Uang memang adalah standar pengukur nilai yang sah. Akan tetapi, apakah nilai seseorang berdasarkan uang? Termasuk aku di mata Papa Bram.Aku sebenarnya penasaran. Bagaimana Papa Bram menilaiku seandainya menolak permintaannya meminjamkan uang. Apakah dia masih membanggakan aku? Atau, justru mengutukku sebagai anak yang tidak tahu diri?Biarlah. Itu sekadar uang yang bisa dicari. Yang terpenting, aku masih dibanggakan oleh Papa Bram. Tidak peduli karena apa alasannya, lebih baik aku menutup mata.“Wisnu! Sini!” Suara Papi Kusuma, memaksaku untuk mendongak. Papi melambaikan tangan, memintaku untuk segera menghampirinya di roof top. Gegas, aku menapaki tangga dengan setengah berlari.“Kamu dari mana? Mama dan Amelia mencari kamu sedari tadi,” tanya Papi Suma kemudian terdiam dan memberi tatapan menyelidik kepadaku.“Katanya Mama kamu pergi ke toko buku? Kok tidak ada belanjaannya?”Duh! Seketika aku ingat apa yang aku jadikan alasan menutupi kepergianku ke bank. Tadi antriannya panjang,
Adu kepintaran jangan dengan wanita, apalagi menantang soal ketelitian. Laki-laki tidak bakal akan menang. Walaupun menangpun, hanya karena kerelaan lawan dengan menunjukkan kepintaran pura-pura kalah. “Jadi sebenarnya kemana saja, Kak Wisnu?” Tatapan menyelidik Mama membuatku begidik. Isi kepala yang biasanya encer, membeku seketika. Aku tidak tahu harus menjawab apa. “Ran. Wisnu tadi ke bank,” sahut Papi Suma membuatku terbelalak. Duh! Kenapa Papi justru berkata jujur? “Kenapa harus ke bank? Bukankah semua serba online?” tanya Mama tanpa mengalihkan padangan dariku. Sekilas aku melihat Papi Kusuma berkedip memberi tanda. Namun tanda apa? Sekarang aku sudah tertangkap basah. Tinggal memberikan alasan yang mana, mengirim pinjaman untuk Papa Bram atau kepada teman yang anonim? “Ya bagaimana tidak ke bank, Ran. Kalau untuk membuat ATM baru. Wisnu tadi malam bilang kalau ATMnya salah pin dan tertelan di mesin atm,” seru Papi membuatku lega seketika. “Harusnya kamu mengatakan saja k
Suasana rumah ini kembali sepi, hanya terdengar sesekali kicauan burung liar yang berterbangan disela pohon palem di taman belakang. Bahkan mata ini mendapati sarang di sela dahan pohon itu. Pantas saja sedari tadi Anind berceloteh, “Bulung! Bulung?” Ternyata yang dimaksud ini.Tadi aku sempat bercanda dengan Denish dan Anind, sekarang mereka harus ke kamar untuk istirahat siang. Kedua adikku ini semakin pintar dan lucu.“Kak Inu tidak apa-apa, kan, ditinggal Eis dan Adek?” tanya Denish dengan menunjukkan tatapan iba. Adiknya yang di sampingnya ikut-ikutan sambil mengangguk.Gemas!Ingin aku cubit pipi mereka yang gembul dan aku ‘unyel-unyel’. Memeluk tubuh yang mungil pasti terasa hangat. Pantas saja banyak pasangan muda yang ingin segera dianugerahi anak, ternyata anak kecil sungguh membahagiakan. Mereka meninggalkan aku setelah bergantian memeluk dan menciumku. Aroma anak kecil sungguh menenangkan.Hmm…. Seandainya aku nanti menikah dengan Rima, anakku akan mirip siapa, ya? Aku at
“Kita bukan kuda penarik kereta, yang harus menggunakan kaca mata satu arah saat melaju di jalanan!” seru Papi Kusuma sambil tergelak. Kemudian meneguk air putih dan setelahnya mencondongkan tubuh ke arahku sambil berbisik, “Kita kuda pejantan tangguh!”Aku ikut tertawa, walaupun tidak mengerti sepenuhnya, apa yang dilontarkan Papi. Apa maksudnya kuda penarik kereta dan kuda pejantan? Ilustrasi yang bikin ketawa saja.“Kamu sudah memiliki goal, kan? Tidak perlu kamu menghindari sesuatu yang seharusnya menjadi pemacu.”“Tidak menghindar dari Rima?” tanyaku memastikan.“Betul!” sahut Papi sambil mengacungkan ibu jari.“Wis, ingat yang Papi bilang kapan hari? Mempunyai kekasih itu pastikan tidak merugi, tetapi justru sebagai pemacu semangat. Memang dalam berhubungan tidak merujuk pada untung dan rugi. Tetapi alangkah baiknya, hubungan itu saling memberikan semangat. Saling menguatkan dan menajamkan.”“Maksud Papi, aku boleh menemui Rima sebelum berangkat ke ibu kota?”“Kenapa harus tidak
