Bimo duduk gelisah di kamar calon bayinya. Pandangan matanya kosong, terfokus pada langit-langit kamar yang terlihat seperti tempat pelarian dari kenyataan yang sedang dia hadapi. Getaran kegelisahan merambat dalam dirinya. Dia merenung tentang segala yang terjadi dalam beberapa minggu terakhir. Laura, tiba-tiba berubah menjadi orang asing baginya. Dia merasakan keresahan yang mendalam, meratapi ketidakmengertian atas perubahan mendadak dalam hubungan mereka. Kenapa Laura tiba-tiba sulit dihubungi? Mengapa dia seolah-olah menjauh padahal mereka sebentar lagi akan menjadi orangtua? Kepala Bimo dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang tak berujung. Matanya menatap ponselnya. Dia menggenggamnya erat-erat, berharap akan ada pesan dari Laura yang menjelaskan segala kerumitan ini. Namun, pesan itu tidak ada. Teleponnya tetap sunyi, tak ada pesan atau panggilan lagi dari Laura. Dia teringat suara Laura melalui telepon, kata-kata yang menyayat hatinya. "Aku hanya ingin bercerai, Om. Kita berpisa
Adam terpaku sejenak, matanya masih memandang lantai yang basah. Kepalanya tiba-tiba pusing, dan dia merasa kewalahan oleh situasi yang tak terduga ini. Pria itu menggigit bibir dengan wajah pucat. Laura tak pernah melihatnya dalam keadaan seperti ini sebelumnya. Setelah beberapa detik yang terasa seperti berabad-abad, Adam akhirnya bergerak. Dia meraih ponselnya dengan cepat dan mulai menekan beberapa tombol. “Dokter, cepat ke villa utama, ke ruanganku, ada pelayanku yang akan melahirkan sekarang juga!” katanya. Dia kemudian menoleh kepada Laura setelah menutup teleponnya. “Sudah kupanggilkan dokter. Bisa kau tahan sebentar?” ujarnya terdengar kalut dan bingung. Laura merasa lega atas reaksi Adam yang tak terduga ini. Syukurlah pria itu tak menyeretnya keluar kamar detik ini juga. Laura merasa kesakitan dan lemah, tetapi ada sedikit harapan di tengah kekacauan ini. “Aaaah!” rintihnya sambil memegangi perutnya yang terus-terusan berkontraksi. “Duduklah! Kenapa kau berdiri saja?” Ada
Di ruangan villa yang berada di sebuah pulau pribadinya, Adam merasa gelisah mendengar tangisan bayi Laura yang tak henti-henti. Tatapannya yang biasanya tajam dan dingin kini penuh dengan kecemasan dan kegelisahan. Setiap tangisan bayi itu seakan menusuk hatinya dan membuatnya merasa tidak tenang."Apa mungkin dia lapar? Jika kondisi Laura tak memungkinkan penyediaan ASI untuk sementara waktu, cepat carikan donatur ASI buat bayi ini daripada dia harus mengkonsumsi susu formula," ucap Adam dalam nada cemas kepada Madam Dorothy, kepala pelayannya yang selalu siap membantu.Madam Dorothy bisa merasakan kegelisahan Adam, dia ingin menenangkan sang tuan dengan berkata, "Saya akan segera menghubungi dokter dan menanyakan tentang kebutuhan air susu untuk bayi ini, Tuan."Adam mengangguk. Tangannya menggosok pelipisnya dengan frustrasi. Dia tidak tahan melihat bayi itu menangis dan merasa tak berdaya dalam situasi ini. Semua kekerasan dan keangkuhan yang selama ini dia tunjukkan tampak mengh
Barbara merasa dilema dalam dirinya. Meskipun awalnya dia berusaha untuk mengabaikan kabar dan rumor tentang pasien wanita di ruang perawatan VVIP yang kabarnya terkait dengan Adam Ashford, rasa penasaran yang tak terbendung terus mengganggu pikirannya. Dia mencoba membenamkan diri dalam profesinya sebagai dokter bedah di rumah sakit itu, tetapi gambaran wajah Adam dan perempuan misterius itu terus berputar-putar di dalam pikirannya."Kenapa aku harus peduli?" gumam Barbara pada dirinya sendiri, mencoba meyakinkan diri bahwa ini bukan urusannya. "Ini urusan Adam, aku tak perlu ikut campur."Namun, entah mengapa, dia tak bisa menghilangkan rasa penasaran yang mendorongnya untuk mencari tahu lebih banyak. Setiap kali dia menghadapi pasien lain, pikirannya tak bisa lepas dari kemungkinan bahwa ada seseorang di dalam ruangan VVIP sana yang memiliki hubungan spesial dengan Adam.Mungkin karena masa lalu yang pernah dia jalani bersama Adam Ashford, ada perasaan dalam dirinya yang belum pern
