“Apakah Anda suami pasien?”Bara melontarkan pertanyaan pada seorang pria yang baru saja ditemui ketika ia membuka pintu ruang perawatan UGD. Berdasarkan informasi dari suster, pria ini yang bertanggung jawab pada gadis yang bernama Tina. Gadis itu juga merupakan yang diketahui sebagai sabahat Nia.Pria yang belum diketahui namanya itu, mengeleng pelan. “Bukan! Nama saya, Alvian,” Pria itu mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Bara. Setelah melepaskan ia melanjutkan ucapannya. “Saya hanya yang bertanggung jawab atas kecelakaan yang menimpanya saja karena saat itu mobil saya yang menabraknya.”Bara mengangguk paham. Tetapi gadis itu sedang hamil lalu siapakah suaminya. Ia memang belum ada pembicaraan lagi dengan Nia. Mantan istrinya itu masih terpukul dengan kondisi Tina dan belum bisa diajak bicara.“Oh, seperti itu,” jawab Bara, meskipun begitu ia bersyukur jika di jaman seperti ini masih ada orang yang bersedia bertanggung jawab. Kebanyakan kasus, mereka melarikan diri, toh tid
“Mas, ikut aku deh!” Mengabaikan sikap formalnya, Nia menarik pergelangan tangan pria itu lalu membawanya keluar ruangan dan sebelumnya melirik canggung pada Tina, menyisahkan gadis itu sendirian. “Kenapa?” Mereka berdua sekarang sedang berdiri berhadapan tak jauh dari kamar inap Tina. Kedua tangan Bara dilipat di depan dada dengan tatapan mata tidak suka pada Nia karena menyebut nama pria yang menjadi saingannya. Meski hubungan mereka berdua masih belum ada perubahan ke jenjang yang lebih baik tetapi Bara akan posesif ketika mendengar hal yang tidak disukainya. Nia mengerjap kemudian mengambil napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ia tidak ingin Bara tahu aib sahabatnya itu. Sebisa mungkin ia akan tutupi masalah Tina. “Gak ada! Dan jangan kepo!” jawab Nia seraya meninggalkan Bara. Pria itu hampir saja mengumpat kalau saja tidak ada Alvian yang tiba-tiba datang dan menghampirinya. Alvian memang akan datang untuk melihat keadaan Tina. “Siang, Dok?” sapanya kemudian mengang
“Hamil? Anak Aldo?”Bara dan Nia tersentak ketika mendapati Alvian sudah berdiri tidak jauh dari tempatnya dalam wajah kebinggungan.“Bang!”Kali ini Bara yang melebarkan bola matanya, menatap tidak suka pada Nia karena memanggil Alvian dengan sebutan yang tak biasa. Sebagai seorang suster, harusnya Nia bisa lebih sopan jika berucap.Nia mengabaikan tatapan mantan suaminya itu. Ia bergerak maju dan mendekati Alvian yang masih terpaku dengan kebinggungan.“Bisa cari tempat untuk kita bicara, Bang?” Nia merasa harus menjelaskan pada Kakak Aldo itu agar tidak berpikiran buruk pada Tina saja tetapi juga pada Aldo. Meskipun sejujurnya dalam hal ini Tina juga salah. Mau-mau saja melakukan hubungan diluar kewajaran walaupun berkedok kata cinta yang pada akhirnya ia ditinggalkan.Alvian terlanjur sudah mengetahui keburukan sang Adik, jadi sekalian saja ia menyetujui ajakan Nia. Hubungannya dengan Aldo memang tidak terlalu dekat, daripada ia bertanya pada Aldo yang pastinya tidak akan diberita
Pria itu menghentikan mobilnya di salah satu taman bermain, tempat yang sesuai dengan yang dikatakan di pesan Aldo. Langsung memarkirkannya di area yang aman. Tujuannya ingin menemui Aldo meski pesan itu ditujukan untuk Nia. Ia tidak rela saja kalau sampai Nia yang datang.Bara memang tidak mengenal sosok Aldo secara dekat tapi dari kejauhan Bara bisa menilai sikap Aldo yang sangat menyayangi Bima. Akan tetapi, sejujurnya ia tidak rela kalau Bima bersama dengan orang lain yang tampak sangat bahagia seperti itu. Bara melihat Aldo mengantar Bimadi salah satu wahana yang aman untuk anak seusia Bima. Kemudian setelah berbicara sebentar, Bima berlari menuju wahana tersebut. Putranya itu mengembangkan senyum sembari melambaikan tangan ke arah Aldo.“Apa yang anda lakukan dengan anak saya?” suara Bara yang sudah berada di dekat Aldo. “Mau menculik Bima dan menjadikan sandera, hah?” tuduh Bara.Padahal pria itu tengah memberikan kebahagiaan lain pada Bima atas batalnya rencana berenang tempo
