"Mas Wisnu!" Baru saja aku akan memencet tombol bel, suara Rima menghentikan gerakanku. Setengah berlari dia menghampiriku. Penampilannya sekarang dilengkapi dengan topi hitam. Ya, itu topi yang"Rima? Aku pikir kamu sudah pulang. Ini sudah sore." "Rima di unitas. Aku pikir Mas Wisnu ke sana. Eh, tidak muncul sama sekali. Untungnya tadi ketemu Mas Lucas. Dia bilang Mas Wisnu mencari aku ke rumah. Makanya aku buru-buru pulang," ucapnya sambil menekan dada. Terlihat sekali dia berusaha mengatur napas.Aku melihat ke sekitar, tidak mendapati kendaraan apapun yang seharusnya dia tumpangi. "Kamu naik apa pulang?" "Naik angkot sampai depan. Makanya ke sini lari biar ketemu Mas Wisnu. Sekalian olah raga," ucapnya sambil menunjukkan senyuman. "Kalau begitu, aku boleh berkunjung ke rumahmu?" Sekilas aku melihat raut wajahnya berubah, tetapi kemudian senyumannya mengembang kembali. "Di rumah tidak orang. Kalau kita makan di luar bagaimana. Ada cafe di depan. Rima yang traktir, deh," ucap
Ini kali pertama mobil ini ditumpangi seorang kekasih. Aku tandai tanggal sekarang sebagai hari kelengkapan. Awal malam menjadikan awal dari segalanya. Seorang Wisnu mulai dilengkapi dengan cita-cita dan wanita. Bibir ini tersenyum dengan sempurna, menyadari kalau aku sudah mulai melangkah ke arah yang aku inginkan. Hidung ini menangkap aroma parfum yang ditinggalkan Rima. Menghidu saja menimbulkan geleyar aneh."Mas Wisnu senyum-senyum saja." Suara yang sudah akrab di telinga ini terdengar. Rima masuk dengan kresek penuh dengan minuman botol dan camilan. "Kita berangkat!" seruku kemudian menjalankan mobil secara perlahan. Memasuki jalan raya yang mulai tidak padat. "Rima. Sudah izin orang tua kalau kamu ikut aku?" "Sudah. Tadi aku sudah kirim pesan.""Bilangnya keluar sama siapa?" tanyaku sambil menoleh ke arahnya. Dia pun menatapku dengan senyuman. "Keluar sama teman.""Teman? Teman saja?" tanyaku berniat menggodanya. "Iya. Teman hidup," ucapnya kemudian membekap mulutnya ya
[Wisnu. Berhasil? Kabari Papi. Jangan lupa]Sesampai penginapan, ponsel aku buka. Pesan dari Papi Kusuma langsung menyambut. Tidak hanya itu, kemudian deretan pesanpun masuk. [Asyik. Amelia punya kakak ipar] dari Amelia, kemudian menyusul pesan dari Mama. [Anakku sudah besar. Ingat pesan Mama dan Eyang Satro] Pesan Mama yang membuat tersenyum.Teringat berderet nasehat yang pernah dilontarkan oleh Ibuk dan aku, mengenai hubungan laki-laki dan wanita"Ingat batasannya. Justru kamu sudah menjadi laki-laki dewasa, itu lebih berbahaya. Otak sering terkalahkan oleh nafsu. Hati-hati, setan itu banyak cara menggoda," ucap Eyang Sastro saat pertemuan terakhir kala itu. Ini dipicu ketika Rangga datang menemui Amelia di acata ulang tahun Eyang Rianti. Tidak hanya itu, Eyang Sastro juga mengatakan hal yang berhasil membuat wajahku menghangat. "Eyang tahu, kami sudah waktunya dekat dengan wanita. Pasti dari dalam ada ketertarikan baik dari hati maupun fisik, kan? Pesan Eyang, boleh dekat den
"Kabar dari Wisnu?" Maharani keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya yang masih basah. "Iya," jawabku sambil mengulurkan tangan kepadanya. Dia menyambut sambil tersenyum. Perlakuan yang sudah menjadi candu bagiku. Memang kuakui, aku kehilangan masa muda yang indah. Akan tetapi, aku mendapatkan masa di usia tidak muda lagi, kebahagiaan yang luar biasa. Maharani yang menjadi jawabannya. "Sini aku keringkan," ucapku sambil mengulurkan tangan, meminta pengering rambut di tangannya. "Sudah lama tidak dimanja suami," sahutnya saat bersiap duduk di depan cermin. "Iya, iya. Sini."Pengering rambut dinyalakan, aku mengarahkan sambil mengusap rambutnya yang hitam sebahu. Sesekali, tangan ini jahil. Menyelusup di sela-sela rambut dan mengusap lehernya yang putih."Mas Suma kumat," serunya sambil melotot ke arahku melalui pantulan cermin. "Amelia sudah berangkat tadi pagi. Katanya ada kuliah pagi, dan mungkin malam dia tidur di apartemen," ucapnya dengan menghela napas. Sepe
