Aku mendesah, menyakinkan kalau apa yang aku lakukan adalah benar. Ini mempertaruhkan nama perusahaan. Sama saja aku mencampur adukkan urusan pribadi pada keputusan."Sudah kamu kerjakan semua pesannku?" tanyaku kepada Dewi melalui ponsel. Aku ingin sesampai di kantor semuanya sudah beres."Sudah siap semuanya. Saya kirimkan laporannya sekarang," jelas sekretaris andalanku ini. Pesan bergambar masuk. Semua memperlihatkan keadaan kantor secara detail. Foto keluarga lengkap, termasuk Wisnu di dalamnya. Dan juga foto Wisnu saat mengenakan toga bersama Maharani. Aku sudah mempersiapkan semuanya. Ini seperti serangan awal yang mendadak. Pasti ayahnya Rima akan terkejut melihat ini."Pukul berapa meetingnya?" "Satu jam lagi. Semua berkas sudah saya siapkan di meja. Bisa dicek terlebih dahulu, kalau ada yang kurang akan segera saya lengkapi," jelas Desi kemudian undur diri.Aku tidak akan nekad seperti ini kalau tidak tahu apa yang terjadi. Berkat Desilah ide ini terbersit. Kepala ini gel
Kehidupan itu penuh kerahasiaan. Termasuk kisah percintaan. Seringkali terlihat jalan terbentang luas, ternyata ada batu yang menghadang. Tergantung kita menyikapinya bagaimana. Memakai batu itu sebagai batu loncatan, atau sebagai batu sandungan.POV AuthorPerjodohan untuk Rima sudah dicetuskan la di keluarga mereka. Dengan dalih memastikan kebahagiaan anak semata wayang mereka. Ini semakin ditetapkan kala Rima sudah berkuliah dan jauh dari rumah. Setiap kesempatan, Tuan dan Nyonya Santosa Lee mencari celah untuk menyampaikan niat mereka. Terutama saat Rima pulang di waktuliburan.Entah, sampai pukul berapa Nyonya Lee selesai bercerita kepada Rima. Keseharian di saat anak gadisnya itu tidak di rumah, diceritakan dari A sampai Z. Tidak hanya itu. Nyonya Lee menceritakan tentang kisah perjodohannya dulu yang membuahkan bukti cinta mereka, Rima yang sekarang tumbuh menjadi wanita yang memesona.Rima yang sebenarnya sudah bersiap tidur, yang awalnya duduk, akhirnya berbaring dan terkula
Jodoh itu kadang-kadang terlihat muter-muter. Padahal mereka pernah dipertemukan sebelumnya. itu rahasia jodoh. Walaupunyang menentukan yang di Atas, tetap harus diupayakan. POV Author Sebenarnya Santoso Lee, ayah dari Rima sudah pernah melihat Wisnu sebelumnya. Bahkan Wisnu bersama Tuan Kusuma, Maharani dan Amelia. Bahkan, saat itu Nyonya Lee terbersit menjodohkan keduanya. Saat itu kejadiannya di mall. Ketika tidak sengaja Wisnu bertemu dengan Rima dan meminjamkan jaketnya karena baju yang dikenakan Rima terlalu terbuka. Jaket kaos yang dipinjamkan Wisnu, dikenakan oleh Rima. Seakan mendapat pelukan, gadis itu menampilkan senyuman manis di sepanjang langkahnya. Aroma khas laki-laki itu seakan mewakili kehadirannya. Rima menuju tempat Mami dan Papinya menunggu. Memang dia ke tempat ini bersama orang tuanya, yang sedari dia liburan di rumah selalu menguntitnya. Kemana-mana harus bersama, tidak dibiarkan dia pergi sendiri apalagi bersama orang lain. Ini saja, dia bisa ke wahana ma
Sekarang kami benar-benar jatuh cinta, Kisah kami berjalan di rel yang benar. Restu orang tua sudah menyertai, memperlancar langkah kami berdua.Tidak puas dengan kirim pesan, aku melakukan panggilan video call. Wajah kekasihku yang cantik terlihat dilayar ponsel, menunjukkan keceriaan walaupun masih ada bekas matanya yang sembab."Aku kangen," ucapku langsung. Hati ini seakan lepas dan bebas mengungkapkan apa yang ada di hati ini."Aku juga. Tidak hanya kangen. Tetapi sangat kangen," sahutnya sambil menunjukkan senyuman.Dari layar ponsel, kami saling berpandangan, Karena kami tidak menemukan kata yang tepat yang melukiskan kebahagiaan ini. "Rima.""Hmm.""Ada yang belum aku ucapkan kepadamu.""Apa?" tanyanya sambil tersenyum."I love you," ucapku dengan menunjukkan senyuman.Di layar aku melihat senyumnya tersipu. Pipinya yang putih memerah. Kalau aku di dekatnya, pasti dia sudah dalam dekapanku. Aku tersenyum, mengingat hangat tubuhnya masih terekam diingatan.Kami berbincang lama
