Di kantornya yang megah, Adam Ashford sedang sibuk berkutat dalam urusannya. Cahaya lampu di ruangan menciptakan bayangan yang tajam di atas meja kerjanya. Namun, keadaan tenang itu seketika hancur ketika telepon genggamnya tiba-tiba bergetar dan berdering dengan suara yang mengganggu.Dengan cepat, Adam meraih teleponnya dan melihat nama 'Michael' yang tertera di layar. Michael jarang sekali menghubunginya kecuali ada urusan yang sangat genting atau mendesak saja.“Halo?”"Adam, ini Michael," suara laki-laki di ujung telepon terdengar tegang. Michael adalah rekan sesama mafia yang sangat dekat dengan Adam. "Michael, ada apa?”"Adam, ada serangan di pulau pribadimu di Kosta Rica. Serangan yang sangat brutal," kata Michael dengan suara terguncang.Tubuh Adam seketika kaku, matanya membelalak tak percaya. "Serangan? Di pulau pribadiku?""Ya, pulau itu hancur. Lebih parah daripada kerusakan pulaumu yang di Indonesia. Para penyerang telah menghancurkannya dengan sangat brutal. Dan yang l
Laura mengelap keningnya yang berkeringat. Dia terlihat lelah tapi senang. Wajahnya berseri-seri saat menata barang-barang pribadinya di kamar Bimo yang juga menjadi kamarnya. Lemari Bimo jadi tampak penuh karena ada pakaian Laura juga di sana. Laura tersenyum puas melihatnya. Dia dan Bimo akhirnya menjadi suami-istri, mereka akan berbagi banyak hal selamanya. Laura mengusap-usap sayang perutnya. “Kita coba makan buah-buahan yang ada saja ya, Sayang? Kasihan daddy kalau kamu maunya buah yang aneh-aneh,” bisiknya menasehati, seakan bayi di dalam perutnya itu bisa mendengar suaranya. “Laura,” panggil Bimo dari luar kamar. “Iya, darling?” Laura menutup lemari dan keluar kamar, tersenyum kepada Bimo. Bimo tertawa untuk menutupi rasa kecut di hatinya ketika mendengar Laura menyebutnya ‘darling’, sebab mengingatkan panggilan sayangnya kepada Jelita. “Dih. Kok ketawa sih …, Om maunya dipanggil apa, hmm? Honey? Sweetheart? Love? Apa …? Asal jangan minta tetap kupanggil Om loh, ya? Kita
Suasana di ruang dokter kandungan penuh dengan nuansa istimewa bagi Laura, dia tampak begitu bersemangat dan ceria. Laura tersenyum lebar, matanya berbinar saat Bimo duduk di sampingnya. Ini adalah kali pertama Bimo mengantarnya kontrol ke dokter kandungan, dan rasa bahagia dalam hatinya tak terelakkan. Entah kenapa Bimo mendadak gugup. Ketika layar monitor USG menyala dan gambar janin Laura muncul di sana, hati Bimo berdetak kencang. Dia merasa seperti baru saja membuka jendela ke dunia yang baru, dunia yang dulu tak pernah dia bayangkan bisa begitu berarti baginya. Melihat gambar janin yang berkembang di dalam perut Laura, dia merasa takjub akan keajaiban hidup. Setiap detail yang terlihat di layar membuat hati Bimo semakin bergetar. Detak jantung janin itu seolah berbicara dalam bahasa yang hanya dia dan Laura yang mengerti, gerakan kecil yang mengisyaratkan keberadaan calon anak mereka di sana. Semua itu seakan menyapa hatinya dengan sentuhan hangat yang tak terlukiskan. Saat d
Laura memancarkan kebahagiaan yang memenuhi setiap sudut ruangan. Dalam usia kandungan yang menginjak 8 bulan lewat 1 minggu, dia merasa keajaiban kehidupan yang tumbuh dalam dirinya semakin dekat. Setiap detak jantung calon bayi mereka terasa begitu nyata, seperti melodi kebahagiaan yang mengisi hatinya.Dengan mata berbinar, Laura menyusuri lorong-lorong toko bayi, terpesona oleh setiap baju bayi yang lucu dan menggemaskan. Tersenyum sendiri, dia meraih setiap potongan pakaian sambil bergumam, “Ya ampun, lucu banget!” Laura membayangkan bagaimana calon bayi mereka akan tampak begitu menggemaskan di dalamnya.Bimo tersenyum di sebelahnya. “Beli saja, Sayang. Pilih saja yang menurutmu bagus,” katanya sambil merangkul Laura.“Beneran, Om?” “Pilih saja apa yang kamu suka. Kita beli saja semuanya sekarang, supaya jelang hari-H persalinanmu nanti, kita sudah nggak repot belanja-belanja lagi.” Bimo mengangguk yakin seraya tersenyum kepada istrinya.“Yeay! Makasih, Om!” Laura memeluk Bimo
