Nia mengeram kesal. Bagaimana tidak, Bara berbuat sesuka hatinya sendiri tanpa meminta persetujuannya dahulu.“Harusnya kamu tanya dulu sama aku, Mas!” ucapnya menahan emosi. “ Bukan seperti ini, itu sama aja kamu melakukan penculikan sama kita berdua.”Sudut bibir Bara tertarik ke atas sedikit membentuk seringai. “Gimana ceritanya aku nyulik anakku sendiri, hah?”“Iya, tapi selama ini itu Bima tinggalnya sama aku dan di rumah aku, paham gak sih, Mas!” suara Nia malah terdengar manja di telinga Bara hingga pria itu merasa gemas ingin menarik dan memeluknya. Bukannya meminta maaf, Bara malah membuat kesal Nia. Bima sedang tidur makanya Nia tidak berani keras-keras bersuara.“Ya, karena sekarang sudah ada aku Papanya jadi dia bisa ke sana kemari kan?” Tetap saja Bara tidak mau disalahkan karena telah membawa putra dan mantan istrinya itu ke rumah. “Jadi aku gak perlu minta ijin sama kamu, karena aku juga punya hak atas Bima!”Nia yang semula berbicara di kamar, ia beranjak pergi. Melan
“Tuh, kan kamu bikin aku kesel lagi!” desis Nia menahan kesal pada Bara. Menghadapi Bara yang semaunya sendiri membuat kekesalan dalam diri Nia semakin bertambah. “Kalau semalam kamu antar aku pulang kan gak sampai telat begini, Mas!”“Kalau aku sampai dipecat sama rumah sakit itu semua gara-gara kamu!” lanjut Nia mengomeli Bara.Di situasi seperti ini adalah keuntungan buat Bara karena waktu bersama dengan wanita itu lebih banyak daripada biasanya. Sebenarnya pria itu sudah bangun pagi-pagi sekali. Demi untuk bisa mendapatkan waktu yang lebih banyak saat memandangi wajah ayu mantan istrinya itu, ia sengaja tidak membangunkan Nia. Padahal mereka harus segera berangkat ke rumah sakit.“Sabar, Sayang!” ucap Bara santai, padahal ia juga tengah gelisah kalau saja sepupunya itu tahu bahwa ia dan Nia terlambat pasti pria arogan, Dirut rumah sakit itu akan mengambil tindakan tegas. Ah, Bara tidak akan kaget kalau nanti Andra akan memberi SP atau bisa jadi memecatnya. “Kamu tenang saja, kita
Sampai di rumah Nia. Wanita itu langsung bergegas menuju kamar untuk mengganti baju karena tadi di rumah Bara sudah mandi. Sedangkan Bara membantu Bima untuk berganti baju. Mungkin lain kali Bara akan menyiapkan baju-baju Bima dan Nia saat mereka menginap dirumahnya.Beberapa menit berlalu, Bara masih dengan sabar menunggu Nia menyelesaikan aktifitasnya di kamar. Tapi selama itu pula Nia belum muncul dihadapannya. Bara mulai gelisah.“Sabar ya, maklum wanita lama dandannya!” celetuk Maria yang melihat kegelisahan mantan menantunya itu sedang menunggu.Bara tersenyum tidak enak, harusnya ia tidak memperlihatkan hal itu di depan Maria. Tetapi sejak lima menit yang lalu ia menerima panggilan dari poli UGD bahwa ada pasien kecelakaan beruntun dan sedang butuh penanganan segera. Harusnya Bara bertindak cepat mengingat profesinya seorang Dokter. Jika dibutuhkan harus segera datang.“Kamu gak sarapan dulu, Mas!”Bara merasa lega akhirnya Nia datang. Pria itu mengeleng. “Gak nutut.”“Kamu bil
“Tin, kamu kenapa?” teriak Nia panik ketika mendengar suara aneh lalu setelahnya sambunganpun mati.Nia mencoba menelponpun tidak bisa karena sudah tidak aktif. “Ada apa denganmu, Tin” gumam Nia mendadak perasaannya tidak tenang.“Nia!” Bara tiba-tiba datang dan mengagetkan Nia. Tanpa menatap Nia karena ia sedang meneliti berkas pasien di tangannya lalu berikutnya memberikan pada seorang suster. “Ayo, makan. Mumpung gak ada pasien, kalau rame kita nanti gak bisa makan!” lanjutnya setelah berkas ditangan sudah berpindah ke suster.Bara sudah melangkah lebih dulu, biasanya Nia akan mengikutinya tapi kali ini berbeda. Hingga ia menoleh ke belakang dan mendapati Nia sedang terpaku dengan gelisah.“Nia, ada apa?” tanya Bara lirih dan Nia hanya mendengar dengan gerakan bibir.Nia langsung berjalan mendekati Bara. “Dokter makan dulu aja, saya nanti saja!”“Kenapa?”“Ehm, Tina tadi telepon terus aku denger ada suara … seperti … ah, seperti suara ….” Nia binggung menjelaskan suara apa itu tapi
