Di tengah badai bencana yang melanda hidupnya, Laura menemukan secercah rasa syukur. Meskipun sangat sulit untuk mengakuinya, keberadaan uang yang melimpah dari Adam telah memberinya sedikit kelegaan dalam situasi sulit ini. Uang itu memungkinkannya untuk menyewa sebuah apartemen di pinggiran kota Montreal, sebagai tempat berlindung dan mengistirahatkan tubuhnya dari kelelahan kehidupannya yang hancur lebur.Dalam keheningan apartemennya yang baru, Laura merenung sambil memeriksa isi ponselnya. Kejutan besar pun melandanya ketika ia membuka aplikasi obrolan. Di dalam aplikasi chat, ia menemukan bahwa 'dirinya' tampaknya rutin berinteraksi dengan orang-orang dekatnya, termasuk ibunya di Indonesia. Obrolan-obrolan ini menciptakan ilusi bahwa kehidupan Laura masih berjalan normal dan tak terganggu. Bahkan dalam grup obrolan, 'Laura' banyak berbicara dengan Charlotte dan Helena, merespons gosip dan humor seolah-olah semuanya baik-baik saja."Adam Ashford brengsek!" gerutu Laura dengan mar
Malu dan kecewa menyelimuti perasaan Jessica Brown. Wanita yang seharusnya merasa di atas angin karena akan menjadi tunangan dari seorang pria kaya dan berpengaruh, tiba-tiba mendapati dirinya hancur di depan mata semua orang. Dalam sekejap, harga dirinya terasa seperti dihancurkan, meninggalkan luka yang tak berdarah di hatinya. Dia merasa seperti menjadi bahan tertawaan publik karena diabaikan oleh Adam begitu saja. Wajah Jessica memerah, matanya berkaca-kaca. Dengan langkah tergesa-gesa, dia turun dari panggung dan bergegas keluar dari ballroom, berusaha menyelamatkan wajahnya yang tercoreng dengan malu yang amat dalam. Reaksi Jessica mengakibatkan kegemparan di antara para tamu. Para tamu saling berbisik-bisik tentang apa yang baru saja mereka saksikan. Banyak dari mereka tidak menyangka bahwa acara pertunangan yang begitu indah bisa berubah menjadi sebuah drama publik yang mengejutkan. Seluruh keluarga Brown ikut pergi meninggalkan ruangan, mereka pun ingin menghindari situasi
Adam Ashford rupanya tidak langsung mengajak Laura kembali ke pulaunya di mana Nicholas berada. Pria itu membawanya ke rumah pribadinya yang terletak di kota Montreal. Laura tercengang ketika kakinya melangkah masuk ke dalam rumah yang sebesar istana itu. Seakan-akan ia telah memasuki dunia yang berbeda, di luar batas realitasnya. Dinding-dinding yang dihiasi dengan seni lukis mahal, lampu-lampu gantung kristal yang memancarkan cahaya gemerlap, dan lantai marmer yang bersih menghampar seperti permadani mewah.Setiap ruangan dipenuhi dengan furnitur dan dekorasi yang tampak begitu elegan dan mewah. Kursi-kursi empuk yang dilapisi kulit berkualitas tinggi, meja-meja antik dengan ukiran rumit, hingga tirai dan gorden yang dirancang secara eksklusif. Ruangan-ruangan itu mengalir dengan harmoni dan keanggunan, menciptakan suasana yang begitu memukau sekaligus membingungkan Laura.‘Gila, bagus banget.’ Laura bergumam dalam hatinya.Tak hanya ruang tamu yang mengagumkan, tetapi juga ruang ma
Laura berdecih sinis melihat Adam masih tertawa di atas kebingungan dirinya. Pria itu tampaknya begitu senang bisa mempermainkan dirinya seperti ini. Tangan Laura terkepal menahan geram. Melihat kesusahan dan kekacauan dirinya, seperti permainan yang mengasyikan bagi Adam."Bajingan gila satu ini memang terkutuk! Heran, kenapa manusia kejam seperti dia masih diberi nyawa? Tapi Brian yang sebaik malaikat malah dicabut duluan nyawanya.”Adam tersenyum mendengar Laura menggerutu dalam bahasa Indonesia, dia tahu artinya. Wanita itu sudah terlalu sering mengumpat dan mengutuknya dalam bahasa Indonesia, tapi Adam selama ini diam dan membiarkan saja Laura mengira dirinya tak memahami apa yang selama ini dia katakan dalam bahasa ibunya itu setiap kali sedang kesal kepada dirinya."Duduklah, Laura. Jangan terlalu tegang begitu," kata Adam dengan nada santai, seolah-olah kejadian tadi tak pernah terjadi. "Kau baru saja lolos dari maut, bukan? Bayangkan jika pistol itu berisi peluru, kau pasti s
