Barbara merasa dilema dalam dirinya. Meskipun awalnya dia berusaha untuk mengabaikan kabar dan rumor tentang pasien wanita di ruang perawatan VVIP yang kabarnya terkait dengan Adam Ashford, rasa penasaran yang tak terbendung terus mengganggu pikirannya. Dia mencoba membenamkan diri dalam profesinya sebagai dokter bedah di rumah sakit itu, tetapi gambaran wajah Adam dan perempuan misterius itu terus berputar-putar di dalam pikirannya."Kenapa aku harus peduli?" gumam Barbara pada dirinya sendiri, mencoba meyakinkan diri bahwa ini bukan urusannya. "Ini urusan Adam, aku tak perlu ikut campur."Namun, entah mengapa, dia tak bisa menghilangkan rasa penasaran yang mendorongnya untuk mencari tahu lebih banyak. Setiap kali dia menghadapi pasien lain, pikirannya tak bisa lepas dari kemungkinan bahwa ada seseorang di dalam ruangan VVIP sana yang memiliki hubungan spesial dengan Adam.Mungkin karena masa lalu yang pernah dia jalani bersama Adam Ashford, ada perasaan dalam dirinya yang belum pern
“Tuan Ashford! Di mana hati nuranimu?” Laura menjerit frustrasi. Laura tak perlu berpikir dua kali untuk menolak tawaran gila Adam Ashford. Kehadiran bayinya adalah prioritas utamanya, dan dia ingin memastikan bayi itu tumbuh dengan bahagia dan sehat, bersama dirinya. Ide untuk memberikan hak asuh kepada pria sekejam Adam Ashford tak akan pernah dia ambil hanya untuk kemerdekaan dirinya.Adam malah tertawa dengan sorot mata yang memancarkan ketidakpedulian. “Jadi, kau lebih suka menjadi tahananku, Laura?” “Aku bahkan tak mengerti kenapa harus menjadi tahananmu, Tuan Ashford! Aku bukan pembunuh Brian! Aku tak pernah memaksanya mencintaiku, bahkan aku sudah tegas menolaknya. Aku juga tak pernah mendorongnya pergi ke Kosta Rica agar dia terbunuh di sana. Tapi kenapa kau melimpahkan kemarahanmu padaku? Ini tidak adil, Tuan Ashford! Kematiannya bukan salahku. Kenapa tak kau salahkan saja Tuhan dan malaikat maut yang sudah mengambil nyawanya!” jerit Laura begitu marah. Laura menangis. Me
Bimo tersentak mendengar jeritan Laura yang menggema keras di belakangnya. Dia mendelik kaget melihat sosok Laura yang menjerit sambil menangis di ambang pintu kamarnya. Seketika Bimo memucat. Dia tak mengira Laura betul-betul kembali pada saat ini, dia memaki keadaan yang membuat segalanya menjadi semakin buruk. “Laura!” Bimo berdiri, meraih celana boxernya yang teronggok di tepi ranjang dan buru-buru memakainya. Sedangkan Aya menutupi tubuhnya dengan selimut, sebab bajunya tercecer di sana, di bawah kaki Laura, wajah Aya pucat pasi dipergoki langsung oleh Laura dalam keadaan memalukan seperti ini. “Laura, bagaimana kabarmu?” Bimo menatap Laura dengan berbagai perasaan yang bercampur aduk dalam dirinya : kaget, senang, rindu, malu, was-was, takut. Dilihatnya perut Laura sudah tak buncit lagi. Laura sudah melahirkan? “Laura. Anak kita … mana, Sayang?” tanya Bimo sambil mengulurkan tangan, ingin memeluk Laura. Dia sangat merindukan Laura, wanita yang belum lama ini telah menjadi ma
Di tengah badai bencana yang melanda hidupnya, Laura menemukan secercah rasa syukur. Meskipun sangat sulit untuk mengakuinya, keberadaan uang yang melimpah dari Adam telah memberinya sedikit kelegaan dalam situasi sulit ini. Uang itu memungkinkannya untuk menyewa sebuah apartemen di pinggiran kota Montreal, sebagai tempat berlindung dan mengistirahatkan tubuhnya dari kelelahan kehidupannya yang hancur lebur.Dalam keheningan apartemennya yang baru, Laura merenung sambil memeriksa isi ponselnya. Kejutan besar pun melandanya ketika ia membuka aplikasi obrolan. Di dalam aplikasi chat, ia menemukan bahwa 'dirinya' tampaknya rutin berinteraksi dengan orang-orang dekatnya, termasuk ibunya di Indonesia. Obrolan-obrolan ini menciptakan ilusi bahwa kehidupan Laura masih berjalan normal dan tak terganggu. Bahkan dalam grup obrolan, 'Laura' banyak berbicara dengan Charlotte dan Helena, merespons gosip dan humor seolah-olah semuanya baik-baik saja."Adam Ashford brengsek!" gerutu Laura dengan mar