“Sus, Dokter Bara di mana?” tanya Nia ketika berpapasan dengan salah satu suster di poli UGD.Sejak kembali dari berbicara dengan Alvian, Nia tidak melihat keberadaan pria itu. Entah ada apa dengannya tiba-tiba ada rasa khawatir jika tidak bertemu, padahal mereka selalu tidak akur jika sedang bersama.“Oh, tadi bilangnya mau keluar sebentar karena ada urusan yang harus di selesaikan.”Nia mengerutkan keningnya seolah sedang berpikir masalah apa yang harus pria itu selesaikan hingga sanggup meninggalkan pekerjaannya.Di tengah Nia berpikir, seorang suster tadi mendekat dan menepuk pelan bahu Nia untuk menyadarkan dari lamunan. “Tadi Dokter Bara juga terlihat cemas sekali, bahkan beliau masih mengenakan jas putihnya saking keburunya.”Nia makin penasaran apa masalah yang menimpa mantan ssuaminya itu, ia sengaja mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dan tidak ada pasien yang datang. “Gak ada pasien ya, aku coba hubungin Dokter deh.”“Kamu khawatir ya? Memangnya kamu ada hubungan ya
“Ah, maaf …!”Nia tersentak kaget ketika mendengar suara orang lain di dalam ruang rawat Bara. Dengan gerakan canggung ia mengurai dirinya dari wajah Bara.Di ambang pintu, Tina tengah duduk di kursi roda dengan tatapan menyesal telah menganggu sepasang orang yang sedang menikmati kebersamaan. “Maaf, kalau sudah menganggu!”“Gak koq, Tin,” sahut Nia kemudian mengiring Tina untuk masuk meski dengan sedikit mengomel karena harusnya Tina tetap di kamar agar proses penyembuhannya lebih cepat. “Kamu kalau butuh sesuatu tinggal pencet bel, nanti suster akan datang bantu kamu. Ngapain juga kamu yang keliling begini.”Tina tersenyum sembari menganggukan kepalanya tatkala maniknya bertatapan dengan Bara. “Maaf, Dokter Bara!” dan dijawab senyuman tipis oleh Bara.“Ada apa? Kamu butuh sesuatu?” tanya Nia saat kini posisi Nia sedang duduk di sofa sedangkan Tina ada di depan Nia.“Gak ada,” jawab Tina mengukir senyum kemudian maniknya menatap Bara yang ternyata juga sedang menatapnya. Detik beriku
Satu minggu berlalu.Kondisi Bara sudah pulih dan banyak sekali kemajuan. Begitu pula dengan Tina, gadis itu sudah sangat baik namun, hatinya masih belum baik-baik saja. Sedangkan Aldo, pria itu mengantar Bima pulang beberapa jam setelah pembicaraan dengan Nia di telepon.Hari ini, Bara sudah diijinkan pulang. Namun, menunggu siang nanti karena Dokter yang menangani masih ada operasi.Bara duduk dan bersandar di ranjang, sedang Nia di depan pria itu dengan memegang piring dan sendok guna menyuapi sang mantan suami. “Sudah, Nia!” sergah Bara saat tangan Nia terulur untuk menyuapinya lagi. “Aku sudah kenyang.”Nia mendesis pelan, menahan rasa geregetan pada mantan suaminya itu. “Ini baru suapan ke tiga, gimana bisa kamu bilang kenyang, Mas!”Bukannya marah, yang dilakukan Bara malah tersenyum dengan malu-malu. Ia tahu pasti Nia akan menertawakan ucapannya. “Dengan lihat kamu saja aku sudah kenyang, Nia!”Benar saja, Nia langsung terbahak. “Gombal!”“Ihh … dikasih tahu gak percaya,” uc
“Papa …!”Bara tersenyum bahagia mendapati sang putra sedang berlari menghampirinya dengan senyum yang mengembang pula.“Jangan lari, Sayang!” teriak Nia menghentikan Bima kemudian bocah itu meringgis lebar menuruti ucapan sang Mama.“Iya, Ma.”Ya, setelah perdebatan yang alot, Nia akhirnya mengijinkan mantan suaminya itu untuk tinggal beberapa hari di rumahnya selama kondisi Bara belum pulih sepenuhnya. Sebenarnya sudah pulih, tetapi dasar pria itu saja yang ingin diperhatikan oleh mantan istri dan sekaligus calon istrinya. Bara berjongkok untuk memeluk putranya itu. Ada jutaan bahkan tak terhingga, rasa kebahagiaan yang saat ini ia terima. Seperti keluarga yang pada umumnya ada Ayah, Ibu dan Anak yang akan menemani hari-hari berikutnya.“Gendong, Pa!”Tanpa menolak, Bara langsung mengangkat tubuh kecil Bima bahkan ia lupa kalau dirinya masih tidak boleh mengangkat berat. Nia yang melihatnya, seketika menghentikan dengan menepis kedua tangan Bara. “Mas, jangan! Kamu masih sakit.”