Yang aku harapkan bukan seperti ini. Dalam bayanganku pun persis seperti di dalam dongeng di buku yang dulu aku baca. Cerita yang membuatku iri karena saat itu aku belum mempunyai ibu. Sekaligus bacaan sebagai penghibur kerinduan yang tidak pernah terbayar. Ternyata penantianku dari kecil sampai dewasa tidak seperti yang aku inginkan. Dalam pikiranku, aku tidur seranjang dengan Mami Dewi layaknya anak dan ibu. Saling mencurahkan kasih sayang, cinta, dan saling menguatkan. Bukan justru menyebar kebencian. [Kakak pulang. Pesananmu sudah Kakak belikan] Ketidaknyamanan luruh seketika karena kabar baik. Kak Wisnu pulang. Ini berarti kami dalam formasi lengkap. Kesempatan yang tidak boleh dilewatkan. Dan sekarang kami berenam berkumpul di ruang keluarga. Bukan Papi namanya, kalau tidak menyeletuk dan ngeselin. "Beneran Amelia sudah ada yang naksir lagi. Dulu Rangga, sekarang Kevin. Wah, keren. Kakak saja tidak laku-laku," seru Kak Wisnu sambil garuk-garuk kepala. "Itu yang ket
Nikmatnya memasak itu, bukan karena apa yang dimasak. Akan tetapi, kenikmatannya pada untuk siapa masakan itu disiapkan. Pagi yang terasa ringan di hati. Semangatku kembali seperti semula. Memasak dengan hati yang riang. "Bu Rani suaranya bagus," celetuk Bik Inah sambil senyum-senyum. Aku yang bersenandung lagi Harta Paling Berharga, tersenyum dan meneruskan nyanyianku. Memang tidak semerdu penyanyinya, tapi kebahagiaan yang aku rasakan begitu sangat. Dia meneruskan menggoreng potongan pisang dan adonan kue yang sudah aku siapkan. Sambil mendengarkan nyanyian yang terjeda, bahkan Bik Inah pun ikut bersenandung. ~Harta yang paling berharga adalah keluargaIstana yang paling indah adalah keluargaPuisi yang paling bermakna adalah keluargaMutiara tiada tara adalah keluarga~"Bik Inah. Pisang goreng yang sudah tidak berminyak, letakkan mengitari mangkuk ini, ya?" ucapku sambil menunjukkan piring besar beralaskan daun pisang, yang ditengahnya mangkuk berisi gula merah cair. Potong
Teriakanku mengundang Mas Suma keluar dari kamar. Dia tergopoh menghampiri kami, sambil mengancingkan kancing baju. Dari rambutnya yang sedikit basah terlihat dia baru saja selesai mandi. Mandi untuk kedua kali setelah semalam. "Kenapa-kenapa? Rani, kamu kenapa?" tanyanya menunjukkan wajah kebingungan. Dia menatap kami bergantian. "Tidak apa-apa, Pi. Ini lo, Kak Wisnu gangguin Mama," ucap Amelia menjelaskan. "Oh, aku pikir kamu teriak karena ada apa-apa. Kaget aku," ucap Mas Suma sambil memberikan tatapan kawatir kepadaku. Suamiku ini mengusap-usap punggungku sekilas. Sentuhan sesaat, tetapi menghangatkan hati ini. Aku membalasnya dengan senyuman, begitu juga dia. Sesaat, kami saling pandang di satu garis lurus. "Cie-cie, Papi, Mama. Tidak berperi kejomloan," celetuk Wisnu disambut tawa kecil Amelia. Yang bergabung bertambah lagi. Amelia aku suruh mengambil pisang goreng yang sudah ditata oleh Bik Inah di piring besar yang sudah aku siapkan tadi. Kami pindah ke meja makan
Melihat Mama bahagia dengan Papi Kusuma, hati ini merasa lega. Kebahagiaan Mama yang sempat terenggut, seakan tidak berbekas. Senyuman, candaan, bahkan kekesalan yang ditunjukkan Mama kepada Papi Suma, menunjukkan betapa indahnya hubungan mereka. Mereka selalu menunjukkan kemesraan yang sebenarnya. Setelah kejadian yang membuat pipi Mama memerah, entah kemana Papi menarik Mama. Sekarang tertinggal aku dan Amelia meneruskan makan sambil ngobrol. "Kak Wisnu." "Apa?" Aku menoleh dan mendapati dia mengarahkan ponsel ke arahku. "Amel mau bikin status. Pamer kalau punya kakak," ucapnya, kemudian sibuk berkutat dengan ponsel. Senyumku mengembang melihat Amelia. Dia begitu membanggakan aku. Kadang aku heran, kenapa dia suka punya kakak secerewet aku ini? Adik tiriku ini sering merajuk dan mengesalkan, walaupun akan menurut saat aku mulai melotot dan menghujani omelan. "Kalau Kak Wisnu sih enak, ya." "Enak apanya?" tanyaku sambil menunjuk pisang goreng yang aku pegang. Sama d