Bel pintu apartemen Laura menyela keasyikan Laura yang tengah duduk santai di ruang televisi, menikmati tayangan drama Korea kesukaannya sambil menunggu Bimo pulang. Dengan langkah malas, Laura menuju pintu dan mengintip sebentar. Dilihatnya wajah Katty, tetangga yang menempati unit di sebelah.“Halo, Katty, ada apa?” sapa Laura begitu membuka pintu.Katty tersenyum. “Maaf kalau aku mengganggu, Laura. Apakah kau punya hair dryer? Aku mau pinjam sebentar saja, punyaku tiba-tiba rusak, padahal aku sangat memerlukannya sekarang,” ujarnya terdengar sedikit ragu sambil menunjukkan rambutnya yang basah.Laura tersenyum, dia bisa memaklumi kondisi itu. Sebagai sesama wanita Laura tahu betapa Katty sedang membutuhkan alat itu untuk menunjang penampilannya. Lagipula Katty sangat baik padanya. Mereka sering berpapasan di lift dan Katty selalu membantu Laura membawakan barang-barang tentengannya sampai di depan pintu apartemennya.“Tentu saja, masuklah, Katty. Kuambilkan sebentar ya.” Laura berk
Sambil menahan rasa sakit yang masih bercokol di kepalanya, Aya menyusul Bimo ke sebuah rumah sakit begitu pria itu mengabarinya. Perasaannya dirundung kecemasan, kejadian di klinik tadi membuatnya merasa tersudut dan seperti menjadi orang ketiga di antara Bimo dan Laura, padahal sudah tidak ada apa-apa lagi di antara mereka. “Bimo, apa yang terjadi? Maafin gue, Bim, gara-gara nolongin gue … elu jadi ribut sama Laura dan kecelakaan kayak gini.” Aya menangis melihat Bimo yang harus dirawat pasca kecelakaannya tadi. Kepalanya diperban dan tangannya dibebat karena terkilir. “Nggak apa-apa, Ay. Salah gue sendiri tadi ngebut pas ngejar mobilnya Laura.” “Terus. Laura mana, Bim?” tanya Aya melihat Bimo sendirian dalam kondisinya saat ini. “Gue nggak bisa telepon dia. Berkali-kali gue telepon tapi nggak diangkat. Mungkin dia udah di apartemen sekarang,” ujar Bimo dengan kepala tertunduk sedih. Meskipun suka ceplas-ceplos dan terkesan galak, tapi Bimo tahu Laura sebenarnya orang yang sens
Kegelisahan yang mendalam semakin merayap dalam diri Bimo sejak Laura menghilang pergi tanpa kabar. Dia bertanya pada Katty, si tetangga yang terakhir kali membawa Laura pergi dengan mobilnya. Namun jawaban Katty semakin membuatnya sedih. “Waktu itu Laura minta diturunkan di pusat perbelanjaan, aku sudah membujuknya agar pulang saja ke rumah, tapi dia bersikeras ingin pergi sendirian. Maaf, Bimo, aku tak bisa menemaninya saat itu karena aku ada urusan lain yang mendesak. Kupikir dia hanya butuh menenangkan diri lalu pulang, aku tak mengira dia belum pulang sampai sekarang,” demikianlah alibi Katty. Dia berkata sambil memasang wajah bersimpati. Bimo kemudian mencari Laura dengan mobil Dimas karena mobilnya telah remuk akibat kecelakaan itu. Dia berkeliling kota Montreal, keluar-masuk tempat wisata, mencari-cari ke hotel. Mungkin saja Laura butuh menenangkan hatinya yang sedang terbakar marah dan cemburu di tempat-tempat itu. Namun, Laura tak juga ditemukan. Bimo pun kembali ke apart
Laura merasakan napasnya tersengal-sengal saat dia berusaha menenangkan diri setelah beristirahat sesaat. Keringat mengalir di dahinya, mencerminkan ketegangan dan kerja keras yang dia jalani. Namun, kata-kata tajam Madam Dorothy langsung membuyarkan momen ketenangan itu. Telinga Laura berdengung ketika mendengar bentakan Madam Dorothy yang tajam dan memaksa. Dia mengangkat pandangannya, wajah Madam Dorothy yang marah menatapnya dengan tegas. Laura merasa hatinya berdenyut kencang, mencoba menahan emosinya yang mulai mencuat. "Jangan manja!" bentak Madam Dorothy sekali lagi, kata-kata itu seperti cambukan yang menghantam Laura. Dia merasa seolah kesalahannya begitu besar, padahal dia hanya mencoba sedikit beristirahat dari beban kerja yang begitu berat. "Selama ini mungkin kau bisa bermanja-manja, mungkin di luar sana kau diperlakukan bak tuan puteri, tapi tidak di sini!" Madam Dorothy melanjutkan, suaranya tajam seperti pisau yang menusuk hati Laura. Laura mencoba menahan air mat