“Makasih, Bang!” ucap Nia setelah turun dari motor sang ojol.Nia terpaksa naik dengan menggunakan motor ke rumah sakit dan membiarkan Aldo yang awalnya ingin mengantarnya bersama Tina untuk menyelesaikan masalahnya.“Sama-sama, Mbak!” jawab sopir ojol yang bisa diperkirakan Nia usianya masih sangat muda sambil tersenyum sopan. Lalu tangannya tergerak untuk menerima beberapa uang dari Nia seraya mengucapkan, “Terima kasih.”Nia berjalan tergesa ketika memasuki lobi rumah sakit. Sapaan seorang security membuat dia melambatkan jalannya untuk membalasnya, setelahnya ia kembali tergesa untuk menemui kepala perawat karena harus mengabari kalau dirinya sudah datang bahkan sebelum waktu yang dijanjikan.Napas Nia sedikit tersenggal ketika di depan pintu, maklum di usianya yang sudah tidak muda lagi membuatnya gampang merasakan capek. Wanita itu membuka pelan pintu bercat putih tersebut ketika mendapatkan balasan dari dalam.“Permisi, Bu!” suara Nia ketika mendapati sang kepala ada di meja ke
Bibir Nia menganga tidak percaya setelah mendengar ucapan sarkas Bara. Ia pikir, pagi tadi hubungannya dengan Bara bisa dikatakan baik, dalam artian mereka tidak saling bermusuhan. Tetapi mendadak balasan yang ia terima barusan menjelaskan kebalikannya.“Kenapa? Kamu kaget dengan sikap saya, hah?” Rupanya Bara melihat perubahan pada diri Nia setelah bersikap seolah mereka tidak pernah mengenal sebelumnya.Sikap galak yang ditunjukan Bara bukan tanpa alasan, ia tidak suka dengan kedekataan Aldo dengan Nia saat melihatnya di dalam mobil, di halaman rumah sakit. Sebelumnya pria itu juga tidak suka dengan kedatangan Aldo di rumah Nia pagi tadi, nah sekarang buntut dari kekesalannya itu.Nia mengelengkan kepalanya perlahan sambil menatap malas Bara. “Ah, maaf, Dok-ter! Lain kali saya tidak akan mengulanginya lagi,” balas Nia yang spontan membuat pria itu kaget, sebenarnya bukan jawaban pasrah seperti itu yang diinginkan Bara.Ingin sekali berteriak bahwa ia sedang cemburu dengan kedekatan
“Akh …!” Tangan Bima terangkat untuk menyuapi ice cream rasa coklat ke mulut Bara dan Nia secara bergantian.“Udah, Sayang. Bima aja yang makan, nanti habis kamu gak kebagian!” peringatkan Nia saat satu suapan telah masuk ke dalam mulutnya. Sebenarnya Nia tidak ingin menerimanya tapi Bima yang bersikeras melakukannya.“Nanti kalau habis, kita beli lagi, Ma!” Bukan Bima yang menjawab, melainkan Bara. Tanpa menoleh kearah Nia pria itu melanjutkan ucapannya. “Lagian aku tadi udah bilang beli tiga tapi kamu bilang gak perlu.”Wanita itu menghela napas kesal. Sebenarnya bukan tanpa alasan ia tidak mau mengambil sebanyak yang diinginkan Bara, cuman rasa yang ia suka sedang kosong jadi daripada mubazir mending ia tidak mengambil saja. “Aku gak suka rasa coklat, Dokter!” Teringat dengan panggilan Mas yang ditolak oleh Bara, Nia akhirnya memanggil pria itu dengan panggilan formal.Bara yang dipanggil dengan sebutan tak biasa itu hanya mengerutkan keningnya. Belum juga ia membuka mulut untuk b
Nia mengeram kesal. Bagaimana tidak, Bara berbuat sesuka hatinya sendiri tanpa meminta persetujuannya dahulu.“Harusnya kamu tanya dulu sama aku, Mas!” ucapnya menahan emosi. “ Bukan seperti ini, itu sama aja kamu melakukan penculikan sama kita berdua.”Sudut bibir Bara tertarik ke atas sedikit membentuk seringai. “Gimana ceritanya aku nyulik anakku sendiri, hah?”“Iya, tapi selama ini itu Bima tinggalnya sama aku dan di rumah aku, paham gak sih, Mas!” suara Nia malah terdengar manja di telinga Bara hingga pria itu merasa gemas ingin menarik dan memeluknya. Bukannya meminta maaf, Bara malah membuat kesal Nia. Bima sedang tidur makanya Nia tidak berani keras-keras bersuara.“Ya, karena sekarang sudah ada aku Papanya jadi dia bisa ke sana kemari kan?” Tetap saja Bara tidak mau disalahkan karena telah membawa putra dan mantan istrinya itu ke rumah. “Jadi aku gak perlu minta ijin sama kamu, karena aku juga punya hak atas Bima!”Nia yang semula berbicara di kamar, ia beranjak pergi. Melan
