“Sus, Dokter Bara di mana?” tanya Nia ketika berpapasan dengan salah satu suster di poli UGD.Sejak kembali dari berbicara dengan Alvian, Nia tidak melihat keberadaan pria itu. Entah ada apa dengannya tiba-tiba ada rasa khawatir jika tidak bertemu, padahal mereka selalu tidak akur jika sedang bersama.“Oh, tadi bilangnya mau keluar sebentar karena ada urusan yang harus di selesaikan.”Nia mengerutkan keningnya seolah sedang berpikir masalah apa yang harus pria itu selesaikan hingga sanggup meninggalkan pekerjaannya.Di tengah Nia berpikir, seorang suster tadi mendekat dan menepuk pelan bahu Nia untuk menyadarkan dari lamunan. “Tadi Dokter Bara juga terlihat cemas sekali, bahkan beliau masih mengenakan jas putihnya saking keburunya.”Nia makin penasaran apa masalah yang menimpa mantan ssuaminya itu, ia sengaja mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dan tidak ada pasien yang datang. “Gak ada pasien ya, aku coba hubungin Dokter deh.”“Kamu khawatir ya? Memangnya kamu ada hubungan ya
“Ah, maaf …!”Nia tersentak kaget ketika mendengar suara orang lain di dalam ruang rawat Bara. Dengan gerakan canggung ia mengurai dirinya dari wajah Bara.Di ambang pintu, Tina tengah duduk di kursi roda dengan tatapan menyesal telah menganggu sepasang orang yang sedang menikmati kebersamaan. “Maaf, kalau sudah menganggu!”“Gak koq, Tin,” sahut Nia kemudian mengiring Tina untuk masuk meski dengan sedikit mengomel karena harusnya Tina tetap di kamar agar proses penyembuhannya lebih cepat. “Kamu kalau butuh sesuatu tinggal pencet bel, nanti suster akan datang bantu kamu. Ngapain juga kamu yang keliling begini.”Tina tersenyum sembari menganggukan kepalanya tatkala maniknya bertatapan dengan Bara. “Maaf, Dokter Bara!” dan dijawab senyuman tipis oleh Bara.“Ada apa? Kamu butuh sesuatu?” tanya Nia saat kini posisi Nia sedang duduk di sofa sedangkan Tina ada di depan Nia.“Gak ada,” jawab Tina mengukir senyum kemudian maniknya menatap Bara yang ternyata juga sedang menatapnya. Detik beriku
Satu minggu berlalu.Kondisi Bara sudah pulih dan banyak sekali kemajuan. Begitu pula dengan Tina, gadis itu sudah sangat baik namun, hatinya masih belum baik-baik saja. Sedangkan Aldo, pria itu mengantar Bima pulang beberapa jam setelah pembicaraan dengan Nia di telepon.Hari ini, Bara sudah diijinkan pulang. Namun, menunggu siang nanti karena Dokter yang menangani masih ada operasi.Bara duduk dan bersandar di ranjang, sedang Nia di depan pria itu dengan memegang piring dan sendok guna menyuapi sang mantan suami. “Sudah, Nia!” sergah Bara saat tangan Nia terulur untuk menyuapinya lagi. “Aku sudah kenyang.”Nia mendesis pelan, menahan rasa geregetan pada mantan suaminya itu. “Ini baru suapan ke tiga, gimana bisa kamu bilang kenyang, Mas!”Bukannya marah, yang dilakukan Bara malah tersenyum dengan malu-malu. Ia tahu pasti Nia akan menertawakan ucapannya. “Dengan lihat kamu saja aku sudah kenyang, Nia!”Benar saja, Nia langsung terbahak. “Gombal!”“Ihh … dikasih tahu gak percaya,” uc
“Papa …!”Bara tersenyum bahagia mendapati sang putra sedang berlari menghampirinya dengan senyum yang mengembang pula.“Jangan lari, Sayang!” teriak Nia menghentikan Bima kemudian bocah itu meringgis lebar menuruti ucapan sang Mama.“Iya, Ma.”Ya, setelah perdebatan yang alot, Nia akhirnya mengijinkan mantan suaminya itu untuk tinggal beberapa hari di rumahnya selama kondisi Bara belum pulih sepenuhnya. Sebenarnya sudah pulih, tetapi dasar pria itu saja yang ingin diperhatikan oleh mantan istri dan sekaligus calon istrinya. Bara berjongkok untuk memeluk putranya itu. Ada jutaan bahkan tak terhingga, rasa kebahagiaan yang saat ini ia terima. Seperti keluarga yang pada umumnya ada Ayah, Ibu dan Anak yang akan menemani hari-hari berikutnya.“Gendong, Pa!”Tanpa menolak, Bara langsung mengangkat tubuh kecil Bima bahkan ia lupa kalau dirinya masih tidak boleh mengangkat berat. Nia yang melihatnya, seketika menghentikan dengan menepis kedua tangan Bara. “Mas, jangan! Kamu masih sakit.”