Tidak biasanya Papa Bram seperti ini. Beberapa kali dia datang mengunjungiku di Denpasar dengan keadaan yang sama. Memang kadang aku mendapati Papa yang terlihat resah. Namun, jawabannya sama."Papa tidak apa-apa, Wisnu. Papa baik-baik saja. Mungkin karena capek dan sudah tidak sekuat dulu." Sebenarnya aku tidak percaya, terlebih kebiasaan Pap merokok kambuh lagi. Berkali-kali aku ingatkan, tetapi dia menjawab iya dan melanjutkan aktifitasnya. Dulu aku sangat bangga melihat Papa Bram. Tampilan maskulin dengan kulit agak gelap. Apalagi saat kami menghabiskan dengan memancing, dia juga menyelipkan rokok yang mengepul di sudut bibirnya. Keren.Namun, jangan ditanya kalau ada Mama, Papa Bram akan segera membuangnya sebelum Mama mendapatinya.Aku menilik kembali pesan yang dikirim Papa Bram.[Wisnu. Bantu Papa sedikit] Pesan pertama yang diikuti pesan lainnya. Tercantum nominal yang tidak bisa dikatakan sedikit.[Projek yang Papa tangani akan ada pembayaran diakhir bulan ini. Pasti Papa
"Ma. aku memilih Rangga atau Kevin?" Pertanyaan Amelia yang membuatku tertawa. Dia yang memutuskan dengan seseorang, kenapa bertanya pada orang lain?"Kak Amelia bingung?""Hu-um, Ma. Akhir-akhir ini Rangga menyebalkan," ucapnya dengan bibir mengerucut."Kenapa?""Kan ada fotonya Amel dengan Kevin, eh, Rangga marah-marah. Padahal Amel tidak pernah melarang Rangga ini dan itu. Dia foto atau jalan dengan temannya yang cewek, Amel tidak protes. Kenapa dia malah protes. Marah-marah lagi," ucapnya sambil mendengus kesal.Baru beberapa hari yang lalu dipusingkan dengan hubungan Wisnu dan Rima, sekarang Amelia menyusul. Kalau Wisnu hanya menyakinkan kesungguhan hatinya. Ini malah lebih parah, Amelia bingung memilih yang mana."Ini pertanda Rangga merasa Kevin adalah ancaman. Kamu akan memilih dekat dengan Kevin daripada dengannya. Memang Kak Amel suka siapa? Rangga atau Kevin?"Wajahnya dia dongakkan, bola mata berputar dan jari telunjuk mengetuk-ketuk dagu. Kebiasaan dia saat berpikir."Seb
Selalu begini. Setiap ada yang tidak diterima di otakku, dengan sendirinya pikiran ini bergulir. Semakin tidak menemukan jawabannya, semakin liar asumsi yang dilahirkan. Aku melirik jam dinding kembali. Sudah lebih dari empat jam Wisnu pergi, tetapi tidak kunjung kembali. Amelia saja terpaksa pergi lagi, karena sudah tiba jadwal kuliah "Kok belum pulang, ya? Amel kan mau kuliah. Kak Wisnu beli alat tulisnya ke Mars, Ma? ," ucapnya sambil tertawaDia sudah makan minum, bahkan membahas surat cinta, demi menunggu Wisnu, tapi yang dinanti tidak kunjung datang. "Mungkin, Kak. Ke tokonya Elon Musk," sahutku menanggapi banyolannya. "Ya udah, Ma. Amel ke kampus saja. Tapi nanti sore pulang dan tidur di rumah. See you, Mama," serunya sambil salim dan mencium pipiku. Sekarang tertinggal aku yang berkutat dengan pikiran yang belum ada jawabannya. Biasanya, apapun tentang Wisnu aku mengetahuinya. Ini seperti ada yang disembunyikan. Apa ini ada hubungannya dengan Rima? Hati ini was-was seket
Uang memang adalah standar pengukur nilai yang sah. Akan tetapi, apakah nilai seseorang berdasarkan uang? Termasuk aku di mata Papa Bram.Aku sebenarnya penasaran. Bagaimana Papa Bram menilaiku seandainya menolak permintaannya meminjamkan uang. Apakah dia masih membanggakan aku? Atau, justru mengutukku sebagai anak yang tidak tahu diri?Biarlah. Itu sekadar uang yang bisa dicari. Yang terpenting, aku masih dibanggakan oleh Papa Bram. Tidak peduli karena apa alasannya, lebih baik aku menutup mata.“Wisnu! Sini!” Suara Papi Kusuma, memaksaku untuk mendongak. Papi melambaikan tangan, memintaku untuk segera menghampirinya di roof top. Gegas, aku menapaki tangga dengan setengah berlari.“Kamu dari mana? Mama dan Amelia mencari kamu sedari tadi,” tanya Papi Suma kemudian terdiam dan memberi tatapan menyelidik kepadaku.“Katanya Mama kamu pergi ke toko buku? Kok tidak ada belanjaannya?”Duh! Seketika aku ingat apa yang aku jadikan alasan menutupi kepergianku ke bank. Tadi antriannya panjang,