Punya ayah tiri yang terlalu sayang, ternyata juga meresahkan. Seperti Papi Suma ini.
“Apa karena aku hanya ayah tiri Wisnu, aku tidak punya hak terhadapnya? Memang aku senang karena dia memanggilku Papi, tapi akan lebih membanggakan kalau aku dilibatkan untuk mengurusnya.”Ucapan Mas Suma yang membuatku serba salah. Bahkan dia menyinggung tentang undangan wisuda.“Aku rela tidak dimasukkan di undangan wisuda Wisnu. Tapi, aku jangan ditiadakan ketika kalian menentukan masa depan anak itu. Dia sudah menjadi anakku yang sebenarnya.”Sebenarnya aku enggan menyampaikan maksud suamiku kepada Mas Bram tentang niatnya. Apalagi aku berusaha seminimal mungkin berbincang dengan mantanku itu. Aku tidak mau membuat celah dia untuk kembali masuk ke ranah pribadiku. Satu-satunya jalan, aku menyampaikan melalui Wisnu.Karenanya setelah Mas Suma tidur, aku memanggil Wisnu untuk menemui aku di taman belakang. Aku ingin bicara dari hati ke hati dengan anakku ini.“Kakak tadi belum tidur, kan?”“Belum, Ma. Wisnu masih cek proposal Om Sapto untuk anggaran di pengrajin.” Anakku itu mengamb
“Papi!” Wisnu mengurai tanganku yang merengkuhnya. Kemudian dia menegakkan badan bersamaan dengan Mas Suma yang sudah menghampiri kami.“Aku cari dimana-mana ternyata malah ngobrol di sini,” ucap Mas Suma sambil menarik kursi dan duduk di antar kami berdua.Sesaat kecanggungan terjadi. Aku merasa tertangkap basah saat berbicara dengan anakku yang menghindari kehadiran suamiku ini.Walaupun, kami kan tidak melakukan hal buruk apalagi kesalahan. Kami hanya membutuhkan ruang berdua.“Mama tanya tentang rencana Wisnu setelah wisuda nanti, Pi,” terang Wisnu seakan tahu keadaaanku.“I-iya. Tadi aku kebangun dan kepikiran. Kebetulan Wisnu belum tidur. Ya udah, kita jadinya ngobrol,” tambahku sambil menilik raut wajah suamiku ini, tidak ada yang mengkawatirkan. “Mas Suma aku bikinkan jahe hangat?” Aku berdiri setelah dia mengangguk.Hatiku lega, walaupun sedikit. Mas Suma yang akhir-akhir ini sensitif kalau membicarakan tentang Wisnu, semoga tidak salah paham.Pernikahan seperti kami ini, tid
“Bagaimana kalau aku kangen kamu, Ran?”Kalimat senada berulang kali diucapkan Mas Suma di dua hari terakhir ini, menjelang keberangkatannya ke Dubai. Tidak hanya itu, kemanjaannya pun naik berlipat dari biasanya. Terlebih malam ini, malam terakhir sebelum keberangkatan hari besuk pukul sembilan pagi.Sedari sore, kami berkumpul menikmati hangatnya keluarga. Kami saling berbincang dan bersenda gurau, termasuk mengganggu Anind dan Denish yang semakin menggemaskan.“Sekarang semuanya harus istirahat, kerena besuk pagi mengantar Papi berangkat,” seru suamiku itu sambil menilik jam dinding yang merujuk angka sepuluh.“Katanya Papi tidak mau diantar ke bandara,” sahut Wisnu sambil menyerahkan Denish ke Mbak Dwi pengasuh.Mas Suma merengkuh Wisnu dan Amelia di kanan kirinya. Mencium kening mereka bergantian sambil berucap. ”Papi hanya ingin ditemani makan pagi sama kalian.”“Kenapa sih Pi, tidak mau diantar ke Bandara? Kan biar kayak di film-film itu, kita dadah-dadah!” celetuk Amelia samb
“Mas Suma yakin akan menggunakan ini?” tanyaku sambil membuka kerudung yang aku kenakan.Permintaan aneh Mas Suma. Dia menginginkan kerudung yang sudah terpasang di kepala ini. Kerudung batik berbahan sutra.“Iya, Ran. Bagus kok dipadukan dengan mantelku ini. Seperti fashion di Paris, mereka menggunakan syal untuk pemanis,” ucapnya memberikan alasan“Aku carikan yang baru saja, ya? Ini jelek.” Dengan kerudung masih tersampir di pundak, aku beranjak menuju almari. Niatku memilihkan warna yang terlihat maskulin, dibandingkan yang aku kenakan ini lebih didominasi warna merah. Kurang pas kalau untuk lelaki.Baru saja tangan ini akan membuka daun pintu, Mas Suma sudah mencekal dan menyentakkan tangan ini.“Kenapa?” Aku yang sudah di dalam pelukannya, mengangkat dagu.Bukannya menjawab, justru tangan lelakiku ini menyusuri lengan dan berakhir menangkup pundak ini. “Ran, aku mau kerudung ini. Masih lekat aromamu. Ini sebagai obat rinduku saat di sana.”Matanya terlihat sayu dengan senyuman y