“Boleh aku masuk?” tanyanya datar.Hampir saja Tina mempersilahkan. Bagaimana mungkin ia tidak senang, seseorang yang sudah lama ditunggu kehadirannya sekarang ada di hadapannya. Namun, buru-buru ia ingat kebrengsekannya.“Maaf, kalau kedatangan Mas hanya untuk memperjelas semuanya … aku sudah tahu,” ujar Tina tegas dengan tatapan beraninya. “Dan aku akan tetap mempertahankan anak ini tanpa menunggu persetujuanmu. Satu lagi, jika anak ini aib bagimu, aku berjanji akan pergi jauh hingga tidak mungkin kamu bisa menemukanku.”Tina rasa semua sikap pria itu sebelumnya sudah mencerminkan kalau tidak mengharapkan anak yang ada di dalam kandungannya. Jadi ia sudah tidak mengharapkan pria ini, lebih baik diperjelas sekarang daripada di kemudian hari timbul masalah.Selesai dengan ucapannya, Tina bermaksud menutup pintunya ketika kaki Aldo menahannya agar tidak bisa menutup.Tanpa banyak kata lagi, pria itu menarik bahu Tina untuk menghadapnya dan dengan satu tarikan saja ia berhasil menegelam
“Mas, gila kamu! Ini bukan seperti impian aku.”Bara tersenyum lembut sembari mengelus puncak kepala Nia. “Kamu sudah lihat sendiri kan aku memang tergila-gila padamu semenjak kita bercerai. Dan setelah ini selesai apapun aku akan lakukan untukmu!”“Ya tapi- ah, aku gak mau turun!” tolak Nia ketika tangan Bara menarik pergelangan tangannya.Tidak ada hal gila yang pernah Nia dapatkan kecuali hari ini. Bayangkan saja, rencananya mereka berdua hendak berangkat ke rumah sakit. Bara sudah memutuskan untuk kembali bekerja sehari setelah kepulangannya. Pagi ini Bara dan Nia berangkat bersama, akan tetapi bukan rumah sakit tujuan Bara saat ini melainkan KUA.Obrolan semalam dengan entengnya Bara mengajaknya nikah besok pagi. Nia pikir pria itu hanya becanda karena tidak akan mungkin menyiapkan semuanya dalam beberapa jam saja. Kenyataannya salah, Bara sudah menyiapkan semua berkas yang diperlukan.Bara berhasil membawa Nia turun dan sekarang mereka berdua sedang berjalan menuju tempat acara
Dengan perasaan tidak menentu, Nia masuk mengikuti Bara yang melewati lobi. Akan tetapi manik wanita itu tercekat, bukan karena membayangkan akan menghabiskan waktu bersama sang suami di dalam kamar hotel ini, melainkan netranya terjatuh pada sebuah foto yang tidak asing olehnya.“Mas … ke-kenapa … foto tadi koq bisa sampai di sini?” tanyanya pada Bara sambil mengerutkan keningnya, dilanda kebinggungan.Bara hanya melihat sekilas dan tampak santai, tanpa ada niatan untuk menjelaskan.Kesal karena Bara seperti tidak menanggapi, Nia menarik kasar lengan pria itu, hendak memuntahkan makian ketika seseorang menghampirinya.“Selamat siang, Bapak dan Ibu Barayudha,” sapanya dengan seulas senyum hangat.Dua orang wanita yang diperkirakan Nia sebagai petugas hotel itu menganggukan kepala padanya sebelum mengulutkan tangan untuk berjabat tangan.“Gimana, apa ada masalah?”Seketika membuat Nia menoleh pada pria yang masih bungkam tidak mau menjelaskan apa-apa padanya.“Tidak ada, Pak. Semua sud
“Mas, harusnya kan gak masalah kalau kita sekamar sama Bima! Kamu lupa, dia itu anak kita, lho!”Nia mengomeli Bara ketika mereka sudah tiba di dalam kamar pengantin yang di sediakan oleh pihak hotel.Bara menarik pinggang Nia hingga tidak ada jarak diantara keduanya. Tangan besar Bara langsung bersentuhan dengan bahu terbuka sang istri. Menciptakan gelenyar aneh yang membuat darah Nia berdesir. Entahlah, biasanya ia tidak akan merasakan apa-apa jika saja Bara merangkulnya. Mungkin karena ia tahu ini malam pertamanya setelah pernikahan dan dari raut wajah Bara seperti menginginkan sesuatu. Bara mengecup bibir Nia sekilas, lalu mengusap bibir Nia dengan ibu jarinya“Aku ingin kita bisa memiliki waktu berdua tanpa ada gangguan.” Bara menjeda ucapannya untuk memangut benda kenyal yang sudah membuatnya candu untuknya. “Memang kamu mau Bima melihat kita telan-”Nia langsung berjinjit untuk meraih bibir Bara dan mengecupnya, tidak membiarkan Bara menyelesaikan ucapan yang vulgar itu. Sekar