Yuk, tuliskan komentar dan kasih masukan, siapa tahu menginspirasi author untuk menjadikannya sebagai ide cerita selanjutnya :)
Bimo merasa terjebak dalam situasi ini. Dia duduk diam memandangi hasil tes kehamilan yang Laura serahkan padanya. Hatinya berkecamuk, tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Rasa cemas dan ketidakpastian menyelimuti pikirannya. Dia tidak siap menjadi ayah, tidak siap menghadapi tanggung jawab besar seperti ini. Bimo menggelengkan kepala, ekspresinya kaku. "Aku tidak akan lari darimu. Aku akan bertanggung jawab. Tapi, bukan dengan cara menikah denganmu, Laura." Kata-kata itu menyayat hati Laura. Air mata mengalir deras dari matanya. "Ini bukan hanya tentang kita, Om," gumamnya dengan suara gemetar. "Ini tentang kehidupan yang tumbuh di dalam diriku, tentang anak kita." Bimo merasa bingung dan terjepit. Dia tahu dia harus bertanggung jawab, tapi ketakutan dan ketidaksiapan masih menghantuinya. Dia bangkit dari tempat duduknya, berjalan ke arah jendela, mencoba meredam gelombang emosi dalam dirinya. "Kau harus mengerti, Laura. Sejak awal, aku tidak ingin menikahimu," ucapnya sambil m
Laura duduk termenung di kursi taman HEC Montreal. Gadis itu menggigit bibir, liurnya seperti membanjir di dalam mulutnya ketika tiba-tiba dia sangat menginginkan buah manggis. “Sialan, kenapa aku pengen banget makan manggis ya? Mau cari manggis di mana coba di Montreal ini?” gumam Laura sambil membuka-buka ponselnya, mencari tahu di internet tentang keberadaan buah manggis di Montreal.Manggis adalah buah tropis yang tidak tumbuh di iklim Kanada, ketersediaannya terbatas dan harga bisa menjadi lebih mahal daripada negara-negara tropis di mana buah ini tumbuh secara alami.Laura harus mencarinya secara langsung di toko-toko khusus yang menyediakan produk-produk impor dari negara-negara tropis. Selain itu, beberapa toko atau pasar yang berfokus pada produk-produk Asia atau Karibia juga mungkin menyediakan manggis secara terbatas. Laura tak bisa mendapatkannya secara online.“Wah, repot sekali,” gerutu Laura.“Sedang apa, Laura?”Laura tersentak kaget melihat Brian tiba-tiba sudah duduk
Para pelayan Brian juga bergerak dengan sigap, memikul tugas mencari buah tropis yang langka di Kanada itu. Mereka tersebar dalam beberapa tim, menyusuri toko-toko Asia dan supermarket yang tersebar di seluruh kota Montreal, berharap menemukan petunjuk tentang kehadiran buah manggis yang dicari. Akhirnya, tim di bawah kepemimpinan George berhasil menemukan sebuah toko Asia yang memiliki stok buah manggis yang berharga. Dia memborong seluruh buah manggis yang tersedia, tahu betapa pentingnya buah tersebut bagi sang tuan muda Brian Ashford.“Maaf, Tuan. Manggis ini sudah dipesan dan dibayar oleh pelanggan kami, dia sudah membayarnya dan akan mengambilnya nanti. Maaf, kami tidak bisa menyerahkannya,” kata penjaga toko.“Kami akan membayarnya tiga kali lipat, sebutkan saja harganya,” kata George sambil memerintahkan timnya untuk mengangkut semua buah manggis yang berada di dalam rak itu.“Maaf, Tuan. Saya hanya pelayan di sini. Saya tidak bisa membuat keputusan,” kata si penjaga toko.“I
Di rumah megah keluarga Ashford, sebuah helikopter mendarat di landasan heli yang terletak di atap gedung rumah mereka. Para pelayan dengan sigap turun dari helikopter itu dan mengantarkan peti buah itu kepada pemimpin mereka. Begitu sampai di tangannya, Jacob langsung menangani buah tropis yang langka itu. Dengan cermat dia mengawasi langsung anak buahnya menata dan menyiapkan buah manggis itu yang terbagi dalam beberapa keranjang yang ditata dengan cantik. Setelah semua rapi, Jacob menyerahkannya kepada tuan muda mereka yang sudah menunggu. “Tuan, buah manggis itu sudah kami dapatkan dan sudah kami siapkan” kata Jacob sambil membungkukkan badan.Brian merasa bahagia melihat usaha pelayannya. Ia merasa beruntung memiliki tim yang begitu berdedikasi dan setia mendukungnya. Dia ingin memberikan yang terbaik bagi Laura, wanita yang telah mencuri hatinya.Tak lama setelah itu, bersama para pengawalnya, Brian mengirimkan keranjang-keranjang buah manggis itu ke apartemen Laura. Para pe
Di sebuah hotel bintang lima Jakarta, pada sebuah acara malam penganugerahan penghargaan bergengsi, ballroom hotel dipenuhi sorotan lampu kilau dan hiasan bunga mewah. Suasana semarak semakin hidup dengan kehadiran para pengusaha dan tokoh terkemuka dalam industri Food and Beverage.Di antara para tamu, sosok Jelita tampak mempesona dalam balutan gaun malam hitam yang elegan, membuat William tak henti-hentinya menatap sang istri dengan takjub. “Aku tahu sejak dulu kau cantik, sayangku, tapi kau selalu berhasil mengejutkanku setiap saat, seolah-olah aku baru pertama kalinya melihat wanita secantikmu,” bisik William sambil meremas lembut tangan Jelita.“Makin hari kau semakin pintar menggombal saja, Bang.”William mencium punggung tangan Jelita. “Kau anggap pujianku sebagai kata-kata gombal? Ck. Tega sekali,” ujarnya pura-pura cemberut. “Apa aku harus mengganti kata-kataku tadi dengan aksi langsung saja? Menciummu misalnya, di sini? French kiss,” godanya sambil mengedipkan sebelah mata.