“Tuh, kan kamu bikin aku kesel lagi!” desis Nia menahan kesal pada Bara. Menghadapi Bara yang semaunya sendiri membuat kekesalan dalam diri Nia semakin bertambah. “Kalau semalam kamu antar aku pulang kan gak sampai telat begini, Mas!”“Kalau aku sampai dipecat sama rumah sakit itu semua gara-gara kamu!” lanjut Nia mengomeli Bara.Di situasi seperti ini adalah keuntungan buat Bara karena waktu bersama dengan wanita itu lebih banyak daripada biasanya. Sebenarnya pria itu sudah bangun pagi-pagi sekali. Demi untuk bisa mendapatkan waktu yang lebih banyak saat memandangi wajah ayu mantan istrinya itu, ia sengaja tidak membangunkan Nia. Padahal mereka harus segera berangkat ke rumah sakit.“Sabar, Sayang!” ucap Bara santai, padahal ia juga tengah gelisah kalau saja sepupunya itu tahu bahwa ia dan Nia terlambat pasti pria arogan, Dirut rumah sakit itu akan mengambil tindakan tegas. Ah, Bara tidak akan kaget kalau nanti Andra akan memberi SP atau bisa jadi memecatnya. “Kamu tenang saja, kita
Sampai di rumah Nia. Wanita itu langsung bergegas menuju kamar untuk mengganti baju karena tadi di rumah Bara sudah mandi. Sedangkan Bara membantu Bima untuk berganti baju. Mungkin lain kali Bara akan menyiapkan baju-baju Bima dan Nia saat mereka menginap dirumahnya.Beberapa menit berlalu, Bara masih dengan sabar menunggu Nia menyelesaikan aktifitasnya di kamar. Tapi selama itu pula Nia belum muncul dihadapannya. Bara mulai gelisah.“Sabar ya, maklum wanita lama dandannya!” celetuk Maria yang melihat kegelisahan mantan menantunya itu sedang menunggu.Bara tersenyum tidak enak, harusnya ia tidak memperlihatkan hal itu di depan Maria. Tetapi sejak lima menit yang lalu ia menerima panggilan dari poli UGD bahwa ada pasien kecelakaan beruntun dan sedang butuh penanganan segera. Harusnya Bara bertindak cepat mengingat profesinya seorang Dokter. Jika dibutuhkan harus segera datang.“Kamu gak sarapan dulu, Mas!”Bara merasa lega akhirnya Nia datang. Pria itu mengeleng. “Gak nutut.”“Kamu bil
“Tin, kamu kenapa?” teriak Nia panik ketika mendengar suara aneh lalu setelahnya sambunganpun mati.Nia mencoba menelponpun tidak bisa karena sudah tidak aktif. “Ada apa denganmu, Tin” gumam Nia mendadak perasaannya tidak tenang.“Nia!” Bara tiba-tiba datang dan mengagetkan Nia. Tanpa menatap Nia karena ia sedang meneliti berkas pasien di tangannya lalu berikutnya memberikan pada seorang suster. “Ayo, makan. Mumpung gak ada pasien, kalau rame kita nanti gak bisa makan!” lanjutnya setelah berkas ditangan sudah berpindah ke suster.Bara sudah melangkah lebih dulu, biasanya Nia akan mengikutinya tapi kali ini berbeda. Hingga ia menoleh ke belakang dan mendapati Nia sedang terpaku dengan gelisah.“Nia, ada apa?” tanya Bara lirih dan Nia hanya mendengar dengan gerakan bibir.Nia langsung berjalan mendekati Bara. “Dokter makan dulu aja, saya nanti saja!”“Kenapa?”“Ehm, Tina tadi telepon terus aku denger ada suara … seperti … ah, seperti suara ….” Nia binggung menjelaskan suara apa itu tapi
“Apakah Anda suami pasien?”Bara melontarkan pertanyaan pada seorang pria yang baru saja ditemui ketika ia membuka pintu ruang perawatan UGD. Berdasarkan informasi dari suster, pria ini yang bertanggung jawab pada gadis yang bernama Tina. Gadis itu juga merupakan yang diketahui sebagai sabahat Nia.Pria yang belum diketahui namanya itu, mengeleng pelan. “Bukan! Nama saya, Alvian,” Pria itu mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Bara. Setelah melepaskan ia melanjutkan ucapannya. “Saya hanya yang bertanggung jawab atas kecelakaan yang menimpanya saja karena saat itu mobil saya yang menabraknya.”Bara mengangguk paham. Tetapi gadis itu sedang hamil lalu siapakah suaminya. Ia memang belum ada pembicaraan lagi dengan Nia. Mantan istrinya itu masih terpukul dengan kondisi Tina dan belum bisa diajak bicara.“Oh, seperti itu,” jawab Bara, meskipun begitu ia bersyukur jika di jaman seperti ini masih ada orang yang bersedia bertanggung jawab. Kebanyakan kasus, mereka melarikan diri, toh tid