Laki-laki dengan rambut yang terlihat lebih panjang dari yang biasanya. Dia mengenakan kaos berkrah dan celana jeans. Tampilan yang memudarkan angka yang menunjukkan usia yang sebenarnya.Dia menunjukkan senyuman dan melangkah menujuku. Tatapannya lekat tidak berpaling dari diri ini.Segera, aku mengalihkan pandangan. Dan, tanganku kembali melanjutkan meraih cangkir dan menyesap Capucinno untuk mengurangi debar yang tadi sempat singgah.“Ternyata dugaanku benar. Kamu pasti sudah datang,” ucap Mas Bram sesaat sebelum mendudukkan diri di seberangku.Sekarang, hanya meja kecil yang membatasi jarak kami, meleluasakan dia untuk memindahi diri ini. Ingin rasanya, aku menancapkan garpu yang aku gunakan mencengkeram croisant ini kepadanya. Namun, itu hanya menunjukkan kalau aku terusik dengan kehadirannya, dan membuatnya berbangga.“Baru saja tiba, kok. Wisnu juga baru berangkat ke kampus untuk persiapan acara besuk.”“Aku tahu kebiasaan kamu. Semua masih terekam di sini,” ucapnya menunjukka
“Tinggallah sebentar, Ran.” Mas Bram menunjukkan tatapan memohon, menghentikan gerakan tanganku yang akan memasukkan novel ke tas jinjingku.“Mereka sudah jalan ke sini. Ini pesan mereka,” ucapnya seraya menjulurkan tangan yang memegang ponsel.Aku manatapnya ragu. Mengiyakan sama saja membiarkan diri ini terjebak dengan masa lalu. Namun, menolaknya justru menunjukkan sikap tidak dewasa yang bisa jadi merujuk pada kesalahpahaman. Dia akan menganggap aku masih menyimpan rasa untuknya.Masih terekam percakapan mereka barusan melalui ponsel laki-laki di depanku ini.“Jadi Wisnu itu anakmu? Padahal anakku satu unitas dengan dia. Bahkan pernah main ke rumahku,” seru Aryo saat tadi video call.“Kamu keterlaluan sekali, Aryo. Wismu itu foto kopiku. Wajahnya mirip banget denganku,” sahut Mas Bram sambil menunjuk wajahnya.“Tapi Wisnu itu tidak gelas sepertimu. Dia putih. Aku aja sempat berpikir, dia itu mirip artis Korea.”“Ya iyalah. Wisnu itu perpaduan antara aku dan Maharani. Ini Mamanya W
“Memang apa yang kita lakukan? Aku dan kamu hanya sekadar minum kopi dan ngobrol, kok,” kilah Mas Bram saat aku menunjukkan kekesalan. Saat ini kami berdua kembali setelah Wisnu pamit menuju kamar, kemudian disusul kepulangan Aryo dan Ninin menuju hotel tempat mereka menginap.“Tapi Mas Bram. Status kita sekarang berbeda. Kita—““Ran…. Bisa tidak, kita santai sejenak?”“Tidak!” sahutku cepat.Santai apa maksudnya? Memang kami anak muda yag masih bisa berha-ha hi-hi antara laki-laki perempuan. Apa dia tidak merasa kalau sudah berusia senja?“Anggap saja kita teman lama yang baru bertemu kembali. Yah, seperti aku bertemu Aryo. Bukan! Atau aku bertemu Ninin. Biasa saja, kan? Kita ngobrol santai. Apakah itu salah?”Aku menghela napas menghadapi manusia batu di depanku ini. Berdebat dengan Mas Bram membutuhkan energi dan emosi yang besar.“Bertemu teman lama tidak salah, Mas? Yang salah pertemuan kita. Dari tadi, perkataan Mas Bram selalu mengungkit masa lalu.”“Memang itu juga salah? Aku
Tangan ini reflek menutup pintu kembali. Namun, gerakan tanganku terhenti dengan kakinya yang mengganjal daun pintu. Kekuatanku pun luruh saat mendapati dia yang meringis kesakitan.“Ran! Aku cuma akan mengantar ini!” serunya sambil mengaduh. Tangannya menunjukkan buku novel yang aku bawa tahu. Ternyata ini yang menyebabkan dia mendatangiku. Seingatku aku memasukkan ke dalam tas, kenapa sekarang ada di tangannya?“Ma-maaf, Mas Bram.” Aku membuka pintu sedikit, dan dia pun menundukkan badan memegang kaki sambil mengerang kesakitan.“Ran, kamu makannya apa, sih. Sampai sekuat itu. Kayak Dinosaurus,” celetuknya dengan menunjukkan wajah kesakitan. Saat merasakan sakit saja dia masih sempat melontarkan banyolan aneh seperti itu. Ini yang membuatnya gampang akrab dengan orang lain, tidak sepertiku yang terkesan kaku.“Sakit?”“Banget! Aduh!”“Kalau gitu masuk saja dulu. Aku periksa kakimu dulu, Mas.” Merasa bersalah, pintu aku bentangkan, dan lelaki yang dulu menjadi tumpuan hidupku pun mas