Adam diam-diam penasaran ingin melihat bagaimana Laura menjalani pelatihannya, iapun mendatangi pusat pelatihan di mana Laura sedang digempleng. Adam memandangi layar CCTV di ruang kendali, memantau setiap gerakan Laura dalam proses pelatihannya. Melalui kamera pengawas, Adam melihat betapa gigihnya wanita itu memaksa dirinya melewati setiap rintangan. Ada rasa puas yang menghampiri hati Adam saat melihat Laura patuh pada arahan instruktur meski dalam kondisi kelelahan. Adam mengerti itu bukan hal mudah, terutama mengingat Laura baru saja melahirkan kurang dari dua bulan yang lalu.Adam duduk di kursi empuk di ruang kendali, matanya fokus pada layar-layar berbagai CCTV yang menampilkan adegan di lapangan pelatihan. Ruangan itu seolah menjadi jendela pandangnya ke dunia Laura yang tengah menjalani pelatihan keras. Dalam bayangan hitam dan putih layar monitor, Laura terlihat menjalani serangkaian rintangan fisik. Dia melompati pagar rendah dengan kecepatan yang cukup tinggi, melintas
Laura merentangkan pandangannya ke depan, fokus pada lawannya yang berdiri tegak di hadapannya. Pria itu memiliki tubuh yang tinggi dan besar, otot-ototnya terlihat mengencang di balik seragam latihan yang ia kenakan. Aura kekuatan dan pengalaman bertarung yang dimilikinya terpancar jelas dari tatapan tajamnya.Laura berdiri tegak dengan napas teratur. Matanya memandang tajam lawan bertandingnya. Adrenalin mengalir deras dalam tubuhnya, siap menghadapi tantangan ini. Alexa, berdiri di sisi lapangan. "Kerahkan kemampuanmu, Laura. Dia tak akan segan-segan memukul dan menyakitimu, bersiaplah!" suaranya terdengar tegas, menggetarkan udara di sekitarnya. Laura mengangguk sebagai tanggapan, menyatakan kesiapannya untuk memulai pertarungan ini. Pertarungan ini bukanlah pertandingan biasa, ini adalah latihan untuk mengajarkan Laura bagaimana bertahan dari serangan bahaya.Pria berbadan besar itu berdiri dengan postur yang mengesankan, dia melangkah maju dengan percaya diri. Pandangannya taj
Jantung Laura berdetak kencang saat Adam Ashford menatapnya dengan sorot yang tak terbaca. Matanya yang tajam seakan merasuki dirinya, memaksa Laura untuk menghadapi situasi ini dengan kepala tegak. Ketegangan terasa di udara saat Adam menyipitkan mata, mengawasinya dengan intensitas yang hampir tidak tertahankan. Dalam keheningan yang berat, Laura berusaha mengatur napasnya. Dia harus menjelaskan situasi ini dengan baik, meskipun hatinya berdebar keras. Laura mengangkat wajahnya, menatap Adam. “Aku …,” suaranya agak tergagap, tapi Laura berusaha untuk tetap tenang, “aku selama ini selalu memerah air susuku, sehingga ASI-ku tetap berproduksi lancar. Jangan khawatir, Nick akan mendapatkan nutrisi terbaik yang dia butuhkan. Sebab aku makan dengan baik selama di sini. Mereka menyediakan makanan yang sehat dan bergizi.” Rasanya detik-detik yang berlalu begitu lambat, sedangkan Adam masih tetap diam dengan ekspresi serius. Laura merasa sedikit cemas, tak tahu apa yang akan diucapkan oleh
Adam duduk di sebuah kursi, membiarkan dirinya tenggelam dalam suasana yang tenang di ruangan itu. Matanya tertuju pada pemandangan di depannya, di mana Laura sedang duduk dengan Nicholas dalam pelukannya. Diam-diam Adam tersenyum melihat bagaimana Laura dengan lembut mengelus-elus punggung bayi itu sambil tersenyum penuh kasih. Dan Nicholas terlihat sangat tenang dalam dekapan Laura, tidur pulas setelah puas menyusu. “Letakkan saja dia di tempat tidurnya. Dia tak akan terbangun kalau sudah kenyang minum susu,” tegur Adam yang langsung direspons oleh gelengan keras dari Laura.“Aku masih ingin memeluknya selama mungkin.” Laura berkata pelan tapi tegas. Wanita itu menghela napas, ada kesedihan di wajahnya. Dia ingin memanfaatkan setiap detik yang ia miliki untuk mendekap bayinya seperti ini. Tak ada yang tahu apa yang ada dalam pikiran Adam Ashford. Belum tentu kesempatan emas ini menghampiri Laura lagi.Sementara itu, Adam seperti memandang potret kebahagiaan yang paling murni. Sesa