Jalan terlihat lebar, seakan aku diberi keleluasaan untuk melesat menggapai harapan. Memang benar, saat hati riang apapun yang dikerjakan terasa mudah. Tidak hanya itu, kendaraan yang aku kendarai meringankan langkah ini. Seperti mengunakan sepatu baru yang aku sukai, langkah menjadi ringan dan nyaman. Seperti terbang. "Hati-hati di jalan. Lihat selalu kecepatannya berapa. Mobil ini, tidak terasa saat kamu menginjak pedal gas melebihi biasanya." Pesan Papi Kusuma. "Siap, Pi. Makanya Wisnu lewat jalan tol terus, supaya tidak mengganggu pengendara lain.""Justru melewati jalan tol, Papi mengingatkanmu. Jalan itu memang dibangun bebas hambatan, lurus, dan membuat pengemudi terlena menginjak pesal gas. Beneran, ya. Kamu harus hati-hati. Pokoknya, lihat terus angka kecepatan," tandas Papi tadi malam. Raut wajahnya yang menunjukkan kekawatiran, membuatku senang. Cerewetnya dia menunjukan kasih sayang. Aku suka. "Siap, Pi. Wisnu pasti hati-hati," sahutku sambil mengangguk. Kekawatira
Jarum jam di arloji seperti bergerak cepat. Waktu dua jam yang seharusnya lama, ternyata tidak bisa diperlambat. Ini semua gara-gara dia. Kalau sebelumnya dada ini sering sesak oleh rindu yang terus menggerutu karena tidak kunjung bertemu. Sekarang seakan berdendang, karena terbayar dengan senyuman. Entah kenapa, aku sekarang menjelma menjadi pujangga. Yang juga melantunkan ungkapan yang dulunya sering membuatku tertawa. "Wisnu. Jatuh cinta itu merubah sifat seseorang. Yang dulunya diam, menjadi cerewet. Yang sebelumnya kaku, sekarang tiba-tiba menjadi romantis," ucap Papi Kusuma sebelum menceritakan tentang dirinya. Terlihat jelas binar cinta di setiap kata yang menceritakan Mama. Tertangkap kenyataan, kalau Papi begitu mengupayakan Mama. Tidak hanya saat dulu, tetapi sampai sekarang pun tetap memastikan Mama nyaman bersamanya."Kamu pikir Papi, dari dulu seperti ini? Tidak. Tapi Papi berusaha supaya Mamamu bahagia. Salah satu caranya membaca buku-buku seperti ini," jelas Papi me
Hati yang sempat berbunga sekarang layu kembali. Bahkan hati ini pun memanas. Kecemburuan yang sebenarnya bukan hakku, menyeruak begitu saja. Aku seperti lelaki tidak tahu diri. Meletakkan keegoan pada seseorang yang sudah aku baikan. Sadar. Aku sadar benar. Namun, kenapa hati ini tidak bisa diajak kompromi?Lukas datang. Dia tergesa. Terlihat dari keringat membasahi wajahnya, dan napas yang terengah-engah. "Aku berusaha menghubungimu. Tapi ponselmu jarang aktif," seru Lukas sambil mengambil kursi. Dia duduk tepat di depanku. Wajahnya masih seperti dulu, justru terlihat lebih matang dengan rambut mulai memanjang. Kulitnya yang cerah, menyempurnakan tubuhnya yang tinggi besar. Sosok yang mengundang wanita manapun mengejarnya, bahkan rela diduakan. Kalau dibandingkan aku. Jujur, secara fisik aku kalah. 'Ck! Pantas saja Rima memilih dia. Sampai-sampai rela menangis hanya untuk cecunguk ini,' bisik hatiku dengan kepalan tangan semakin erat. "Ada yang aku tanyakan kepada kamu."
