“Anak ABG memang sedang lucu-lucunya, ya, Ma.” Wisnu duduk mensejajariku setelah dia pamit kepada Nyonya Besar.Sekarang, tertinggal Amelia dan Rangga yang menemani di depan. Kalau Amelia sih sudah terbiasa menghadapi mertuaku, akan tetapi ini pengalaman kali pertama untuk Rangga. Anggap saja ini ujian untuk calon anggota baru.Eh!Ini sih tidak seberapa, daripada ujian yang aku terima dulu. Sikap Nyonya Besar yang membuatku bertanya-tanya dengan sikapnya yang ini dan itu. Untungnya aku ditanyakan lulus.Wisnu meminta makanan camilan, kemudian pelayan menyajikan di depannya. Jajanan traditional mulai lemper sampai nagasari. Ibu yang tadi berbincang dengan Paklik Totok, bergabung dengan kami. Apalagi suamiku memanggil Paklik untuk berbincang.“Ran. Bagaimanapun tetap awasi mereka,” ucap Ibu sambil mengarahkan pandangan ke Amelia dan Rangga.“Iya, Bu.”“Kamu kan tahu. Anak seumuran mereka itu hormonnya mulai berkembang, dan cenderung tidak stabil. Masih belum bisa mengendalikan diri. M
Dulu awal menginjakkan kaki di pulau Dewata, aku seperti orang buta. Hanya mengikuti Mas Bram, sebagai pasangan muda yang masih idealis. Saat itu demi mendukung usaha Mas Bram, aku bekerja di restoran di bagian managemen.Di bulan pertama, aku ditempatkan di bagian purchasing, pengadaan barang. Sempat terkejut-kejut saat daftar permintaan barang tidak hanya bahan makanan, tetapi juga beer, wine, liquor, bahkan champagne. Minuman beralkohol.“Kita menjual minuman beralkohol? Bukankah itu memabukkan?” Pertanyaan yang membuat mereka tersenyum, bahkan ada yang tertawa.“Nanti kamu akan tahu sendiri.” Itu yang mereka ucapkan, saat apa yang dijelaskan aku tidak mengerti.Kemudian aku ditugaskan menerima karyawan baru, mau tidak mau aku harus tahu seluk beluk pekerjaan mereka. Mulai waiter/ss, karyawan di dapur, sampai bartender. Kemudian merambah pada marketing, dan terakhir sebagai manager yang bertanggung jawab penuh operasional restoran. Dari sini aku mengamati tentang perilaku kebiasaa
Pagi-pagi Wisnu sudah terbang kembali ke Denpasar. Padahal kangennya belum berkurang.Mas Suma saja memintanya untuk mengundur jadwal kepulangan. Katanya, acara ngobrol dengan Wisnu belum selesai. Padahal sepulang dari rumah besar, mereka begadang. Sebelum tidur, aku dapati mereka berhadap-hadapan dengan biduk catur di tengah-tengah. Entah pukul berapa Mas Suma masuk kamar. Aku sudah tidur.Paginya, semua bersiap ingin mengantarkan Wisnu ke bandara. Namun dengan berbagai alasan, Wisnu menolak dan memilih diantar Pak Maman saja.“Wisnupun masih ingin tinggal, Pi. Tetapi pekerjaan tidak boleh ditinggalkan.”“Atau, Papi telpon Tiok?” ucap Mas Suma menawarkan solusi.“Ah. Janganlah, Pi. Itu tidak profesional namanya. Wisnu saja kalau saat kerja berusaha bersikap formal dengan Om Tiok. Hanya kalau kongkow aja, kami bisa santai.”“Ternyata anak Papi sudah menjadi entrepreneur, ya! Papi bangga!” seru Mas Suma sambil menepuk punggung Wisnu. Aku bergabung dengan mereka sambil menghidangkan ro
Kadang kesibukan seperti yang dilakukan Mas Suma bisa untuk refresing. Sejenak keluar dari rutinitas di kantor, yang meeting, meeting, dan meeting.“Aku capek duduk, Ran. Otakku juga penat,” ucap Mas Suma sambil meneruskan corat-coret tentang rencananya.Dia ingin mendirikan tempat kongkow bersama Wisnu. Dan tempatnya di atas garasi.“Nanti kalau aku gitaran dan nyanyi-nyanyi sama Wisnu di halaman belakang, nanti kamu ngomel?” ucapnya memberikan alasan. Iya iyalah. Mereka kalau melakukan keributan selalu saat waktunya orang tidur. “Aku menggunakan bahan-bahan yang cepat untuk dirakit. Pakai struktur baja, kemudian lantai dan dinding dari papan. Praktis dan cepat. Aku ingin kasih kejutan kepada Wisnu!” seru Mas Suma dengan semangat.Benar, agak siangan datang truk pengangkut bahan. Termasuk team pekerja dari perusahaan rekanan perusahaan. Sat-set-sat-set. Bongkar sedikit, kemudian sore hari sudah berdiri struktur baja. Walaupun masih berbentuk kotak. Mereka mengerjakan sampai malam,
