Dengan perasaan tidak menentu, Nia masuk mengikuti Bara yang melewati lobi. Akan tetapi manik wanita itu tercekat, bukan karena membayangkan akan menghabiskan waktu bersama sang suami di dalam kamar hotel ini, melainkan netranya terjatuh pada sebuah foto yang tidak asing olehnya.“Mas … ke-kenapa … foto tadi koq bisa sampai di sini?” tanyanya pada Bara sambil mengerutkan keningnya, dilanda kebinggungan.Bara hanya melihat sekilas dan tampak santai, tanpa ada niatan untuk menjelaskan.Kesal karena Bara seperti tidak menanggapi, Nia menarik kasar lengan pria itu, hendak memuntahkan makian ketika seseorang menghampirinya.“Selamat siang, Bapak dan Ibu Barayudha,” sapanya dengan seulas senyum hangat.Dua orang wanita yang diperkirakan Nia sebagai petugas hotel itu menganggukan kepala padanya sebelum mengulutkan tangan untuk berjabat tangan.“Gimana, apa ada masalah?”Seketika membuat Nia menoleh pada pria yang masih bungkam tidak mau menjelaskan apa-apa padanya.“Tidak ada, Pak. Semua sud
“Mas, harusnya kan gak masalah kalau kita sekamar sama Bima! Kamu lupa, dia itu anak kita, lho!”Nia mengomeli Bara ketika mereka sudah tiba di dalam kamar pengantin yang di sediakan oleh pihak hotel.Bara menarik pinggang Nia hingga tidak ada jarak diantara keduanya. Tangan besar Bara langsung bersentuhan dengan bahu terbuka sang istri. Menciptakan gelenyar aneh yang membuat darah Nia berdesir. Entahlah, biasanya ia tidak akan merasakan apa-apa jika saja Bara merangkulnya. Mungkin karena ia tahu ini malam pertamanya setelah pernikahan dan dari raut wajah Bara seperti menginginkan sesuatu. Bara mengecup bibir Nia sekilas, lalu mengusap bibir Nia dengan ibu jarinya“Aku ingin kita bisa memiliki waktu berdua tanpa ada gangguan.” Bara menjeda ucapannya untuk memangut benda kenyal yang sudah membuatnya candu untuknya. “Memang kamu mau Bima melihat kita telan-”Nia langsung berjinjit untuk meraih bibir Bara dan mengecupnya, tidak membiarkan Bara menyelesaikan ucapan yang vulgar itu. Sekar
“Nia … bangun!”Bara menepuk bahu istrinya yang dalam keadaan polos dan memunggunginya.Nia mengeliat tapi tidak membuka matanya, rasanya tubuhnya masih lelah di gempur habis-habisan oleh Bara. Suaminya itu telah ingkar janji. Semalam setelah acara menciumnya mereka memadu kasih dan entah sampai jam berapa karena Bara meminta beberapa ronde.“Nia, bangun gak? Apa kita lakukan lagi olah raga pagi, hmm!”Nia seketika membuka matanya, bagaimana mungkin Bara tidak ada lelahnya padahal tubuhnya sudah sangat-sangat tidak bisa digerakkan.“Kamu itu maruk namanya, Mas!”“Ya, kamu tahu sendiri kan aku sudah puasa beberapa tahun lamanya. Sekarang, ketika ada tersaji di depan mata ya digunakan lah!” jawab Bara enteng padahal Nia sudah sangat tersiksa dengan keinginannya itu.“Kamu gak pernah jajan di luar, Mas?”Bara tahu pasti kata-kata jajan yang diucapkan Nia. Ingin marah tapi saat ini aura kebahagiaan mengalahkan emosinya. Pria itu menyentil kening Nia pelan.“Kamu pikir aku teh yang suka ce
“Ini untuk kalian!”Nia dan Bara saling berpandangan, melihat amplop coklat yang disodorkan ke arahnya dari Dokter Kalandra, pria arogan pemilik rumah sakit berwajah datar.Hari ini, hari pertama masuk setelah status mereka berubah menjadi suami istri. Bara tahu itu pasti kado dari sang sepupu untuk pernikahannya.“Enggak perlu berlebihan, Ndra!” Bara membalas ucapan sang sepupu. Kalau sedang tidak ada orang lain, Bara selalu memanggil Kalandra hanya dengan namanya saja tapi kalau bicara formal ia selalu memanggil dengan Dokter Kalandra. “Kita tidak min-”“Ambillah dan sorry tidak bisa hadir karena ….” Kalandra memotong ucapan Bara, pria itu menjedah sebentar sebelum melanjutkannya. Kesal sih ada tapi bagaimanapun itu hari bahagia Bara. “Gantikan kamu ada operasi mendadak.”Bara langsung berdiri dan menghampiri Kalandra, berdiri di samping mejanya sembari menepuk bahu pria arogan itu. “Wah, thanks ya!” ucapnya dengan kekehan.Nia yang melihatnya, harap-harap cemas. Apa yang akan dilak