“Apakah Anda suami pasien?”Bara melontarkan pertanyaan pada seorang pria yang baru saja ditemui ketika ia membuka pintu ruang perawatan UGD. Berdasarkan informasi dari suster, pria ini yang bertanggung jawab pada gadis yang bernama Tina. Gadis itu juga merupakan yang diketahui sebagai sabahat Nia.Pria yang belum diketahui namanya itu, mengeleng pelan. “Bukan! Nama saya, Alvian,” Pria itu mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Bara. Setelah melepaskan ia melanjutkan ucapannya. “Saya hanya yang bertanggung jawab atas kecelakaan yang menimpanya saja karena saat itu mobil saya yang menabraknya.”Bara mengangguk paham. Tetapi gadis itu sedang hamil lalu siapakah suaminya. Ia memang belum ada pembicaraan lagi dengan Nia. Mantan istrinya itu masih terpukul dengan kondisi Tina dan belum bisa diajak bicara.“Oh, seperti itu,” jawab Bara, meskipun begitu ia bersyukur jika di jaman seperti ini masih ada orang yang bersedia bertanggung jawab. Kebanyakan kasus, mereka melarikan diri, toh tid
“Mas, ikut aku deh!” Mengabaikan sikap formalnya, Nia menarik pergelangan tangan pria itu lalu membawanya keluar ruangan dan sebelumnya melirik canggung pada Tina, menyisahkan gadis itu sendirian. “Kenapa?” Mereka berdua sekarang sedang berdiri berhadapan tak jauh dari kamar inap Tina. Kedua tangan Bara dilipat di depan dada dengan tatapan mata tidak suka pada Nia karena menyebut nama pria yang menjadi saingannya. Meski hubungan mereka berdua masih belum ada perubahan ke jenjang yang lebih baik tetapi Bara akan posesif ketika mendengar hal yang tidak disukainya. Nia mengerjap kemudian mengambil napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ia tidak ingin Bara tahu aib sahabatnya itu. Sebisa mungkin ia akan tutupi masalah Tina. “Gak ada! Dan jangan kepo!” jawab Nia seraya meninggalkan Bara. Pria itu hampir saja mengumpat kalau saja tidak ada Alvian yang tiba-tiba datang dan menghampirinya. Alvian memang akan datang untuk melihat keadaan Tina. “Siang, Dok?” sapanya kemudian mengang
“Hamil? Anak Aldo?”Bara dan Nia tersentak ketika mendapati Alvian sudah berdiri tidak jauh dari tempatnya dalam wajah kebinggungan.“Bang!”Kali ini Bara yang melebarkan bola matanya, menatap tidak suka pada Nia karena memanggil Alvian dengan sebutan yang tak biasa. Sebagai seorang suster, harusnya Nia bisa lebih sopan jika berucap.Nia mengabaikan tatapan mantan suaminya itu. Ia bergerak maju dan mendekati Alvian yang masih terpaku dengan kebinggungan.“Bisa cari tempat untuk kita bicara, Bang?” Nia merasa harus menjelaskan pada Kakak Aldo itu agar tidak berpikiran buruk pada Tina saja tetapi juga pada Aldo. Meskipun sejujurnya dalam hal ini Tina juga salah. Mau-mau saja melakukan hubungan diluar kewajaran walaupun berkedok kata cinta yang pada akhirnya ia ditinggalkan.Alvian terlanjur sudah mengetahui keburukan sang Adik, jadi sekalian saja ia menyetujui ajakan Nia. Hubungannya dengan Aldo memang tidak terlalu dekat, daripada ia bertanya pada Aldo yang pastinya tidak akan diberita
Pria itu menghentikan mobilnya di salah satu taman bermain, tempat yang sesuai dengan yang dikatakan di pesan Aldo. Langsung memarkirkannya di area yang aman. Tujuannya ingin menemui Aldo meski pesan itu ditujukan untuk Nia. Ia tidak rela saja kalau sampai Nia yang datang.Bara memang tidak mengenal sosok Aldo secara dekat tapi dari kejauhan Bara bisa menilai sikap Aldo yang sangat menyayangi Bima. Akan tetapi, sejujurnya ia tidak rela kalau Bima bersama dengan orang lain yang tampak sangat bahagia seperti itu. Bara melihat Aldo mengantar Bimadi salah satu wahana yang aman untuk anak seusia Bima. Kemudian setelah berbicara sebentar, Bima berlari menuju wahana tersebut. Putranya itu mengembangkan senyum sembari melambaikan tangan ke arah Aldo.“Apa yang anda lakukan dengan anak saya?” suara Bara yang sudah berada di dekat Aldo. “Mau menculik Bima dan menjadikan sandera, hah?” tuduh Bara.Padahal pria itu tengah memberikan kebahagiaan lain pada Bima atas batalnya rencana berenang tempo