Masih dengan rambut lembab karena belum kering sepenuhnya, aku menyiapkan makanan. Termasuk untuk Denish dan Anind.Aku juga menyiapkan kue coklat untuk teman tunggu nantinya. Saat menunggu pengumuman Amelia, yang membutuhkan hati relax. Tidak cemas. Coklat, camilan yang cocok.“Gerah ya, Bu Rani. Bibik saja tidak kuat, ingin mandi lagi,” celetuk Bik Inah yang menyerahkan pepes yang sudah dibakar di dapur belakang.Aku tersenyum sambil berpikir. Ungkapannya ini memang benar adanya, atau ada asumsi lain. Dirunut dengan kenapa dan ada apa dibalik keramas pada siang hari.“Eh. Iya, Bik Inah. Apalagi habis masak pepes. Serasa bau ikannya lengket.” Aku tersenyum. Merasa puas dengan jawabanku yang pas. Tidak menggiring opini pada hal yang sebenarnya terjadi sebelum aksi keramas sebenarnya.Merasa terbebas dari kecurigaan, kami mulai menata meja. Bik Inah membantu menyiapkan sayur rebusan.“Ran. Aku minta es teh. Kalau ada dikasih lemon sedikit.” Mas Suma datang dengan rambut basah.Duh!Sud
Banyak yang bisa dilakukan ketika kenyataan belum berpihak pada harapan. Itu bukanlah akhir segalanya, apalagi menjadi alasan untuk berhenti. Bisa jadi, menjadi kesempatan untuk mendapatkan yang terbaiklah.*“Mama. Amel bodoh, ya? Tidak pintar seperti Kak Wisnu.” Kepala Amelia mendongak, aku mengusap lembut rambutnya, kemudian membingkai wajahnya yang berada di pangkuanku. Setelah pengumuman tadi, dia hanya mau di dalam kamar dengan posisi seperti ini.Aku mengerti perasaannya, karena dulu pernah mengalaminya. Gagal mendapatkan sekolah yang diinginkan. Padahal saat itu aku merasa pasti berhasil. Semua soal bisa aku kerjakan dengan mudah. Pertanyaan kenapa dan kenapa membuatku kesal setengah mati.Tidak cukup satu hari, bahkan lebih dari seminggu untuk membangkitkan diri ini kembali. Yang dibutuhkan sekarang bukan nasehat, tetapi waktu untuk menenangkan diri. Mungkin dengan cerita sedikit, bisa mengarahkan dia untuk mengerti.“Tidak ada kata tidak pintar. Apalagi untuk anakku Amelia i
Yang aku lihat, ini kecemasan seorang ayah kepada putrinya. Dia rela meletakkan kebiasaannya demi senyuman di wajah buah hati.Mas Suma langsung memanggil Pak Maman untuk bersiap di mobil. Hanya lima menit, aku diberi waktu untuk bersiap. Keluar dari kamar, dia langsung mengajukan protes.“Tumben lama sekali dandannya?”Aku melirik jam dinding. Memang sepuluh menit, kelebihan lima menit. Perasaan ini sudah standar waktu tercepat. Make-up dan ganti baju.“Lebih sedikit, Suamiku,” ucapku sambil mengerjapkan mata.Dia hanya tersenyum kaku, kemudian menyodorkan coretan acara yang akan dia lakukan.“Aku pernah melihat di drama korea yang ditonton Amelia,” ucapnya sambil menarik tangan ini. Membiarkan aku membaca sambil berjalan.Sambil berjalan dia tidak henti menjelaskan isi catatan itu. “Hati-hati,” ucapnya sambil menekan kepalaku untuk masuk ke mobil. Kemudian dia mengikutiku untuk duduk di bangku belakang.Aku mengerutkan dahi, tumben Mas Suma menulis dengan detail sesuatu yang belum p
Rencana itu akan berhasil kalau kita bekerjasama dengan baik. Dikomando oleh Mas Suma, kami bersiap di pos masing-masing. Wisnu yang sudah datang, terpaksa mempersiapkan diri di kantor, temasuk Mas Suma. Bik Inah mondar-mandir membawa apa yang mereka butuhkan.Anind dan Denish sudah diamankan di ruang bermain. Tadi sempat bercanda denganku. Mereka sudah mulai pintar. Keduanya sudah bisa berinteraksi sebagai teman bermain.Sedangkan aku sekarang bertugas menunggu di rumah. Jaga Amelia.“Ma. Papi mana?”“Tidak tahu, tuh. Dari tadi menghilang,” jawabku sambil tetap sibuk menyiapkan camilan cookies. Tadi Amelia sudah bertanya, dan aku menjawab ini hanya untuk stok. Seperti kebiasaanku biasanya.Amelia diam di meja makan, kedua tangannya menangkup cangkir besar berisi minuman coklat yang masih mengepul uap. Dia termenung dengan tatapan sendu. Tadi aku tawari makan, tidak mau. Hanya minuman ini saja yang dia maui.“Minumannya kurang lengkap kalau tidak ada ini,” ucapku sambil menyodorkan sa
