“Jatuh cinta oh sejuta rasanya. Oh dia bisa membuatku menggila. Bertemu denganmu membuatku bahagia. Walau aku tak tahu harus bagaimana.” Nyanyian yang diperdengarkan selama perjalanan oleh Papi Kusuma. Sesekali meledekku dengan sindiran syair tentang jatuh cinta. Entah lagu zaman kapan itu. “Eh, ini lagunya terkenal. Eyang sering bernyanyi dulu, saat ada ada pesta.” “Gitu, ya, Pi. Wisnu dengar lagu ini. Malah belum pernah,” ucapku sambil ikutan bersenandung. Lagu yang baru aku dengar, langsung bisa lekat di kepala. Pantas saja terkenal, gampang diingat dan bahasanya pun sederhana tetapi mengena. “Tapi keren, kan?” “Iya, Pi!” sahutku sambil menunjukkan jempol tangan. Kami keluar jalan tol dan mulai masuk ke jalan umum. Kecepatan diturunkan seperti mobil-mobil di sekitarnya. Pemandangan pun terganti dengan kehidupan yang sebenarnya. Kegiatan yang dinamis memanjakan mata, dibanding yang tertangkap di jalan bebas hambatan tadi. “Menulis lagu itu menyampaikan sesuatu ke khalayak. Buk
“Bagaimana? Batterynya sudah full?” tanya Papi sambil mengedipkan mata. Lontaran yang menghangatkan pipiku seketika. Untung saja Pak Santoso dan Rima sudah pulang.Yang pernah dikatakan Eyang Sastro terbukti. Di usiaku dan Rima sekarang, ada dorongan hasrat karena hormon dewasa mulai mampu mengambil alih. Menggerakkan keinginan dan menyingkirkan logika.Seperti kejadiaan tadi. Derit suara pintu gerbang dibuka menyadarkan kami yang sudah hanyut dalam sentuhan. Aku segera beringsut menjauh darinya.Rima melongokkan kepala menyintip dari tirai penutup cendela.“Mama kamu?”“Bukan. Bibik keluar buang sampah. Mama masih di rumah tante. Kembalinya masih besuk,” ucapnya sambil menunjukkan senyuman.Aku berpindah tempat duduk, kemudian memulai berbincang dengan merentangkan jarak. Kawatir ada yang lewat yang menghanyutkan kami kembali.[Papi masih mengobrol dengan calon mertuamu. Jemput Papi kalau kalian sudah selesai] Pesan dengan arti yang abigu.Seperti alarm menunjukkan waktu habis, pesa
“Kamu percaya sama aku, kan? Serahkan Wisnu untuk kali ini kepadaku.” Ucapanku yang mengawali pembicaraan dengan Maharani, yang memaksanya berkata ‘iya’.“Tapi aku mengkawatirkan dia. Zaman sekarang dunia di luar sana tidak bisa diprediksi. Wajah manis dan ramah, belum tentu apa yang ada di kepala dan hatinya sama. Wisnu__”“Ran. Wisnu sudah dewasa. Walaupun dia belum mengerti sepenuhnya tentang kehidupan, sekarang sudah waktunya dia tidak terlalu dikawatirkan. Biarkan dia menjadi kuat dengan sedirinya. Namun, kita tidak melepaskan sepenuhnya, biaran aku yang mendampinginya sebagai ayahnya,” ucapku ambil menangkup kedua lengannya, memaksanya untuk menatapku dan mendapati kesungguhanku.Dia mengerjap, aku melihat air mata yang mengambang seiring senyuman yang terbit.“Terima kasih, Mas Suma,” ucapnya dengan suara parau.Aku mengerti tentang kekawatirannya. Sama dengan apa yang aku rasakan terhadap Amelia. Melihat anak yang berteman dekat dengan lawan jenis, seakan diharuskan bersiap me
Maharani pasti melakukan apa yang aku lakukan sekarang, memastikan bagaimana keluarga Santoso Lee yang nanti berhubungan dengan Wisnu.Memang jodoh diatur yang di Atas, akan tetapi kita harus berupaya untuk mendapatkan yang paling tepat. Ungkapan orang tua dulu yang menilai jodoh dari garis keturunan, status sosial ekonomi, dan kepribadian, serta pendidikan. Itu juga yang ditekankan Mami saat menjodohkan aku dengan Maharani.Dia ternyata menyelidiki kehidupan Maharani tanpa sepengetahuanku. Memastikan Maharani keturunan siapa, pendidikan, dan kepribadiannya. Mamiku itu mengirim seseorang untuk memastikan semua itu, bahkan kemudian dia menemui Ibunya Maharani sendiri-saat itu aku dan Maharani masih belum dekat. Tanpa aku tahu, mereka sepakat mendekatkan kami.“Hmm … tanpa campur tangan mereka, mungkin hubungan kami dulu tidak bisa secepat itu,” ucapku mengingat kejadian dulu.Maharani memang bekerja di rumahku sebagai pengurus rumah. Akan tetapi, latar belakang dia menunjukkan kualit