"Wisnu sudah pulang, Pak Maman?" tanyaku setelah melambaikan tangan ke arahnya. Suami Bik Inah itu tergopoh menghampiriku."I-Iya, Tuan Kusuma. Saya juga kaget, kok mobilnya sudah ada di garasi. Kata Pak Satpam, Mas Wisnu sampai sekitar jam dua malam tadi," jelas Pak Maman menjelaskan, kemudian dia permisi ke belakang.Keningku berkerut, kenapa dia sudah pulang, Bukankah rencananya baru kembali ke sini siang ini? 'Mungkin dia sudah tidak sabar berbagi kabar baik," gumamku dalam hati, kemudian melanjutkan melakukan senam pagi. Meregangkan tubuh supaya badan menjadi awet. Usiaku sudah berkepala lima, sedangkan Denish dan Anind masih balita. Ada kekawatiran, aku tidak mampu mendampingi mereka sampai dewasa. Saat mereka di usia dua puluh lima, aku sudah kepala tujuh. Sudah seperti kakek-kakek. "Loh, Wisnu sudah datang?" tanya Maharani yang keluar dari rumah.Dia yang membawa gunting potong bunga menatap heran ke arah mobil sport Wisnu. Kebiasaan istriku dari dulu, rumah selalu dihiasi
"Saya akan membuktikan kalau menjadi laki-laki pilihan tertepat untuk Rima. Dan, memastikan kalau izin Bapak akan membahagiakan putri Bapak," ucapku dengan membalas tatapannya."Dengan membawa Rima sampai larut malam? Kamu pikir anak saya perempuan yang bisa dibawa-bawa begitu?""Maaf, Pak. Saya keliru."Dia tersenyum kembali, tanpa melepas tatapannya dariku. Aku merasa di persidangan. Bukan. Lebih tepatnya seperti di meja algojo yang sedang menghunus golok. Masih memikirkan, bagian mana yang akan dia cabik-cabik."Saya tidak mengizinkan Rima bersamamu. Dia akan memberikan pendamping yang berkualitas. Bukan anak baru lulus kuliah seperti kamu," ucapnya sambil beranjak berdiri. Aku tidak terima. Gegas, aku berdiri menghampirinya. Meraih tangan mencoba untuk meluluhkan hatinya."Pak. Tolong dengarkan saya. Saya dan Rima sudah sepakat untuk berhubungan dekat. Dan dia terlihat berhahagia bersama saya," ucapku dengan memberikan tatapan memohon. Tanganku yang dilengannya dia tepis kasar."
"Kamu akan menyerah?" Papi Suma menatapku tajam, seakan mengorek isi hatiku ini.Aku menggelang. "Tidak, Pi. Jujur, sebelum janur melengkung, Wisnu akan mengusahakan Riama menjadi milik Wisnu. Itu baru sekadar undangan. Hanya tanda tertulis kalau ada rencana penikahan. Akan tetapi, Pi. Wisnu mengkawatirkan Mama dan nama besar Papi. Wisnu tidak mau mencoreng nama Papi," ucapku merusaha tegar.Papi Kusuma mengamati undangan yang aku serahnya. Dia berguman dengan sesekali dahinya berkerut."Aku tahu keluarga Lee. Begitu juga keluarga Ha. Wisnu! Semangat!" teriaknya sambil menepuk lenganku kuat-kuat. Aku membalas tatapannya."Kamu yakin dengan gadis ini?" Papi menelengkan kepala, menyipitkan mata memastikan kesungguhanku."Yakin. Sangat yakin. Dia Rima, gadis yang selama ini aku pikirkan, Pi. Dan ternyata dia sudah menyambu Wisnu.""Jadi kalian sempat berbincang dan sepakat untuk bersama?""I-Iya, Pi. Karenanya, Wisnu mengatakan kalau Wisnu berhasil."Papi Kusuma mengangguk-angguk. Seaka
Aku mendesah, menyakinkan kalau apa yang aku lakukan adalah benar. Ini mempertaruhkan nama perusahaan. Sama saja aku mencampur adukkan urusan pribadi pada keputusan."Sudah kamu kerjakan semua pesannku?" tanyaku kepada Dewi melalui ponsel. Aku ingin sesampai di kantor semuanya sudah beres."Sudah siap semuanya. Saya kirimkan laporannya sekarang," jelas sekretaris andalanku ini. Pesan bergambar masuk. Semua memperlihatkan keadaan kantor secara detail. Foto keluarga lengkap, termasuk Wisnu di dalamnya. Dan juga foto Wisnu saat mengenakan toga bersama Maharani. Aku sudah mempersiapkan semuanya. Ini seperti serangan awal yang mendadak. Pasti ayahnya Rima akan terkejut melihat ini."Pukul berapa meetingnya?" "Satu jam lagi. Semua berkas sudah saya siapkan di meja. Bisa dicek terlebih dahulu, kalau ada yang kurang akan segera saya lengkapi," jelas Desi kemudian undur diri.Aku tidak akan nekad seperti ini kalau tidak tahu apa yang terjadi. Berkat Desilah ide ini terbersit. Kepala ini gel
POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan
Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. “Jangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.” “Siap, Nyonya Rani.” Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. “Artisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,” ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku
Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,” ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. “Tapi, Tu
Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?“Ini untuk tahun ke berapa, Bu Rani?” tanya Claudia“Baru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?” Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi …. Sip!“Aku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,” ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.“Keluarga besar menggunakan pilihan
“Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini
Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”
Hati itu milik kita. Berada dalam tubuh kita sendiri, dan kitalah yang harus melindunginya dari apapun. Sedangkan kesenangan, kesedihan, itu adalah rasa yang ditimbulkan dari luar.Jadi, hati kita merasa sedih atau senang, tergantung dari izin kita. Apakah kita menerima atau mengabaikan hal yang menyebabkan rasa itu.*Aku dan Mas Suma tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada Pak Tiok. Di luar nalar dan di luar jangkauan pikiranku. Kenapa ada orang yang tega mengorbankan hati orang lain demi kebahagiannya.“Jadi suami Kalila itu sudah menjatuhkan talak tiga?” tanya Mas Suma.Pak Tiok tertawa miris. “Iya. Karenanya mereka membutuhkan aku supaya bisa menikah lagi.“Gila!” seru Mas Suma geram.Akupun demikian. Tanganku terkepal keras merasa tidak terima dengan perlakuan mereka. Terutama si wanita. Bisa-bisanya memperlakukan itu kepada orang yang menolongnya.Masih ingat aku bagaimana dia menangis karena korban penganiayaan si mantan suami. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan yang m
Sampai di rumah, aku benar-benar capek jiwa raga. Kepaku dibebani dengan pikiran tentang Pak Tiok. Bisa-bisanya ada orang seperti dia yang terus-menerus mengalami kegagalan dalam percintaan.Wajah rupawan, perawakan juga seperti foto model, karir pun tidak diragukan lagi. Namun, kenapa bisa dia mengalami hal seperti ini?“Mama istirahat saja dulu. Belanjaannya, biar Rima minta bantuan Bik Inah,” ucapnya sambil membawa belanjaan ke arah dapur. Rumah masih lengang. Mas Suma dan Wisnu pasti belum pulang. Begitu juga Amelia.Aku mengangguk menerima anjuran gadis itu. Dia tahu apa yang aku pikirkan. Sepanjang jalan aku mengomel dan membicarakan tetang Pak Tiok. Bagaimana perjalanan kisah mereka sampai menikah. Bagaimana Pak Tiok melindungi Kalika yang mendapat perlakukan tidak baik dari mantan suami.Sempat Rima tadi menyeletuk.“Laki-laki itu jangan-jangan mantannya Mbak tadi.”“Mama tidak tahu benar, Rima. Saat dia datang mengacau pernikahan, dia dalam keadaan mabok dengan penampilan yan
Kembali dari galeri, aku dan Rima tidak langsung pulang. Kami singgah di mall.“Tidak usah, Ma.”“Kenapa? Mama ingin membelikan kamu baju. Kepingin saja,” ucapku bersikukuh. Akhirnya kekasih Wisnu ini membelokkan mobil ke mall yang ternama di kota ini.“Kita kemana, Ma?” ucapnya berlari mensejajariku. Dia pasti heran, aku berjalan ke arah kebalikan dari tempat yang menjual pakaian.“Kita ke butik langganan kami. Aku akan mengukur kamu untuk data mereka,” jawabku terus berjalan. Sebenarnya bisa parkir di depan butik Claudia, tapi itu membuatku jauh dari tempat belanjaan yang menjadi tujuan utama.Pegawai yang berjaga langsung membukakan pintu, mereka tersenyum dengan tangan menangkup di depan. “Selamat datang, Nyonya Maharani.”Aku mengangguk, Rima yang di belakangku langsung mensejajari.“Hai, Bu Rani. Lama tidak kesini!” seru Claudia kemudian mengalihkan pandangan ke arah Rima.“Kenalkan ini Rima, calon mantu,” ucapku kemudian mendekat, “calonnya Wisnu.”Claudia langsung mengarahkan