“Yah, Papi.” Amelia mendongakkan kepala, kemudian menelungkup di meja dengan tumpuan kedua tangan. Kemudian dia menegakkan duduk, setelah menoleh ke arah Mas Suma sedang yang menunjukkan kekecewaan. Sedangkan Wisnu, segera turun mengajak Pak Maman untuk mencari gas portable.“Maaf, ya, Kak Amel. Papi gagal.” Kedua bahunya turun dan punggung tidak setegak tadi. Amelia menghampiri Mas Suma.“Harusnya Papi lebih teliti dan cek semuanya lengkap atau tidak. Bukannya bikin kejutan, justru seperti ini. Mengecewakan,” ucapnya lagi sambil menepuk kursi di sebelahnya, supaya Amelia duduk di sana.“Amelia tetap senang kok, Pi. Yang penting itu kita mengusahakan yang terbaik. Kalau ada yang kelewatan, itu namanya khilaf,” serunya kemudian menoleh ke arahku. “Iya kan, Ma?”Tiga kaleng minuman soda yang dibawa Wisnu tadi, aku bagikan kepada mereka. Kemudian bergabung sambil menunggu Wisnu.“Kalau gagal, namanya ya tetap gagal, Kak. Anakku ini kan tidak jadi langsung makan,” ucap Mas Suma sambil m
Penghiburan pemulihan berhasil. Tidak ada lagi sisa kecewa di wajah Amelia. Justru dia terlihat lebih bersemangat. Pagi-pagi dia sudah menggedor pintu kamar Wisnu. Katanya, mereka sudah janjian untuk lari pagi.“Ayo, Kak Wisnu! Kita harus semangat!” seru Amelia sambil mendorong tubuh Wisnu yang masih loyo. Aku tahu, dia tadi malam begadang dengan Mas Suma. Suamiku masuk kamar sekitar jam dua malam.Aku tahu, karena tidak bisa tidur sebelum mendapat jawaban dari dia tentang doa yang dilayangkan untuk Amelia.“Belum tidur, Ran?” ucapnya, saat aku beringsut dan duduk saat dia sudah bersiap tidur.“Mas Suma belum menjawab pertanyaanku.”“Pertanyaan apa?”“Itu tentang doa Mas Suma tentang Amelia. Benar Mas Suma mengharapkan Amelia gagal?”Bukannya menjawab, Mas Suma justru tertawa. Dia menyunggar rambutnya, kemudian menangkup pipiku. “Penasaran? Sampai-sampai tidak tidur?”“Hu-um,” ucapku sambil menangkup mulut yang menguap.Kedua tangannya menangkup lenganku, menghadapkan kepada dirinya.
Amelia itu sosok yang manis dan lucu. Melihatnya saja, hati ini tidak sanggup untuk kesal apalagi marah kepadanya. Kesukaan kami yang sama, semakin membuat kami dekat sebagai kakak dan adik. Awalnya aku ragu, bisa mengemban tugas sebagai kakak. Harus ngemong, ngalah, ngasih tahu, menjaga ini dan itu. Terdengar membosankan.Terlebih menghadapi Amelia, harus ekstra sabar.Akan tetapi, lambat laun kasih sayang sesama saudara menggerakkan diri ini untuk terbiasa dengan tugas itu.Yang diinginkan sekarang ini mirip dengan Rima, teman satu unit aktifitas mahasiswa dulu. Dia fakultas ekonomi jurusan managemen. Kisahnya hampir mirip, dia yang anak seorang pengusaha harus rela meletakkan cita-citanya sebagai penari. Keengganannya berimbas pada kuliah yang hampir terbengkelai.Namun, dengan syair lagu K-Pop, aku bisa membangkitkan semangatnya. Menyadarkan dia kalau kegagalan itu hanya menutup satu pintu, dan pintu-pintu lain masih terbuka lebar. Tergantung mata kita bisa melihatnya atau tidak.
Kami sudah bersiap. Sambil menunggu Amelia, aku bercanda dengan Denish. Kalau melihat dia, aku berasa menjadi anak kecil lagi.“Akak Inu. Eis mau bikin obot yang bisa tebang!” seru adikku yang gembul ini sambil menuang lego dari keranjang.“Memang Denish bisa?”“Bisa, dong. Kan Eis sudah sekolah.”“Kelas berapa?”“Kelas segini,” ucapnya sambil menunjukkan kelima jarinya.“Kelas lima?”“Hu-um,” sahutnya sambil mengangguk. Gerakan yakinnya, membuat pipi yang gembul kemerahan bergerak-gerak. Tangan ini sudah gatal ingin mencubitnya. Gemas!Dia konsentrasi dengan mainan lego. Menyusun ini dan itu kemudian berteriak. “Hole! Eis berhasil!”Dia menunjukkan hasil karyanya, robot versi Denish.“Obotnya akak Inu mana?”“Wah, Kak Wisnu kalah cepat. Kak Denish menang. Hore!” seruku disambut senyuman lebar olehnya. Aku bercanda dengannya. Guling-guling bahkan kuda-kudaan. Dia terlihat riang dan menggemaskan. Sepertinya, alasan untuk pulang semakin bertambah.“Kak Wisnu ayo kita berangkat!” seru Am