Masih dengan rambut lembab karena belum kering sepenuhnya, aku menyiapkan makanan. Termasuk untuk Denish dan Anind.Aku juga menyiapkan kue coklat untuk teman tunggu nantinya. Saat menunggu pengumuman Amelia, yang membutuhkan hati relax. Tidak cemas. Coklat, camilan yang cocok.“Gerah ya, Bu Rani. Bibik saja tidak kuat, ingin mandi lagi,” celetuk Bik Inah yang menyerahkan pepes yang sudah dibakar di dapur belakang.Aku tersenyum sambil berpikir. Ungkapannya ini memang benar adanya, atau ada asumsi lain. Dirunut dengan kenapa dan ada apa dibalik keramas pada siang hari.“Eh. Iya, Bik Inah. Apalagi habis masak pepes. Serasa bau ikannya lengket.” Aku tersenyum. Merasa puas dengan jawabanku yang pas. Tidak menggiring opini pada hal yang sebenarnya terjadi sebelum aksi keramas sebenarnya.Merasa terbebas dari kecurigaan, kami mulai menata meja. Bik Inah membantu menyiapkan sayur rebusan.“Ran. Aku minta es teh. Kalau ada dikasih lemon sedikit.” Mas Suma datang dengan rambut basah.Duh!Sud
Banyak yang bisa dilakukan ketika kenyataan belum berpihak pada harapan. Itu bukanlah akhir segalanya, apalagi menjadi alasan untuk berhenti. Bisa jadi, menjadi kesempatan untuk mendapatkan yang terbaiklah.*“Mama. Amel bodoh, ya? Tidak pintar seperti Kak Wisnu.” Kepala Amelia mendongak, aku mengusap lembut rambutnya, kemudian membingkai wajahnya yang berada di pangkuanku. Setelah pengumuman tadi, dia hanya mau di dalam kamar dengan posisi seperti ini.Aku mengerti perasaannya, karena dulu pernah mengalaminya. Gagal mendapatkan sekolah yang diinginkan. Padahal saat itu aku merasa pasti berhasil. Semua soal bisa aku kerjakan dengan mudah. Pertanyaan kenapa dan kenapa membuatku kesal setengah mati.Tidak cukup satu hari, bahkan lebih dari seminggu untuk membangkitkan diri ini kembali. Yang dibutuhkan sekarang bukan nasehat, tetapi waktu untuk menenangkan diri. Mungkin dengan cerita sedikit, bisa mengarahkan dia untuk mengerti.“Tidak ada kata tidak pintar. Apalagi untuk anakku Amelia i
Yang aku lihat, ini kecemasan seorang ayah kepada putrinya. Dia rela meletakkan kebiasaannya demi senyuman di wajah buah hati.Mas Suma langsung memanggil Pak Maman untuk bersiap di mobil. Hanya lima menit, aku diberi waktu untuk bersiap. Keluar dari kamar, dia langsung mengajukan protes.“Tumben lama sekali dandannya?”Aku melirik jam dinding. Memang sepuluh menit, kelebihan lima menit. Perasaan ini sudah standar waktu tercepat. Make-up dan ganti baju.“Lebih sedikit, Suamiku,” ucapku sambil mengerjapkan mata.Dia hanya tersenyum kaku, kemudian menyodorkan coretan acara yang akan dia lakukan.“Aku pernah melihat di drama korea yang ditonton Amelia,” ucapnya sambil menarik tangan ini. Membiarkan aku membaca sambil berjalan.Sambil berjalan dia tidak henti menjelaskan isi catatan itu. “Hati-hati,” ucapnya sambil menekan kepalaku untuk masuk ke mobil. Kemudian dia mengikutiku untuk duduk di bangku belakang.Aku mengerutkan dahi, tumben Mas Suma menulis dengan detail sesuatu yang belum p
Rencana itu akan berhasil kalau kita bekerjasama dengan baik. Dikomando oleh Mas Suma, kami bersiap di pos masing-masing. Wisnu yang sudah datang, terpaksa mempersiapkan diri di kantor, temasuk Mas Suma. Bik Inah mondar-mandir membawa apa yang mereka butuhkan.Anind dan Denish sudah diamankan di ruang bermain. Tadi sempat bercanda denganku. Mereka sudah mulai pintar. Keduanya sudah bisa berinteraksi sebagai teman bermain.Sedangkan aku sekarang bertugas menunggu di rumah. Jaga Amelia.“Ma. Papi mana?”“Tidak tahu, tuh. Dari tadi menghilang,” jawabku sambil tetap sibuk menyiapkan camilan cookies. Tadi Amelia sudah bertanya, dan aku menjawab ini hanya untuk stok. Seperti kebiasaanku biasanya.Amelia diam di meja makan, kedua tangannya menangkup cangkir besar berisi minuman coklat yang masih mengepul uap. Dia termenung dengan tatapan sendu. Tadi aku tawari makan, tidak mau. Hanya minuman ini saja yang dia maui.“Minumannya kurang lengkap kalau tidak ada ini,” ucapku sambil menyodorkan sa