Di ruangan Bara.Baik Nia dan Bara terkesiap menatap isi amplop coklat pemberian Dokter Kalandra.“Mas, sepupu kamu itu ternyata diluarnya saja yang galak ya tapi dalamnya … tidak diragukan lagi,” puji Nia sambil terkikik, masih sulit mempercayai sikap Dokter Kalandra.“Dalamnya?” Bara mengulangi ucapan istrinya itu sambil menatap curiga. “Memang kamu sudah tahu dalamnya dia seperti apa, hah?”“Yee … malah sewot ini orang! Maksud aku itu kan secara yang terlihat diluar itu dia adalah pria galak, buktinya marahin OG tadi seperti punya salah besar banget padahal kan cuman terlambat saja. Itupun beberapa menit saja. Tetapi koq dia bisa-bisanya ngasih kado seperti ini. Sehingga aku mikirnya dia itu pria yang perhatian gitu lho!” Nia menjelaskan dengan panjang lebar agar Bara mengerti maksudnya.Bukannya tidak paham, Bara hanya sedikit tidak suka kata dalamnya yang diucapkan Nia seolah wanita itu tahu seperti apa sosok sang sepupu.“Iya, aku sudah tahu maksudmu!” balas Bara santai. Pria it
“Om Ayah!”Teriakan bocah yang mengema itu membuat Aldo tersentak kaget. Bukannya tidak suka tapi ia tidak akan menyangka kalau dipertemukan lagi dengan Bima setelah semua masalah diantara dirinya dengan Nia. Bima, bocah yang ia sayangi dan sudah dia anggap seperti anak kandungnya sendiri.Manik Aldo menyiratkan kebahagiaan. Pria itu seketika berjongkok dan merentangkan kedua tangannya ke samping agar bocah tersebut masuk ke dalam dekapannya. Benar saja, begitu melihat yang dilakukan Aldo, Bima langsung berlari kemudian membenamkan wajahnya di leher Aldo. Seolah mereka tidak bertemu puluhan tahun.“Aku kangen sama Om Ayah!” celetuk Bima yang membuat Aldo makin teriris hatinya.Aldo membisu, tidak menjawab ucapan Bima. Membiarkan indera penciumannya untuk beberapa saat menikmati aroma minyak telon yang ada di tubuh Bima.“Kata Mama, aku sudah gak boleh ganggu Om Ayah lagi! Karena Om Ayah mau punya adik bayi.”Aldo semakin menekan tubuhnya pada tubuh Bima. Detak jantungnya berpacu lebi
“Wah, cucu Oma sudah pulang ya? Gimana acaranya seru gak?”Suara Maria sudah terdengar ketika Bara membuka pintu dengan mengendong Bima yang sudah tertidur pulas. Kebetulan hari ini akhir Minggu dan waktunya berlibur ke rumah Maria.“Eh, Bima tidur ya?” Maria melanjutkan bertanya.“Iya, Bun,” jawab Bara singkat. Suasana hatinya masih buruk sejak melihat Aldo mengenggam tangan istrinya. “Maaf, Bunda. Bima boleh tidur sama Bunda gak?”Tanpa bertanyapun, Maria setuju saja. Lagian dengan adanya Bima dia jadi tidak sendirian tidurnya.“Boleh dong, ya sudah cepat bawa ke kamar Bunda!” pinta Maria pada Bara.Kaki panjang Bara melangkah menuju kamar sang mertua. Tidak lama Nia datang dan melihat Bara yang berjalan tidak ke kamar mereka.“Lho, Bima mau dibawa ke mana, Mas?” teriaknya. Namun, Bara tidak peduli pertanyaan wanita itu. Sedangkan Maria yang sudah berjalan di depan Bara tidak mendengar ucapan putrinya itu.Kesal, lagi-lagi Bara melakukan tindakan tanpa memberitahukannya. Nia berjala
Enam bulan kemudian.Tepat pukul satu siang, Tina melahirkan anak pertamanya. Bayi berjenis kelamin perempuan itu tampak cantik sekali, perpaduan wajah Tina dan Aldo. Suara tangisnya terdengar keras sekali di ruangan persalinan. Wajah Aldo juga terlihat lega setelah menemani sang istri yang masih lemas itu.Aldo mengambil alih untuk mengumandangkan adzan di telinga putri kecilnya itu. Rasa haru dan takjub menyelimuti pria itu. Tidak menyangka ada anak yang akan memanggilnya dengan sebutan Papa di hidupnya.Beberapa menit berlalu. Pria itu menyandarkan bayi mungilnya di dada dan ia dapat merasakan hangat nafas bayi tersebut. Selama ini ia hanya mengenal Bima saja dan ketika melihat putrinya ini Aldo lebih sangat bahagia.Sedangkan, Tina sendiri hanya melihat dengan bibir yang sedikit tertarik antara bahagia dan sedih. Bahagia karena anaknya sudah lahir ke dunia, sedih karena belum ada perubahan yang lebih baik, hubungannya dengan sang suami.Meski cinta belum hadir di hati suaminya itu