Bohong kalau aku tidak suka dia. Berapa banyak alasan yang aku kemukakan untuk menjauhinya, selalu bermuara pada namanya. Sejauh-jauhnya kaki ini berlari, tetapi tetap berujung pada dirinya. Aku tidak tahu. Ini anugrah atau cobaan. Anugrah karena penglihatanku semakin jelas menangkap nama cinta pada dirinya. Atau, ini justru cobaan pada tujuan yang sedang aku rintis?Semakin aku sering berhubungan dengan gadis ini, konsentrasiku seakan terbagi. Begitu pula waktu dan kesempatan. Karenanya, aku memilih berlama-lama di proyek. Bukannya kesibukan yang sangat, tetapi untuk menghindari keinginanku untuk menghubungi. Begitu juga dia. Aku memposisikan kami terpisah, karena sinyal. Dengan begitu, aku bisa melakukan pekerjaan yang aku cita-citakan. Ini yang menyebabkan aku belum merasa siap untuk bersamanya. [Rima, kamu marah kepadaku karena lama membalas chat? Sudah lama kita tidak ngobrol. Aku kangen....Jempol tangan ini terhenti. Kenapa aku menulis ini? Memalukan dan membanting harga
Memang bisa kopi yang sudah dingin dipanasin? Bisa.Tinggal jerang adonan kopi di atas kompor kembali. Setahuku ada racikan kopi seperti ini, namanya kopi klotok. Kopi direbus dalam panci di atas tungku sehingga mengeluarkan bunyi klotok-klotok ketika mendidih. Kata orang-orang, cara ini mirip pembuatan kopi tradisional di Turki.Itu yang bisa aku lakukan untuk memanaskankan lagi yang sudah dingin. Seperti Rima terhadapku."Nih, kopinya Kakak, enak kembali." Aku mendekatkan kopi yang mengepul ke dekat hidungnya. Aroma kopi ini terciuk lebih menggoda dibandingkan sebelumnya. "Mau, Kak.""Hus. Kamu nanti saja kalau sudah terpaksa lembur-lembur," ucapku sambil mendudukkan diri di sampingnya. Dia masih berkutat dengan tugas dari kampus. Berbagai literatur dia cari untuk jawaban, baik dari buku ataupun pendapat yang tercatat di internet. "Enak sekarang. Kalau cari bahan tinggal klik di kolom pencarian. Semua yang kita cari muncul semua," ucap Amelia tanpa melepaskan pandangan mata dar
Aku mengikuti Papi yang terlihat bersemangat. Mama bertanya, katanya ini urusan laki-laki."Bilang saja kangen," sahut Mama sambil tertawa dan membiarkan kami pergi."Ada apa, Pi? Ada yang ketinggalan?" tanyaku saat langkahnya berhenti.Dia membalikkan badan dan menghampiri aku yang tiga langkah di belakangnya."Kalau jalan dengan Papi jangan di belakang. Sini!" ucapnya sambil merangkul pundak ini. Kami berjalan beriringan seperti bapak dan anak.Ya, itu yang aku rasakan. Papi Kusuma walaupun ayah tiri, tetapi memperlakukan tidak dengan batasan. Perlakuan dari Papa Bram yang sudah tidak lagi aku dapatkan.Terkesan cengeng, tapi aku yakin semua anak lelaki seusia berapapun, pasti merindukan seperti saat ini."Kita mau apa dulu?" tanya Papi setelah kami di atas. Rofttop dengan bentukan sederhana tetapi asri. Angin semilir terasa sejuk menyelinap di sela tanaman gantung.Aku duduk di kursi kayu, mengeluarkan kotak catur dan menyusun bidak. Sedangkan Papi mengambil minuman dingin yang suda
Kata orang, kalau kita ingin kehidupan yang mudah, kerjakan hal yang tidak mudah. Sebaliknya, kalau kita mengerjakan sesuatu yang mudah saja, bisa saja hidup kita tidak akan mudah. "Benar itu, Pi?" tanyaku kepada Papi, setelah aku kembali naik kembali ke roff top. Berkumpul kembali dengan Papi dan Mama untuk berbincang santai. Aku tidak bisa ngobrol banyak dengan Rima. Baru saja aku angkat ponsel yang berbunyi, dia langsung berkata, "Mas Wisnu, maaf. Dosen yang aku tunggu sudah datang. Tadi pas aku telpon, saat menunggu konsultasi proposal PKL. Aku tutup, ya. Nanti malam kita telponan."Nadanya terdengar tergesa dan berbisik. Aku hanya bisa mengatakan iya dan menelan ludah. Niatku ingin berbincang banyak dengannya tertunda. Rinduku mendengar suaranya, tergantung begitu saja. Bukan salah dia juga, tetapi kesempatan yang belum berpihak kepada kami. "Kamu bertanya seperti itu, untuk masalah usaha, atau percintaan?" Papi Suma memandang Mama, kemudian mereka tersenyum simpul kepadaku.