"Benar, kita latihan di sana tidak apa-apa?" tanyaku sekali lagi masih ragu. Aku ingat, Rima juga pernah menceritakan kalau Papinya tidak suka kalau dia menari. Kalau seandainya kami kepergok, bagaimana? Latihan berdua saja. Bisa jadi menimbulkan penafsiran yang aneh-aneh. "Tidak. Rima jamin, deh. Teman-temn kalau membuat tugas kelompok dan membutuhkan ruangan lebar, juga Rima ajak kesana," ucapnya membuatku yakin. Aku dan Rima berangkat pagi-pagi. Rencananya, kami memanfaatkan waktu di hari minggu ini full untuk latihan tari. Menyelesaikan koreografi, dan nantinya bisa diperdalam di tempat masing-masing.Pintu gerbang langsung dibuka saat Rima membunyikan bel. Muncul perempuan separuh baya yang dipanggil Bik Suti."Syukurlah, Neng Rima sudah datang," seru Bik Suti dengan menunjukkan wajah lega.Dia mengangguk kepadaku, dan mempersilakan masuk sebelum menutup pintu gerbang tinggi itu.Rima mengajak untuk masuk setelah memarkir motor di garasi. Rumah yang lumayan besar kalau diperun
"Mas Wisnu!" Baru saja aku akan memencet tombol bel, suara Rima menghentikan gerakanku. Setengah berlari dia menghampiriku. Penampilannya sekarang dilengkapi dengan topi hitam. Ya, itu topi yang"Rima? Aku pikir kamu sudah pulang. Ini sudah sore." "Rima di unitas. Aku pikir Mas Wisnu ke sana. Eh, tidak muncul sama sekali. Untungnya tadi ketemu Mas Lucas. Dia bilang Mas Wisnu mencari aku ke rumah. Makanya aku buru-buru pulang," ucapnya sambil menekan dada. Terlihat sekali dia berusaha mengatur napas.Aku melihat ke sekitar, tidak mendapati kendaraan apapun yang seharusnya dia tumpangi. "Kamu naik apa pulang?" "Naik angkot sampai depan. Makanya ke sini lari biar ketemu Mas Wisnu. Sekalian olah raga," ucapnya sambil menunjukkan senyuman. "Kalau begitu, aku boleh berkunjung ke rumahmu?" Sekilas aku melihat raut wajahnya berubah, tetapi kemudian senyumannya mengembang kembali. "Di rumah tidak orang. Kalau kita makan di luar bagaimana. Ada cafe di depan. Rima yang traktir, deh," ucap
Ini kali pertama mobil ini ditumpangi seorang kekasih. Aku tandai tanggal sekarang sebagai hari kelengkapan. Awal malam menjadikan awal dari segalanya. Seorang Wisnu mulai dilengkapi dengan cita-cita dan wanita. Bibir ini tersenyum dengan sempurna, menyadari kalau aku sudah mulai melangkah ke arah yang aku inginkan. Hidung ini menangkap aroma parfum yang ditinggalkan Rima. Menghidu saja menimbulkan geleyar aneh."Mas Wisnu senyum-senyum saja." Suara yang sudah akrab di telinga ini terdengar. Rima masuk dengan kresek penuh dengan minuman botol dan camilan. "Kita berangkat!" seruku kemudian menjalankan mobil secara perlahan. Memasuki jalan raya yang mulai tidak padat. "Rima. Sudah izin orang tua kalau kamu ikut aku?" "Sudah. Tadi aku sudah kirim pesan.""Bilangnya keluar sama siapa?" tanyaku sambil menoleh ke arahnya. Dia pun menatapku dengan senyuman. "Keluar sama teman.""Teman? Teman saja?" tanyaku berniat menggodanya. "Iya. Teman hidup," ucapnya kemudian membekap mulutnya ya
[Wisnu. Berhasil? Kabari Papi. Jangan lupa]Sesampai penginapan, ponsel aku buka. Pesan dari Papi Kusuma langsung menyambut. Tidak hanya itu, kemudian deretan pesanpun masuk. [Asyik. Amelia punya kakak ipar] dari Amelia, kemudian menyusul pesan dari Mama. [Anakku sudah besar. Ingat pesan Mama dan Eyang Satro] Pesan Mama yang membuat tersenyum.Teringat berderet nasehat yang pernah dilontarkan oleh Ibuk dan aku, mengenai hubungan laki-laki dan wanita"Ingat batasannya. Justru kamu sudah menjadi laki-laki dewasa, itu lebih berbahaya. Otak sering terkalahkan oleh nafsu. Hati-hati, setan itu banyak cara menggoda," ucap Eyang Sastro saat pertemuan terakhir kala itu. Ini dipicu ketika Rangga datang menemui Amelia di acata ulang tahun Eyang Rianti. Tidak hanya itu, Eyang Sastro juga mengatakan hal yang berhasil membuat wajahku menghangat. "Eyang tahu, kami sudah waktunya dekat dengan wanita. Pasti dari dalam ada ketertarikan baik dari hati maupun fisik, kan? Pesan Eyang, boleh dekat den
"Kabar dari Wisnu?" Maharani keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya yang masih basah. "Iya," jawabku sambil mengulurkan tangan kepadanya. Dia menyambut sambil tersenyum. Perlakuan yang sudah menjadi candu bagiku. Memang kuakui, aku kehilangan masa muda yang indah. Akan tetapi, aku mendapatkan masa di usia tidak muda lagi, kebahagiaan yang luar biasa. Maharani yang menjadi jawabannya. "Sini aku keringkan," ucapku sambil mengulurkan tangan, meminta pengering rambut di tangannya. "Sudah lama tidak dimanja suami," sahutnya saat bersiap duduk di depan cermin. "Iya, iya. Sini."Pengering rambut dinyalakan, aku mengarahkan sambil mengusap rambutnya yang hitam sebahu. Sesekali, tangan ini jahil. Menyelusup di sela-sela rambut dan mengusap lehernya yang putih."Mas Suma kumat," serunya sambil melotot ke arahku melalui pantulan cermin. "Amelia sudah berangkat tadi pagi. Katanya ada kuliah pagi, dan mungkin malam dia tidur di apartemen," ucapnya dengan menghela napas. Sepe