“Eh, Nak Wisnu. Ayo silakan masuk,” ucap Pak Santoso Lee menyambut kedatanganku. Dia yang sedang duduk santai di teras, yang membukakan pintu untukku. Aku melihatnya dari kisi-kisi pintu gerbang.Benar-benar memunjukkan kekuatan referensi.Referensi tidak hanya diperlukan saat melamar pekerjaan. Ternyata melamar jadi calon menantu pun ini dipentingkan. Kalau referensi kerja adalah rekomendasi atau rujukan yang diberikan oleh pihak yang mengetahui kualitas. Begitu juga sebagai calon menantu.Entah apa yang dikatakan Papi Kusuma kepada Papinya Rima. Pastinya menunjukkan kalau aku layak menjadi pendamping Rima. Semoga saja ini bukan hanya karena nama besar Kusuma Adijaya.Wajah yang di kali pertama pertemuan terlihat kaku, sekarang menyambutku dengan senyuman lebar. Tidak ada bekas senyuman sinis yang pernah menhujam diriku. Sesaat langkah ini ragu mengingat segala ucapan lelaki tua ini. Akan tetapi tepukan tangannya di lengan ini menunjukkan kerelaan seratus persen menerima kedatanganku
“Jatuh cinta oh sejuta rasanya. Oh dia bisa membuatku menggila. Bertemu denganmu membuatku bahagia. Walau aku tak tahu harus bagaimana.” Nyanyian yang diperdengarkan selama perjalanan oleh Papi Kusuma. Sesekali meledekku dengan sindiran syair tentang jatuh cinta. Entah lagu zaman kapan itu. “Eh, ini lagunya terkenal. Eyang sering bernyanyi dulu, saat ada ada pesta.” “Gitu, ya, Pi. Wisnu dengar lagu ini. Malah belum pernah,” ucapku sambil ikutan bersenandung. Lagu yang baru aku dengar, langsung bisa lekat di kepala. Pantas saja terkenal, gampang diingat dan bahasanya pun sederhana tetapi mengena. “Tapi keren, kan?” “Iya, Pi!” sahutku sambil menunjukkan jempol tangan. Kami keluar jalan tol dan mulai masuk ke jalan umum. Kecepatan diturunkan seperti mobil-mobil di sekitarnya. Pemandangan pun terganti dengan kehidupan yang sebenarnya. Kegiatan yang dinamis memanjakan mata, dibanding yang tertangkap di jalan bebas hambatan tadi. “Menulis lagu itu menyampaikan sesuatu ke khalayak. Buk
“Bagaimana? Batterynya sudah full?” tanya Papi sambil mengedipkan mata. Lontaran yang menghangatkan pipiku seketika. Untung saja Pak Santoso dan Rima sudah pulang.Yang pernah dikatakan Eyang Sastro terbukti. Di usiaku dan Rima sekarang, ada dorongan hasrat karena hormon dewasa mulai mampu mengambil alih. Menggerakkan keinginan dan menyingkirkan logika.Seperti kejadiaan tadi. Derit suara pintu gerbang dibuka menyadarkan kami yang sudah hanyut dalam sentuhan. Aku segera beringsut menjauh darinya.Rima melongokkan kepala menyintip dari tirai penutup cendela.“Mama kamu?”“Bukan. Bibik keluar buang sampah. Mama masih di rumah tante. Kembalinya masih besuk,” ucapnya sambil menunjukkan senyuman.Aku berpindah tempat duduk, kemudian memulai berbincang dengan merentangkan jarak. Kawatir ada yang lewat yang menghanyutkan kami kembali.[Papi masih mengobrol dengan calon mertuamu. Jemput Papi kalau kalian sudah selesai] Pesan dengan arti yang abigu.Seperti alarm menunjukkan waktu habis, pesa
“Kamu percaya sama aku, kan? Serahkan Wisnu untuk kali ini kepadaku.” Ucapanku yang mengawali pembicaraan dengan Maharani, yang memaksanya berkata ‘iya’.“Tapi aku mengkawatirkan dia. Zaman sekarang dunia di luar sana tidak bisa diprediksi. Wajah manis dan ramah, belum tentu apa yang ada di kepala dan hatinya sama. Wisnu__”“Ran. Wisnu sudah dewasa. Walaupun dia belum mengerti sepenuhnya tentang kehidupan, sekarang sudah waktunya dia tidak terlalu dikawatirkan. Biarkan dia menjadi kuat dengan sedirinya. Namun, kita tidak melepaskan sepenuhnya, biaran aku yang mendampinginya sebagai ayahnya,” ucapku ambil menangkup kedua lengannya, memaksanya untuk menatapku dan mendapati kesungguhanku.Dia mengerjap, aku melihat air mata yang mengambang seiring senyuman yang terbit.“Terima kasih, Mas Suma,” ucapnya dengan suara parau.Aku mengerti tentang kekawatirannya. Sama dengan apa yang aku rasakan terhadap Amelia. Melihat anak yang berteman dekat dengan lawan jenis, seakan diharuskan bersiap me