“Tuan Ashford! Di mana hati nuranimu?” Laura menjerit frustrasi. Laura tak perlu berpikir dua kali untuk menolak tawaran gila Adam Ashford. Kehadiran bayinya adalah prioritas utamanya, dan dia ingin memastikan bayi itu tumbuh dengan bahagia dan sehat, bersama dirinya. Ide untuk memberikan hak asuh kepada pria sekejam Adam Ashford tak akan pernah dia ambil hanya untuk kemerdekaan dirinya.Adam malah tertawa dengan sorot mata yang memancarkan ketidakpedulian. “Jadi, kau lebih suka menjadi tahananku, Laura?” “Aku bahkan tak mengerti kenapa harus menjadi tahananmu, Tuan Ashford! Aku bukan pembunuh Brian! Aku tak pernah memaksanya mencintaiku, bahkan aku sudah tegas menolaknya. Aku juga tak pernah mendorongnya pergi ke Kosta Rica agar dia terbunuh di sana. Tapi kenapa kau melimpahkan kemarahanmu padaku? Ini tidak adil, Tuan Ashford! Kematiannya bukan salahku. Kenapa tak kau salahkan saja Tuhan dan malaikat maut yang sudah mengambil nyawanya!” jerit Laura begitu marah. Laura menangis. Me
Bimo tersentak mendengar jeritan Laura yang menggema keras di belakangnya. Dia mendelik kaget melihat sosok Laura yang menjerit sambil menangis di ambang pintu kamarnya. Seketika Bimo memucat. Dia tak mengira Laura betul-betul kembali pada saat ini, dia memaki keadaan yang membuat segalanya menjadi semakin buruk. “Laura!” Bimo berdiri, meraih celana boxernya yang teronggok di tepi ranjang dan buru-buru memakainya. Sedangkan Aya menutupi tubuhnya dengan selimut, sebab bajunya tercecer di sana, di bawah kaki Laura, wajah Aya pucat pasi dipergoki langsung oleh Laura dalam keadaan memalukan seperti ini. “Laura, bagaimana kabarmu?” Bimo menatap Laura dengan berbagai perasaan yang bercampur aduk dalam dirinya : kaget, senang, rindu, malu, was-was, takut. Dilihatnya perut Laura sudah tak buncit lagi. Laura sudah melahirkan? “Laura. Anak kita … mana, Sayang?” tanya Bimo sambil mengulurkan tangan, ingin memeluk Laura. Dia sangat merindukan Laura, wanita yang belum lama ini telah menjadi ma
Di tengah badai bencana yang melanda hidupnya, Laura menemukan secercah rasa syukur. Meskipun sangat sulit untuk mengakuinya, keberadaan uang yang melimpah dari Adam telah memberinya sedikit kelegaan dalam situasi sulit ini. Uang itu memungkinkannya untuk menyewa sebuah apartemen di pinggiran kota Montreal, sebagai tempat berlindung dan mengistirahatkan tubuhnya dari kelelahan kehidupannya yang hancur lebur.Dalam keheningan apartemennya yang baru, Laura merenung sambil memeriksa isi ponselnya. Kejutan besar pun melandanya ketika ia membuka aplikasi obrolan. Di dalam aplikasi chat, ia menemukan bahwa 'dirinya' tampaknya rutin berinteraksi dengan orang-orang dekatnya, termasuk ibunya di Indonesia. Obrolan-obrolan ini menciptakan ilusi bahwa kehidupan Laura masih berjalan normal dan tak terganggu. Bahkan dalam grup obrolan, 'Laura' banyak berbicara dengan Charlotte dan Helena, merespons gosip dan humor seolah-olah semuanya baik-baik saja."Adam Ashford brengsek!" gerutu Laura dengan mar
Malu dan kecewa menyelimuti perasaan Jessica Brown. Wanita yang seharusnya merasa di atas angin karena akan menjadi tunangan dari seorang pria kaya dan berpengaruh, tiba-tiba mendapati dirinya hancur di depan mata semua orang. Dalam sekejap, harga dirinya terasa seperti dihancurkan, meninggalkan luka yang tak berdarah di hatinya. Dia merasa seperti menjadi bahan tertawaan publik karena diabaikan oleh Adam begitu saja. Wajah Jessica memerah, matanya berkaca-kaca. Dengan langkah tergesa-gesa, dia turun dari panggung dan bergegas keluar dari ballroom, berusaha menyelamatkan wajahnya yang tercoreng dengan malu yang amat dalam. Reaksi Jessica mengakibatkan kegemparan di antara para tamu. Para tamu saling berbisik-bisik tentang apa yang baru saja mereka saksikan. Banyak dari mereka tidak menyangka bahwa acara pertunangan yang begitu indah bisa berubah menjadi sebuah drama publik yang mengejutkan. Seluruh keluarga Brown ikut pergi meninggalkan ruangan, mereka pun ingin menghindari situasi