Setelah sepuluh tahun tak pernah pulang menengok kampung halamannya, kali ini Jelita memutuskan ikut ketika William ingin pergi ke sana untuk menengok Nyonya Cindy. “Kau yakin mau ikut, Sayang?” William bertanya sekali lagi. Dia tahu, betapa kampung halaman Jelita telah memberikan jejak kehidupan tak menyenangkan bagi sang istri. William ingin melindungi perasaan Jelita dengan cara tak pernah mengajak Jelita pergi ke sana.Namun, kali ini Jelita mengajukan diri ingin ikut ketika William mengatakan ingin pergi ke Lampung. Dia sudah siap mengunjungi tempat yang pernah menorehkan banyak kenangan luka menyakitkan di hatinya sejak kecil.Perjalanan pulang ke kampung halaman Jelita dimulai setelah mereka turun dari pesawat di Bandar Udara Radin Inten. Udara pagi yang segar menyambut kedatangan mereka. Jelita tersenyum dalam gandengan tangan William. "Kau ingat, Bang? Aku mengekorimu seperti anak itik saat pertama kali menginjakkan kaki ke sini dulu, ketika kita akan berangkat ke Jakarta.
Esok harinya, ditemani oleh William, Jelita mengunjungi rumah bibiknya, Saroh. Jelita merasa tegang saat mereka memasuki halaman rumah yang tampak kusam dan tak terurus. Sedangkan William menggenggam tangannya erat-erat sejak mereka turun dari mobil, memberikan dukungan dan kehangatan yang membuat Jelita merasa lebih tenang.Kedatangan mereka menyedot perhatian orang-orang yang melihatnya. Mereka menghentikan sejenak aktivitas mereka hanya untuk mengamati Jelita dan William yang baru tiba dengan mobil Nyonya Cindy yang sudah dikenali warga kampung. Ketampanan William tak bisa dipungkiri, para tetangga Saroh yang melihatnya terkesima oleh pesona dan aura kesuksesannya yang penuh wibawa. Di sebelahnya, Jelita pun terlihat cantik dan elegan. Keduanya tampak begitu serasi sebagai pasangan suami-istri.Pesona William memang tak bisa dipungkiri. Para tetangga Saroh tak bisa menyembunyikan kekaguman mereka. Wajah tampan dengan senyum lembut William membuat hati para tetangga bergetar. Postu
Di bawah langit pagi yang berwarna biru cerah, Jelita dan William berjalan beriringan menuju pemakaman. Suasana tenang dan hening memenuhi udara, hanya dipecah oleh gemercik angin lembut yang meniup daun-daun pepohonan. Mereka berdua telah tiba di tempat di mana makam Mala, ibu Jelita berada.Semua kenangan masa kecil hingga remaja bersama sang ibu kembali melintas di kepalanya. Jelita ingat betapa seringnya Mala menyiksanya dengan kata-kata kejam dan perlakuan yang tak manusiawi. Sejak kecil, Jelita sudah harus merasakan kehampaan kasih sayang dari ibunya. Dia sering dihina, dianggap tak berarti, dan diabaikan, sehingga perasaan cinta dari seorang ibu bagaikan sesuatu yang asing baginya. Kala itu, Jelita hanya bisa menangis dan menahan sakit, seraya bertanya-tanya mengapa takdir memberinya ibu yang begitu keras dan kejam. William berdiri di sampingnya, memeluk Jelita dengan penuh kasih sayang. Dia tak tahan mendengar tangisan pilu Jelita. Sakit Jelita adalah sakitnya juga. "Sayang,