Apapun yang terjadi, jangan lupa untuk berbahagia. . Semangat!
Suasana rumah ini kembali sepi, hanya terdengar sesekali kicauan burung liar yang berterbangan disela pohon palem di taman belakang. Bahkan mata ini mendapati sarang di sela dahan pohon itu. Pantas saja sedari tadi Anind berceloteh, “Bulung! Bulung?” Ternyata yang dimaksud ini.Tadi aku sempat bercanda dengan Denish dan Anind, sekarang mereka harus ke kamar untuk istirahat siang. Kedua adikku ini semakin pintar dan lucu.“Kak Inu tidak apa-apa, kan, ditinggal Eis dan Adek?” tanya Denish dengan menunjukkan tatapan iba. Adiknya yang di sampingnya ikut-ikutan sambil mengangguk.Gemas!Ingin aku cubit pipi mereka yang gembul dan aku ‘unyel-unyel’. Memeluk tubuh yang mungil pasti terasa hangat. Pantas saja banyak pasangan muda yang ingin segera dianugerahi anak, ternyata anak kecil sungguh membahagiakan. Mereka meninggalkan aku setelah bergantian memeluk dan menciumku. Aroma anak kecil sungguh menenangkan.Hmm…. Seandainya aku nanti menikah dengan Rima, anakku akan mirip siapa, ya? Aku at
“Kita bukan kuda penarik kereta, yang harus menggunakan kaca mata satu arah saat melaju di jalanan!” seru Papi Kusuma sambil tergelak. Kemudian meneguk air putih dan setelahnya mencondongkan tubuh ke arahku sambil berbisik, “Kita kuda pejantan tangguh!”Aku ikut tertawa, walaupun tidak mengerti sepenuhnya, apa yang dilontarkan Papi. Apa maksudnya kuda penarik kereta dan kuda pejantan? Ilustrasi yang bikin ketawa saja.“Kamu sudah memiliki goal, kan? Tidak perlu kamu menghindari sesuatu yang seharusnya menjadi pemacu.”“Tidak menghindar dari Rima?” tanyaku memastikan.“Betul!” sahut Papi sambil mengacungkan ibu jari.“Wis, ingat yang Papi bilang kapan hari? Mempunyai kekasih itu pastikan tidak merugi, tetapi justru sebagai pemacu semangat. Memang dalam berhubungan tidak merujuk pada untung dan rugi. Tetapi alangkah baiknya, hubungan itu saling memberikan semangat. Saling menguatkan dan menajamkan.”“Maksud Papi, aku boleh menemui Rima sebelum berangkat ke ibu kota?”“Kenapa harus tidak
“Eh, Nak Wisnu. Ayo silakan masuk,” ucap Pak Santoso Lee menyambut kedatanganku. Dia yang sedang duduk santai di teras, yang membukakan pintu untukku. Aku melihatnya dari kisi-kisi pintu gerbang.Benar-benar memunjukkan kekuatan referensi.Referensi tidak hanya diperlukan saat melamar pekerjaan. Ternyata melamar jadi calon menantu pun ini dipentingkan. Kalau referensi kerja adalah rekomendasi atau rujukan yang diberikan oleh pihak yang mengetahui kualitas. Begitu juga sebagai calon menantu.Entah apa yang dikatakan Papi Kusuma kepada Papinya Rima. Pastinya menunjukkan kalau aku layak menjadi pendamping Rima. Semoga saja ini bukan hanya karena nama besar Kusuma Adijaya.Wajah yang di kali pertama pertemuan terlihat kaku, sekarang menyambutku dengan senyuman lebar. Tidak ada bekas senyuman sinis yang pernah menhujam diriku. Sesaat langkah ini ragu mengingat segala ucapan lelaki tua ini. Akan tetapi tepukan tangannya di lengan ini menunjukkan kerelaan seratus persen menerima kedatanganku
“Jatuh cinta oh sejuta rasanya. Oh dia bisa membuatku menggila. Bertemu denganmu membuatku bahagia. Walau aku tak tahu harus bagaimana.” Nyanyian yang diperdengarkan selama perjalanan oleh Papi Kusuma. Sesekali meledekku dengan sindiran syair tentang jatuh cinta. Entah lagu zaman kapan itu. “Eh, ini lagunya terkenal. Eyang sering bernyanyi dulu, saat ada ada pesta.” “Gitu, ya, Pi. Wisnu dengar lagu ini. Malah belum pernah,” ucapku sambil ikutan bersenandung. Lagu yang baru aku dengar, langsung bisa lekat di kepala. Pantas saja terkenal, gampang diingat dan bahasanya pun sederhana tetapi mengena. “Tapi keren, kan?” “Iya, Pi!” sahutku sambil menunjukkan jempol tangan. Kami keluar jalan tol dan mulai masuk ke jalan umum. Kecepatan diturunkan seperti mobil-mobil di sekitarnya. Pemandangan pun terganti dengan kehidupan yang sebenarnya. Kegiatan yang dinamis memanjakan mata, dibanding yang tertangkap di jalan bebas hambatan tadi. “Menulis lagu itu menyampaikan sesuatu ke khalayak. Buk
