Rencana itu akan berhasil kalau kita bekerjasama dengan baik. Dikomando oleh Mas Suma, kami bersiap di pos masing-masing. Wisnu yang sudah datang, terpaksa mempersiapkan diri di kantor, temasuk Mas Suma. Bik Inah mondar-mandir membawa apa yang mereka butuhkan.Anind dan Denish sudah diamankan di ruang bermain. Tadi sempat bercanda denganku. Mereka sudah mulai pintar. Keduanya sudah bisa berinteraksi sebagai teman bermain.Sedangkan aku sekarang bertugas menunggu di rumah. Jaga Amelia.“Ma. Papi mana?”“Tidak tahu, tuh. Dari tadi menghilang,” jawabku sambil tetap sibuk menyiapkan camilan cookies. Tadi Amelia sudah bertanya, dan aku menjawab ini hanya untuk stok. Seperti kebiasaanku biasanya.Amelia diam di meja makan, kedua tangannya menangkup cangkir besar berisi minuman coklat yang masih mengepul uap. Dia termenung dengan tatapan sendu. Tadi aku tawari makan, tidak mau. Hanya minuman ini saja yang dia maui.“Minumannya kurang lengkap kalau tidak ada ini,” ucapku sambil menyodorkan sa
“Yah, Papi.” Amelia mendongakkan kepala, kemudian menelungkup di meja dengan tumpuan kedua tangan. Kemudian dia menegakkan duduk, setelah menoleh ke arah Mas Suma sedang yang menunjukkan kekecewaan. Sedangkan Wisnu, segera turun mengajak Pak Maman untuk mencari gas portable.“Maaf, ya, Kak Amel. Papi gagal.” Kedua bahunya turun dan punggung tidak setegak tadi. Amelia menghampiri Mas Suma.“Harusnya Papi lebih teliti dan cek semuanya lengkap atau tidak. Bukannya bikin kejutan, justru seperti ini. Mengecewakan,” ucapnya lagi sambil menepuk kursi di sebelahnya, supaya Amelia duduk di sana.“Amelia tetap senang kok, Pi. Yang penting itu kita mengusahakan yang terbaik. Kalau ada yang kelewatan, itu namanya khilaf,” serunya kemudian menoleh ke arahku. “Iya kan, Ma?”Tiga kaleng minuman soda yang dibawa Wisnu tadi, aku bagikan kepada mereka. Kemudian bergabung sambil menunggu Wisnu.“Kalau gagal, namanya ya tetap gagal, Kak. Anakku ini kan tidak jadi langsung makan,” ucap Mas Suma sambil m
Penghiburan pemulihan berhasil. Tidak ada lagi sisa kecewa di wajah Amelia. Justru dia terlihat lebih bersemangat. Pagi-pagi dia sudah menggedor pintu kamar Wisnu. Katanya, mereka sudah janjian untuk lari pagi.“Ayo, Kak Wisnu! Kita harus semangat!” seru Amelia sambil mendorong tubuh Wisnu yang masih loyo. Aku tahu, dia tadi malam begadang dengan Mas Suma. Suamiku masuk kamar sekitar jam dua malam.Aku tahu, karena tidak bisa tidur sebelum mendapat jawaban dari dia tentang doa yang dilayangkan untuk Amelia.“Belum tidur, Ran?” ucapnya, saat aku beringsut dan duduk saat dia sudah bersiap tidur.“Mas Suma belum menjawab pertanyaanku.”“Pertanyaan apa?”“Itu tentang doa Mas Suma tentang Amelia. Benar Mas Suma mengharapkan Amelia gagal?”Bukannya menjawab, Mas Suma justru tertawa. Dia menyunggar rambutnya, kemudian menangkup pipiku. “Penasaran? Sampai-sampai tidak tidur?”“Hu-um,” ucapku sambil menangkup mulut yang menguap.Kedua tangannya menangkup lenganku, menghadapkan kepada dirinya.
Amelia itu sosok yang manis dan lucu. Melihatnya saja, hati ini tidak sanggup untuk kesal apalagi marah kepadanya. Kesukaan kami yang sama, semakin membuat kami dekat sebagai kakak dan adik. Awalnya aku ragu, bisa mengemban tugas sebagai kakak. Harus ngemong, ngalah, ngasih tahu, menjaga ini dan itu. Terdengar membosankan.Terlebih menghadapi Amelia, harus ekstra sabar.Akan tetapi, lambat laun kasih sayang sesama saudara menggerakkan diri ini untuk terbiasa dengan tugas itu.Yang diinginkan sekarang ini mirip dengan Rima, teman satu unit aktifitas mahasiswa dulu. Dia fakultas ekonomi jurusan managemen. Kisahnya hampir mirip, dia yang anak seorang pengusaha harus rela meletakkan cita-citanya sebagai penari. Keengganannya berimbas pada kuliah yang hampir terbengkelai.Namun, dengan syair lagu K-Pop, aku bisa membangkitkan semangatnya. Menyadarkan dia kalau kegagalan itu hanya menutup satu pintu, dan pintu-pintu lain masih terbuka lebar. Tergantung mata kita bisa melihatnya atau tidak.
