaikan hal yang menyebabkan rasa itu.*Aku dan Mas Suma tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada Pak Tiok. Di luar nalar dan di luar jangkauan pikiranku. Kenapa ada orang yang tega mengorbankan hati orang lain demi kebahagiannya.“Jadi suami Kalila itu sudah menjatuhkan talak tiga?” tanya Mas Suma.Pak Tiok tertawa miris. “Iya. Karenanya mereka membutuhkan aku supaya bisa menikah lagi.“Gila!” seru Mas Suma geram.Akupun demikian. Tanganku terkepal keras merasa tidak terima dengan perlakuan mereka. Terutama si wanita. Bisa-bisanya memperlakukan itu kepada orang yang menolongnya.Masih ingat aku bagaimana dia menangis karena korban penganiayaan si mantan suami. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan yang m
Sampai di rumah, aku benar-benar capek jiwa raga. Kepaku dibebani dengan pikiran tentang Pak Tiok. Bisa-bisanya ada orang seperti dia yang terus-menerus mengalami kegagalan dalam percintaan.Wajah rupawan, perawakan juga seperti foto model, karir pun tidak diragukan lagi. Namun, kenapa bisa dia mengalami hal seperti ini?“Mama istirahat saja dulu. Belanjaannya, biar Rima minta bantuan Bik Inah,” ucapnya sambil membawa belanjaan ke arah dapur. Rumah masih lengang. Mas Suma dan Wisnu pasti belum pulang. Begitu juga Amelia.Aku mengangguk menerima anjuran gadis itu. Dia tahu apa yang aku pikirkan. Sepanjang jalan aku mengomel dan membicarakan tetang Pak Tiok. Bagaimana perjalanan kisah mereka sampai menikah. Bagaimana Pak Tiok melindungi Kalika yang mendapat perlakukan tidak baik dari mantan suami.Sempat Rima tadi menyeletuk.“Laki-laki itu jangan-jangan mantannya Mbak tadi.”“Mama tidak tahu benar, Rima. Saat dia datang mengacau pernikahan, dia dalam keadaan mabok dengan penampilan yan
Kembali dari galeri, aku dan Rima tidak langsung pulang. Kami singgah di mall.“Tidak usah, Ma.”“Kenapa? Mama ingin membelikan kamu baju. Kepingin saja,” ucapku bersikukuh. Akhirnya kekasih Wisnu ini membelokkan mobil ke mall yang ternama di kota ini.“Kita kemana, Ma?” ucapnya berlari mensejajariku. Dia pasti heran, aku berjalan ke arah kebalikan dari tempat yang menjual pakaian.“Kita ke butik langganan kami. Aku akan mengukur kamu untuk data mereka,” jawabku terus berjalan. Sebenarnya bisa parkir di depan butik Claudia, tapi itu membuatku jauh dari tempat belanjaan yang menjadi tujuan utama.Pegawai yang berjaga langsung membukakan pintu, mereka tersenyum dengan tangan menangkup di depan. “Selamat datang, Nyonya Maharani.”Aku mengangguk, Rima yang di belakangku langsung mensejajari.“Hai, Bu Rani. Lama tidak kesini!” seru Claudia kemudian mengalihkan pandangan ke arah Rima.“Kenalkan ini Rima, calon mantu,” ucapku kemudian mendekat, “calonnya Wisnu.”Claudia langsung mengarahkan