“Bagaimana? Batterynya sudah full?” tanya Papi sambil mengedipkan mata. Lontaran yang menghangatkan pipiku seketika. Untung saja Pak Santoso dan Rima sudah pulang.Yang pernah dikatakan Eyang Sastro terbukti. Di usiaku dan Rima sekarang, ada dorongan hasrat karena hormon dewasa mulai mampu mengambil alih. Menggerakkan keinginan dan menyingkirkan logika.Seperti kejadiaan tadi. Derit suara pintu gerbang dibuka menyadarkan kami yang sudah hanyut dalam sentuhan. Aku segera beringsut menjauh darinya.Rima melongokkan kepala menyintip dari tirai penutup cendela.“Mama kamu?”“Bukan. Bibik keluar buang sampah. Mama masih di rumah tante. Kembalinya masih besuk,” ucapnya sambil menunjukkan senyuman.Aku berpindah tempat duduk, kemudian memulai berbincang dengan merentangkan jarak. Kawatir ada yang lewat yang menghanyutkan kami kembali.[Papi masih mengobrol dengan calon mertuamu. Jemput Papi kalau kalian sudah selesai] Pesan dengan arti yang abigu.Seperti alarm menunjukkan waktu habis, pesa
“Kamu percaya sama aku, kan? Serahkan Wisnu untuk kali ini kepadaku.” Ucapanku yang mengawali pembicaraan dengan Maharani, yang memaksanya berkata ‘iya’.“Tapi aku mengkawatirkan dia. Zaman sekarang dunia di luar sana tidak bisa diprediksi. Wajah manis dan ramah, belum tentu apa yang ada di kepala dan hatinya sama. Wisnu__”“Ran. Wisnu sudah dewasa. Walaupun dia belum mengerti sepenuhnya tentang kehidupan, sekarang sudah waktunya dia tidak terlalu dikawatirkan. Biarkan dia menjadi kuat dengan sedirinya. Namun, kita tidak melepaskan sepenuhnya, biaran aku yang mendampinginya sebagai ayahnya,” ucapku ambil menangkup kedua lengannya, memaksanya untuk menatapku dan mendapati kesungguhanku.Dia mengerjap, aku melihat air mata yang mengambang seiring senyuman yang terbit.“Terima kasih, Mas Suma,” ucapnya dengan suara parau.Aku mengerti tentang kekawatirannya. Sama dengan apa yang aku rasakan terhadap Amelia. Melihat anak yang berteman dekat dengan lawan jenis, seakan diharuskan bersiap me
Maharani pasti melakukan apa yang aku lakukan sekarang, memastikan bagaimana keluarga Santoso Lee yang nanti berhubungan dengan Wisnu.Memang jodoh diatur yang di Atas, akan tetapi kita harus berupaya untuk mendapatkan yang paling tepat. Ungkapan orang tua dulu yang menilai jodoh dari garis keturunan, status sosial ekonomi, dan kepribadian, serta pendidikan. Itu juga yang ditekankan Mami saat menjodohkan aku dengan Maharani.Dia ternyata menyelidiki kehidupan Maharani tanpa sepengetahuanku. Memastikan Maharani keturunan siapa, pendidikan, dan kepribadiannya. Mamiku itu mengirim seseorang untuk memastikan semua itu, bahkan kemudian dia menemui Ibunya Maharani sendiri-saat itu aku dan Maharani masih belum dekat. Tanpa aku tahu, mereka sepakat mendekatkan kami.“Hmm … tanpa campur tangan mereka, mungkin hubungan kami dulu tidak bisa secepat itu,” ucapku mengingat kejadian dulu.Maharani memang bekerja di rumahku sebagai pengurus rumah. Akan tetapi, latar belakang dia menunjukkan kualit
Kebahagiaan orang tua terletak pada pencapaian anak-anak. Bukan harus menjadi yang terbaik, tetapi cukup melakukan yang terbaik. Hasil? Itu hak yang di-Atas yang menentukan.Wisnu sudah berangkat ke ibu kota. Dia bersama team kecil untuk mengawali usahanya.“Setelah semua goal, kamu masih akan berkantor di Denpasar?”Sempat aku menangkap keraguan di matanya. Sebelumnya dia memang bersikukuh berkantor di sana, sekaligus melanjutkan usaha kontraktor Bram. Namun, aku merasa mempunyai celah untuk merayunya berada di dekatku.“Wisnu akan bicarakan dengan teman-teman dulu, Pi. Kami berkantor di Jawa atau di Bali,” ucapnya memberikan harapan kepadaku.Memang dia bukan anak kandungku. Akan tetapi kedekatan kami beberapa saat ini menunjukkan dia teman yang aku butuhkan selama ini. Banyak yang tidak bisa aku bicarakan dengan Amelia dan Maharani, tetapi nyaman saat bertukar pikiran dengan anak itu.POV Maharani“Rumah sepi lagi,” ucapku sambil menghela napas.Aku duduk menemani Mas Suma di tera
POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan
Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. “Jangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.” “Siap, Nyonya Rani.” Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. “Artisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,” ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku
Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,” ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. “Tapi, Tu
Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?“Ini untuk tahun ke berapa, Bu Rani?” tanya Claudia“Baru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?” Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi …. Sip!“Aku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,” ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.“Keluarga besar menggunakan pilihan
“Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini
Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”
Hati itu milik kita. Berada dalam tubuh kita sendiri, dan kitalah yang harus melindunginya dari apapun. Sedangkan kesenangan, kesedihan, itu adalah rasa yang ditimbulkan dari luar.Jadi, hati kita merasa sedih atau senang, tergantung dari izin kita. Apakah kita menerima atau mengabaikan hal yang menyebabkan rasa itu.*Aku dan Mas Suma tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada Pak Tiok. Di luar nalar dan di luar jangkauan pikiranku. Kenapa ada orang yang tega mengorbankan hati orang lain demi kebahagiannya.“Jadi suami Kalila itu sudah menjatuhkan talak tiga?” tanya Mas Suma.Pak Tiok tertawa miris. “Iya. Karenanya mereka membutuhkan aku supaya bisa menikah lagi.“Gila!” seru Mas Suma geram.Akupun demikian. Tanganku terkepal keras merasa tidak terima dengan perlakuan mereka. Terutama si wanita. Bisa-bisanya memperlakukan itu kepada orang yang menolongnya.Masih ingat aku bagaimana dia menangis karena korban penganiayaan si mantan suami. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan yang m
Sampai di rumah, aku benar-benar capek jiwa raga. Kepaku dibebani dengan pikiran tentang Pak Tiok. Bisa-bisanya ada orang seperti dia yang terus-menerus mengalami kegagalan dalam percintaan.Wajah rupawan, perawakan juga seperti foto model, karir pun tidak diragukan lagi. Namun, kenapa bisa dia mengalami hal seperti ini?“Mama istirahat saja dulu. Belanjaannya, biar Rima minta bantuan Bik Inah,” ucapnya sambil membawa belanjaan ke arah dapur. Rumah masih lengang. Mas Suma dan Wisnu pasti belum pulang. Begitu juga Amelia.Aku mengangguk menerima anjuran gadis itu. Dia tahu apa yang aku pikirkan. Sepanjang jalan aku mengomel dan membicarakan tetang Pak Tiok. Bagaimana perjalanan kisah mereka sampai menikah. Bagaimana Pak Tiok melindungi Kalika yang mendapat perlakukan tidak baik dari mantan suami.Sempat Rima tadi menyeletuk.“Laki-laki itu jangan-jangan mantannya Mbak tadi.”“Mama tidak tahu benar, Rima. Saat dia datang mengacau pernikahan, dia dalam keadaan mabok dengan penampilan yan
Kembali dari galeri, aku dan Rima tidak langsung pulang. Kami singgah di mall.“Tidak usah, Ma.”“Kenapa? Mama ingin membelikan kamu baju. Kepingin saja,” ucapku bersikukuh. Akhirnya kekasih Wisnu ini membelokkan mobil ke mall yang ternama di kota ini.“Kita kemana, Ma?” ucapnya berlari mensejajariku. Dia pasti heran, aku berjalan ke arah kebalikan dari tempat yang menjual pakaian.“Kita ke butik langganan kami. Aku akan mengukur kamu untuk data mereka,” jawabku terus berjalan. Sebenarnya bisa parkir di depan butik Claudia, tapi itu membuatku jauh dari tempat belanjaan yang menjadi tujuan utama.Pegawai yang berjaga langsung membukakan pintu, mereka tersenyum dengan tangan menangkup di depan. “Selamat datang, Nyonya Maharani.”Aku mengangguk, Rima yang di belakangku langsung mensejajari.“Hai, Bu Rani. Lama tidak kesini!” seru Claudia kemudian mengalihkan pandangan ke arah Rima.“Kenalkan ini Rima, calon mantu,” ucapku kemudian mendekat, “calonnya Wisnu.”Claudia langsung mengarahkan