Kami sudah bersiap. Sambil menunggu Amelia, aku bercanda dengan Denish. Kalau melihat dia, aku berasa menjadi anak kecil lagi.“Akak Inu. Eis mau bikin obot yang bisa tebang!” seru adikku yang gembul ini sambil menuang lego dari keranjang.“Memang Denish bisa?”“Bisa, dong. Kan Eis sudah sekolah.”“Kelas berapa?”“Kelas segini,” ucapnya sambil menunjukkan kelima jarinya.“Kelas lima?”“Hu-um,” sahutnya sambil mengangguk. Gerakan yakinnya, membuat pipi yang gembul kemerahan bergerak-gerak. Tangan ini sudah gatal ingin mencubitnya. Gemas!Dia konsentrasi dengan mainan lego. Menyusun ini dan itu kemudian berteriak. “Hole! Eis berhasil!”Dia menunjukkan hasil karyanya, robot versi Denish.“Obotnya akak Inu mana?”“Wah, Kak Wisnu kalah cepat. Kak Denish menang. Hore!” seruku disambut senyuman lebar olehnya. Aku bercanda dengannya. Guling-guling bahkan kuda-kudaan. Dia terlihat riang dan menggemaskan. Sepertinya, alasan untuk pulang semakin bertambah.“Kak Wisnu ayo kita berangkat!” seru Am
Malam ini, malam terakhir Wisnu di rumah. Besuk dia harus kembali ke Denpasar. Sebenarnya banyak yang ingin aku bicarakan dengannya, berdua. Namun kesempatan belum berpihak kepada kami. Bagaimana bisa, Amelia dan Mas Suma bergantian di sisi anak lelakiku itu.Seperti sekarang. Kami berkumpul di ruang keluarga. Tadi Anind dan Denish sempat bergabung. Bermain bersama dengan Amelia dan Wisnu. Aku pikir, semakin malam tidak hanya Denish dan Anind yang beranjak tidur. Harapanku Mas Suma dan Amelia juga. Ternyata mereka malah membuat minuman hangat dan camilan. Amelia yang membuatnya.“Papi. Ini drama koreanya viral, lo. Tidak hanya di sana, tetapi sampai luar negeri,” seru Amel memulai mengidupkan episode pertama.Aku menghela napas pelan. Kalau yang diputar film, mungkin durasinya hanya dua jam. Sedangkan ini drama berseri. Kapan mereka tidurnya.“Beneran lo, Ma. Mama sudah tahu ceritanya?” ucap Amelia mengejutkan aku.“Hmm? Apa?” tanyaku kemudian tatapan tertuju pada layar televisi. Akto
Benda mati di sekitar kita, sering kali menjadi monumen. Pengingat akan masa lalu. Baik kejadian baik, terlebih kejadian buruk. Seperti yang dialami Wisnu. Dia menceritakan bagaiman tersiksanya dia saat menapaki tangga, atau melangkahkan kaki ke lantai atas. Tempat kamar yang aku huni bersama Mas Bram dulu.Baginya, kenangan buruk lebih menyiksa, sampai-sampi lantai atas dia tutup. Dan sekarnag, dia berniat tidak meninggali rumah itu.“Aku tidak bisa berpikir, Mas. Tidak bisa konsentrasi. Mauku, aku tinggal di apartemen walaupun sesekali tetap ke rumah itu. Kalau perlu, rumah aku rombak menjadi gallery atau menjadi kantor nantinya. Cuma, kalau settingnya masih seperti dulu, bayangan Mama dan Papa masih mengusik kepalaku,” ucapnya membuatku mendesah.Merasa bersalah karena sudah meninggalkan kenangan buruk kepada anakku ini.“Kamu sudah bicara dengan Papa tentang ini dan dia tidak memberi izin karena apa?” tanyaku penasaran.“Papa Bram bilang, dia tidak rela kalau kenangan manis keluar
Mumpung di kota ini, aku coba menghubungi dia. Sekarang akhir pekan, siapa tahu dia ada di kota ini. Anggap saja bertegus sapa sebagai teman lama.[Rima. Ini Wisnu. Bagaimana kabarmu] Pesan aku kirim. Mataku tidak beranjak dari layar ponsel. Dari centrang satu, kemudian centrang dua.Huft, warna tidak kunjung berubah menjadi biru. Pertanda pesanku tidak dibaca, atau justru diabaikan? Mungkin saja pesanku hanya sebagai pengganggu semata.Tanganku terulur, meletakkan ponsel di atas nakas. Lebih baik aku tidur daripada berkutat pada rasa yang tidak jelas.Aku akui, dia tidak sekadar cantik. Saat di kampus dulu, aku pernah dipasangkan untuk menari. Konsep kami tentukan bersama, termasuk gerakan. Sedangkan costum, dia yang menentukan. Baju yang dia kenakan pas di tubuhnya yang indah. Walaupun terkesan seksi, tetapi tidak vulgar. Rambut dia ikat tinggi, menunjukkan leher jenjang putih, yang terlihat indah.Masalahnya saat itu, baju bagian atas dirancang dieratkan dengan tali yang harus dii