Laura memancarkan kebahagiaan yang memenuhi setiap sudut ruangan. Dalam usia kandungan yang menginjak 8 bulan lewat 1 minggu, dia merasa keajaiban kehidupan yang tumbuh dalam dirinya semakin dekat. Setiap detak jantung calon bayi mereka terasa begitu nyata, seperti melodi kebahagiaan yang mengisi hatinya.Dengan mata berbinar, Laura menyusuri lorong-lorong toko bayi, terpesona oleh setiap baju bayi yang lucu dan menggemaskan. Tersenyum sendiri, dia meraih setiap potongan pakaian sambil bergumam, “Ya ampun, lucu banget!” Laura membayangkan bagaimana calon bayi mereka akan tampak begitu menggemaskan di dalamnya.Bimo tersenyum di sebelahnya. “Beli saja, Sayang. Pilih saja yang menurutmu bagus,” katanya sambil merangkul Laura.“Beneran, Om?” “Pilih saja apa yang kamu suka. Kita beli saja semuanya sekarang, supaya jelang hari-H persalinanmu nanti, kita sudah nggak repot belanja-belanja lagi.” Bimo mengangguk yakin seraya tersenyum kepada istrinya.“Yeay! Makasih, Om!” Laura memeluk Bimo
Bel pintu apartemen Laura menyela keasyikan Laura yang tengah duduk santai di ruang televisi, menikmati tayangan drama Korea kesukaannya sambil menunggu Bimo pulang. Dengan langkah malas, Laura menuju pintu dan mengintip sebentar. Dilihatnya wajah Katty, tetangga yang menempati unit di sebelah.“Halo, Katty, ada apa?” sapa Laura begitu membuka pintu.Katty tersenyum. “Maaf kalau aku mengganggu, Laura. Apakah kau punya hair dryer? Aku mau pinjam sebentar saja, punyaku tiba-tiba rusak, padahal aku sangat memerlukannya sekarang,” ujarnya terdengar sedikit ragu sambil menunjukkan rambutnya yang basah.Laura tersenyum, dia bisa memaklumi kondisi itu. Sebagai sesama wanita Laura tahu betapa Katty sedang membutuhkan alat itu untuk menunjang penampilannya. Lagipula Katty sangat baik padanya. Mereka sering berpapasan di lift dan Katty selalu membantu Laura membawakan barang-barang tentengannya sampai di depan pintu apartemennya.“Tentu saja, masuklah, Katty. Kuambilkan sebentar ya.” Laura berk
Sambil menahan rasa sakit yang masih bercokol di kepalanya, Aya menyusul Bimo ke sebuah rumah sakit begitu pria itu mengabarinya. Perasaannya dirundung kecemasan, kejadian di klinik tadi membuatnya merasa tersudut dan seperti menjadi orang ketiga di antara Bimo dan Laura, padahal sudah tidak ada apa-apa lagi di antara mereka. “Bimo, apa yang terjadi? Maafin gue, Bim, gara-gara nolongin gue … elu jadi ribut sama Laura dan kecelakaan kayak gini.” Aya menangis melihat Bimo yang harus dirawat pasca kecelakaannya tadi. Kepalanya diperban dan tangannya dibebat karena terkilir. “Nggak apa-apa, Ay. Salah gue sendiri tadi ngebut pas ngejar mobilnya Laura.” “Terus. Laura mana, Bim?” tanya Aya melihat Bimo sendirian dalam kondisinya saat ini. “Gue nggak bisa telepon dia. Berkali-kali gue telepon tapi nggak diangkat. Mungkin dia udah di apartemen sekarang,” ujar Bimo dengan kepala tertunduk sedih. Meskipun suka ceplas-ceplos dan terkesan galak, tapi Bimo tahu Laura sebenarnya orang yang sens
Kegelisahan yang mendalam semakin merayap dalam diri Bimo sejak Laura menghilang pergi tanpa kabar. Dia bertanya pada Katty, si tetangga yang terakhir kali membawa Laura pergi dengan mobilnya. Namun jawaban Katty semakin membuatnya sedih. “Waktu itu Laura minta diturunkan di pusat perbelanjaan, aku sudah membujuknya agar pulang saja ke rumah, tapi dia bersikeras ingin pergi sendirian. Maaf, Bimo, aku tak bisa menemaninya saat itu karena aku ada urusan lain yang mendesak. Kupikir dia hanya butuh menenangkan diri lalu pulang, aku tak mengira dia belum pulang sampai sekarang,” demikianlah alibi Katty. Dia berkata sambil memasang wajah bersimpati. Bimo kemudian mencari Laura dengan mobil Dimas karena mobilnya telah remuk akibat kecelakaan itu. Dia berkeliling kota Montreal, keluar-masuk tempat wisata, mencari-cari ke hotel. Mungkin saja Laura butuh menenangkan hatinya yang sedang terbakar marah dan cemburu di tempat-tempat itu. Namun, Laura tak juga ditemukan. Bimo pun kembali ke apart