Malu dan kecewa menyelimuti perasaan Jessica Brown. Wanita yang seharusnya merasa di atas angin karena akan menjadi tunangan dari seorang pria kaya dan berpengaruh, tiba-tiba mendapati dirinya hancur di depan mata semua orang. Dalam sekejap, harga dirinya terasa seperti dihancurkan, meninggalkan luka yang tak berdarah di hatinya. Dia merasa seperti menjadi bahan tertawaan publik karena diabaikan oleh Adam begitu saja. Wajah Jessica memerah, matanya berkaca-kaca. Dengan langkah tergesa-gesa, dia turun dari panggung dan bergegas keluar dari ballroom, berusaha menyelamatkan wajahnya yang tercoreng dengan malu yang amat dalam. Reaksi Jessica mengakibatkan kegemparan di antara para tamu. Para tamu saling berbisik-bisik tentang apa yang baru saja mereka saksikan. Banyak dari mereka tidak menyangka bahwa acara pertunangan yang begitu indah bisa berubah menjadi sebuah drama publik yang mengejutkan. Seluruh keluarga Brown ikut pergi meninggalkan ruangan, mereka pun ingin menghindari situasi
Adam Ashford rupanya tidak langsung mengajak Laura kembali ke pulaunya di mana Nicholas berada. Pria itu membawanya ke rumah pribadinya yang terletak di kota Montreal. Laura tercengang ketika kakinya melangkah masuk ke dalam rumah yang sebesar istana itu. Seakan-akan ia telah memasuki dunia yang berbeda, di luar batas realitasnya. Dinding-dinding yang dihiasi dengan seni lukis mahal, lampu-lampu gantung kristal yang memancarkan cahaya gemerlap, dan lantai marmer yang bersih menghampar seperti permadani mewah.Setiap ruangan dipenuhi dengan furnitur dan dekorasi yang tampak begitu elegan dan mewah. Kursi-kursi empuk yang dilapisi kulit berkualitas tinggi, meja-meja antik dengan ukiran rumit, hingga tirai dan gorden yang dirancang secara eksklusif. Ruangan-ruangan itu mengalir dengan harmoni dan keanggunan, menciptakan suasana yang begitu memukau sekaligus membingungkan Laura.‘Gila, bagus banget.’ Laura bergumam dalam hatinya.Tak hanya ruang tamu yang mengagumkan, tetapi juga ruang ma
Laura berdecih sinis melihat Adam masih tertawa di atas kebingungan dirinya. Pria itu tampaknya begitu senang bisa mempermainkan dirinya seperti ini. Tangan Laura terkepal menahan geram. Melihat kesusahan dan kekacauan dirinya, seperti permainan yang mengasyikan bagi Adam."Bajingan gila satu ini memang terkutuk! Heran, kenapa manusia kejam seperti dia masih diberi nyawa? Tapi Brian yang sebaik malaikat malah dicabut duluan nyawanya.”Adam tersenyum mendengar Laura menggerutu dalam bahasa Indonesia, dia tahu artinya. Wanita itu sudah terlalu sering mengumpat dan mengutuknya dalam bahasa Indonesia, tapi Adam selama ini diam dan membiarkan saja Laura mengira dirinya tak memahami apa yang selama ini dia katakan dalam bahasa ibunya itu setiap kali sedang kesal kepada dirinya."Duduklah, Laura. Jangan terlalu tegang begitu," kata Adam dengan nada santai, seolah-olah kejadian tadi tak pernah terjadi. "Kau baru saja lolos dari maut, bukan? Bayangkan jika pistol itu berisi peluru, kau pasti s
Adam diam-diam penasaran ingin melihat bagaimana Laura menjalani pelatihannya, iapun mendatangi pusat pelatihan di mana Laura sedang digempleng. Adam memandangi layar CCTV di ruang kendali, memantau setiap gerakan Laura dalam proses pelatihannya. Melalui kamera pengawas, Adam melihat betapa gigihnya wanita itu memaksa dirinya melewati setiap rintangan. Ada rasa puas yang menghampiri hati Adam saat melihat Laura patuh pada arahan instruktur meski dalam kondisi kelelahan. Adam mengerti itu bukan hal mudah, terutama mengingat Laura baru saja melahirkan kurang dari dua bulan yang lalu.Adam duduk di kursi empuk di ruang kendali, matanya fokus pada layar-layar berbagai CCTV yang menampilkan adegan di lapangan pelatihan. Ruangan itu seolah menjadi jendela pandangnya ke dunia Laura yang tengah menjalani pelatihan keras. Dalam bayangan hitam dan putih layar monitor, Laura terlihat menjalani serangkaian rintangan fisik. Dia melompati pagar rendah dengan kecepatan yang cukup tinggi, melintas