Kebahagiaan orang tua terletak pada pencapaian anak-anak. Bukan harus menjadi yang terbaik, tetapi cukup melakukan yang terbaik. Hasil? Itu hak yang di-Atas yang menentukan.Wisnu sudah berangkat ke ibu kota. Dia bersama team kecil untuk mengawali usahanya.“Setelah semua goal, kamu masih akan berkantor di Denpasar?”Sempat aku menangkap keraguan di matanya. Sebelumnya dia memang bersikukuh berkantor di sana, sekaligus melanjutkan usaha kontraktor Bram. Namun, aku merasa mempunyai celah untuk merayunya berada di dekatku.“Wisnu akan bicarakan dengan teman-teman dulu, Pi. Kami berkantor di Jawa atau di Bali,” ucapnya memberikan harapan kepadaku.Memang dia bukan anak kandungku. Akan tetapi kedekatan kami beberapa saat ini menunjukkan dia teman yang aku butuhkan selama ini. Banyak yang tidak bisa aku bicarakan dengan Amelia dan Maharani, tetapi nyaman saat bertukar pikiran dengan anak itu.POV Maharani“Rumah sepi lagi,” ucapku sambil menghela napas.Aku duduk menemani Mas Suma di tera
[Ma. Proposal PKL Amel diterima. Jangan pergi, ya. Sebentar lagi Amel pulang][Amel bawa sesuatu yang spesial untuk Mama]Akhirnya aku ada yang menemani. Rentetan kedatangan Pak Tiok bersambung di hari ini. Dengan alasan melepas masa lajang, Pak Tiok memberikan undangan pesta lajang. Membuatku sendirian di malam ini.“Jangan aneh-aneh!” ucapku tadi saat membantu Mas Suma bersiap.Baju yang sebelumnya dia kenakan, aku paksa untuk ganti. Bagaimana tidak kesal, dia mengenakan baju kaos berkerah yang kerahnya dinaikkan. Dengan potongan pres body yang menunjukkan betapa kerennya penampilannya. Apalagi warnanya hitam, yang menonjolkan kulitnya yang putih kemerahan.Kesal, kan?!“Ran. Kalau ganti baju yang lain kan tidak keren. Masak aku kelihatan seperti bapak-bapak sendiri. Sedangkan Tiok kelihatan ganteng begitu,” ucapnya protes.“Loh, tapi kan Pak Tiok yang punya acara. Wajar donk, kalau dia kelihatan lebih menawan dibandingkan para undangan. Mas Suma mau nyaingi calon mempelai? Jangan-j
“Jadi ini harus Mama yang bilang ke Papi?”“Hu-um,” ucapnya dengan mengangukkan kepala.Sebagai orang tua memang wajib mendukung yang dicita-citakan oleh anak. Namun, bukan berarti meng-iya-kan segala yang dia minta. Termasuk permintaan Amelia untuk meminta bantuanku untuk meminta izin kepada Mas Suma.“Kalau Mama bantu bicara ini kepada Papi, pasti Papi mengerti,” ucap Amelia berusaha merajuk.Bukannya aku tidak ingin membentunya, tetapi aku ingin dia mulai belajar tanggung jawab. Kalau hanya masalah minta izin kepada Papinya dia tidak bisa membereskan, bagaimana mengurus hal besar di luar sana? Orang-orangnya lebih kejam daripada Mas Suma.“Mama pasti membantu rencana Kak Amel.”“Beneran, Ma? Asyik!” ucapnya dengan menunjukkan mata berbinar.“Dengan doa,” sahutku segera.Ucapanku seketika meluruhkan senyumannya. Lantas dia memasang wajah merajuk.“Kak Amelia, Sayang. Seingat Mama ada yang pernah mengatakan kalau ingin mandiri? Nah sekarang waktunya Kak Amelia membuktikan kalau kema
“Bodok!”“Kamu tidak percaya?”“Tidak,” jawabku cepat menolak pembelaan yang dilontarkan Mas Suma.Di kepalaku masih lekat bayangan laki-laki norak itu. Dengan kancing kemeja bagian atas terbuka, dia bergoyang sambil mengangkat tangannya yang berisi lembaran uang. Saking semangatnya, perut buncit berwarna kontras dengan kemejanya menyembul. Bahkan tangan-tangan lentik itu mengusap dan seakan bersorak saat lembaran uang itu berpindah tangan.“Ran. Aku itu buka kancing kemeja saat di mobil. Itu pun karena gerah.” Mas Suma bersikukuh sambil mendekatkan diri kepadaku yang duduk di tepi ranjang. Aku melemparkan pandangan pecuh kecurigaan, kemudian melengos.“Huh! Alasan! Mana ada di mobil terasa gerah. AC nya kan super dingin. Tidak masuk di otak,” ucapku sambil beringsut menjauh. Rasa kantukku sakarang hilang seketika. Padahal jarum jam sudah menunjuk angka satu.Mas Suma beranjak berdiri. Sudut mataku menangkap dia yang menatapku lekat.“Memang kamu tahu dari mana? Kan kamu tidak ikut? B