Laura merasakan napasnya tersengal-sengal saat dia berusaha menenangkan diri setelah beristirahat sesaat. Keringat mengalir di dahinya, mencerminkan ketegangan dan kerja keras yang dia jalani. Namun, kata-kata tajam Madam Dorothy langsung membuyarkan momen ketenangan itu. Telinga Laura berdengung ketika mendengar bentakan Madam Dorothy yang tajam dan memaksa. Dia mengangkat pandangannya, wajah Madam Dorothy yang marah menatapnya dengan tegas. Laura merasa hatinya berdenyut kencang, mencoba menahan emosinya yang mulai mencuat. "Jangan manja!" bentak Madam Dorothy sekali lagi, kata-kata itu seperti cambukan yang menghantam Laura. Dia merasa seolah kesalahannya begitu besar, padahal dia hanya mencoba sedikit beristirahat dari beban kerja yang begitu berat. "Selama ini mungkin kau bisa bermanja-manja, mungkin di luar sana kau diperlakukan bak tuan puteri, tapi tidak di sini!" Madam Dorothy melanjutkan, suaranya tajam seperti pisau yang menusuk hati Laura. Laura mencoba menahan air mat
“Ini tidak bisa dibiarkan, Laura tak ada kabar sudah lebih dari 3x24 jam! Aku harus lapor polisi.” Bimo berkata dengan wajah penuh kegelisahan. Matanya mencerminkan rasa kalut dan cemas yang memenuhi pikirannya. Di depannya, Dimas mengangguk-angguk setuju, keputusan adiknya adalah tindakan yang tepat. Mereka telah melakukan pencarian secara mandiri di berbagai tempat, tetapi Laura belum juga ditemukan. "Cepatlah hubungi polisi sekarang, Bim. Jangan menunda lebih lama lagi," Barbara mendesak dengan wajah khawatir. Laura adalah bagian dari keluarganya, dan sebagai dokter, Barbara merasa sangat prihatin, terutama karena Laura sedang mengandung dan usia kehamilannya sudah hampir mencapai 9 bulan. Bimo hampir saja mengambil ponselnya untuk menelepon polisi dan menyampaikan laporan tentang orang yang hilang, namun tiba-tiba ponselnya berdering dengan suara yang nyaring. Nama “Istriku” muncul di layar, dan Bimo tidak sabar untuk menjawab panggilan dari Laura itu. "Laura! Dia menelepon!"
Laura tak punya banyak waktu untuk meratapi kesedihannya atas gugatan perceraian yang telah ditandatanganinya di bawah ancaman Adam Ashford. Di bawah komando langsung Madam Dorothy, Laura harus melaksanakan pekerjaan abadinya sebagai pelayan Adam Ashford di pulau pribadinya ini. Tak ada waktu untuk mengeluh, tiada tempat untuk mengadu. Mau tak mau, suka tak suka, Laura harus menjalaninya seperti budak. “Laura! Apa kau tuli, Madam Dorothy memanggilmu!” seru seorang pelayan seraya mencekal tangan Laura dan menyeretnya ke dalam. “Laura, mereka adalah orang-orang yang kejam dan tak segan-segan menghukum meskipun kau hamil, jangan sampai kau melakukan kesalahan,” kata pelayan yang usianya tak jauh berbeda dengan Laura. “Kita manusia biasa, bagaimana mungkin tak boleh melakukan kesalahan,” protes Laura sia-sia karena tak akan ada yang peduli. Semua pelayan di sana sibuk menjaga dirinya masing-masing dari kekeliruan. Laura berjalan menuju ruangan Madam Dorothy seraya memegangi pinggang
Suasana di ruangan itu terhenti sejenak, seperti waktu berhenti bergerak ketika Laura dengan tegas membentak Adam Ashford. Pandangan semua orang tertuju padanya, mulai dari para pelayan yang berdiri di sekeliling, hingga penjaga yang berjaga-jaga di sudut ruangan. Ada kejutan, cemas, dan ketidakpercayaan dalam setiap tatapan yang terpancar.Marcella, yang sebelumnya sempat bicara dengan Laura, menggigit bibirnya dan menutup mulutnya dengan tangan. Bahkan dia, yang lebih senior dalam menghadapi Adam, merasa kaget oleh tindakannya ini. Dia tahu betapa berbahayanya melawan atau membentak Adam Ashford. Laura telah melanggar batas yang selama ini dianggap tak terlampaui.Pelayan lain mengucapkan kata-kata dalam bisikan, "Tidak ada yang pernah berani bicara seperti itu kepada Tuan Ashford sebelumnya," bisik salah satu pelayan perempuan sambil mendelik tak percaya.Sementara itu, Adam Ashford menatap Laura dengan sorot mata yang penuh amarah dan terkejut. Tatapannya yang tajam seolah-olah in