Laura merasakan napasnya tersengal-sengal saat dia berusaha menenangkan diri setelah beristirahat sesaat. Keringat mengalir di dahinya, mencerminkan ketegangan dan kerja keras yang dia jalani. Namun, kata-kata tajam Madam Dorothy langsung membuyarkan momen ketenangan itu. Telinga Laura berdengung ketika mendengar bentakan Madam Dorothy yang tajam dan memaksa. Dia mengangkat pandangannya, wajah Madam Dorothy yang marah menatapnya dengan tegas. Laura merasa hatinya berdenyut kencang, mencoba menahan emosinya yang mulai mencuat. "Jangan manja!" bentak Madam Dorothy sekali lagi, kata-kata itu seperti cambukan yang menghantam Laura. Dia merasa seolah kesalahannya begitu besar, padahal dia hanya mencoba sedikit beristirahat dari beban kerja yang begitu berat. "Selama ini mungkin kau bisa bermanja-manja, mungkin di luar sana kau diperlakukan bak tuan puteri, tapi tidak di sini!" Madam Dorothy melanjutkan, suaranya tajam seperti pisau yang menusuk hati Laura. Laura mencoba menahan air mat
“Ini tidak bisa dibiarkan, Laura tak ada kabar sudah lebih dari 3x24 jam! Aku harus lapor polisi.” Bimo berkata dengan wajah penuh kegelisahan. Matanya mencerminkan rasa kalut dan cemas yang memenuhi pikirannya. Di depannya, Dimas mengangguk-angguk setuju, keputusan adiknya adalah tindakan yang tepat. Mereka telah melakukan pencarian secara mandiri di berbagai tempat, tetapi Laura belum juga ditemukan. "Cepatlah hubungi polisi sekarang, Bim. Jangan menunda lebih lama lagi," Barbara mendesak dengan wajah khawatir. Laura adalah bagian dari keluarganya, dan sebagai dokter, Barbara merasa sangat prihatin, terutama karena Laura sedang mengandung dan usia kehamilannya sudah hampir mencapai 9 bulan. Bimo hampir saja mengambil ponselnya untuk menelepon polisi dan menyampaikan laporan tentang orang yang hilang, namun tiba-tiba ponselnya berdering dengan suara yang nyaring. Nama “Istriku” muncul di layar, dan Bimo tidak sabar untuk menjawab panggilan dari Laura itu. "Laura! Dia menelepon!"
Laura tak punya banyak waktu untuk meratapi kesedihannya atas gugatan perceraian yang telah ditandatanganinya di bawah ancaman Adam Ashford. Di bawah komando langsung Madam Dorothy, Laura harus melaksanakan pekerjaan abadinya sebagai pelayan Adam Ashford di pulau pribadinya ini. Tak ada waktu untuk mengeluh, tiada tempat untuk mengadu. Mau tak mau, suka tak suka, Laura harus menjalaninya seperti budak. “Laura! Apa kau tuli, Madam Dorothy memanggilmu!” seru seorang pelayan seraya mencekal tangan Laura dan menyeretnya ke dalam. “Laura, mereka adalah orang-orang yang kejam dan tak segan-segan menghukum meskipun kau hamil, jangan sampai kau melakukan kesalahan,” kata pelayan yang usianya tak jauh berbeda dengan Laura. “Kita manusia biasa, bagaimana mungkin tak boleh melakukan kesalahan,” protes Laura sia-sia karena tak akan ada yang peduli. Semua pelayan di sana sibuk menjaga dirinya masing-masing dari kekeliruan. Laura berjalan menuju ruangan Madam Dorothy seraya memegangi pinggang
Suasana di ruangan itu terhenti sejenak, seperti waktu berhenti bergerak ketika Laura dengan tegas membentak Adam Ashford. Pandangan semua orang tertuju padanya, mulai dari para pelayan yang berdiri di sekeliling, hingga penjaga yang berjaga-jaga di sudut ruangan. Ada kejutan, cemas, dan ketidakpercayaan dalam setiap tatapan yang terpancar.Marcella, yang sebelumnya sempat bicara dengan Laura, menggigit bibirnya dan menutup mulutnya dengan tangan. Bahkan dia, yang lebih senior dalam menghadapi Adam, merasa kaget oleh tindakannya ini. Dia tahu betapa berbahayanya melawan atau membentak Adam Ashford. Laura telah melanggar batas yang selama ini dianggap tak terlampaui.Pelayan lain mengucapkan kata-kata dalam bisikan, "Tidak ada yang pernah berani bicara seperti itu kepada Tuan Ashford sebelumnya," bisik salah satu pelayan perempuan sambil mendelik tak percaya.Sementara itu, Adam Ashford menatap Laura dengan sorot mata yang penuh amarah dan terkejut. Tatapannya yang tajam seolah-olah in
Bimo duduk gelisah di kamar calon bayinya. Pandangan matanya kosong, terfokus pada langit-langit kamar yang terlihat seperti tempat pelarian dari kenyataan yang sedang dia hadapi. Getaran kegelisahan merambat dalam dirinya. Dia merenung tentang segala yang terjadi dalam beberapa minggu terakhir. Laura, tiba-tiba berubah menjadi orang asing baginya. Dia merasakan keresahan yang mendalam, meratapi ketidakmengertian atas perubahan mendadak dalam hubungan mereka. Kenapa Laura tiba-tiba sulit dihubungi? Mengapa dia seolah-olah menjauh padahal mereka sebentar lagi akan menjadi orangtua? Kepala Bimo dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang tak berujung. Matanya menatap ponselnya. Dia menggenggamnya erat-erat, berharap akan ada pesan dari Laura yang menjelaskan segala kerumitan ini. Namun, pesan itu tidak ada. Teleponnya tetap sunyi, tak ada pesan atau panggilan lagi dari Laura. Dia teringat suara Laura melalui telepon, kata-kata yang menyayat hatinya. "Aku hanya ingin bercerai, Om. Kita berpisa
Adam terpaku sejenak, matanya masih memandang lantai yang basah. Kepalanya tiba-tiba pusing, dan dia merasa kewalahan oleh situasi yang tak terduga ini. Pria itu menggigit bibir dengan wajah pucat. Laura tak pernah melihatnya dalam keadaan seperti ini sebelumnya. Setelah beberapa detik yang terasa seperti berabad-abad, Adam akhirnya bergerak. Dia meraih ponselnya dengan cepat dan mulai menekan beberapa tombol. “Dokter, cepat ke villa utama, ke ruanganku, ada pelayanku yang akan melahirkan sekarang juga!” katanya. Dia kemudian menoleh kepada Laura setelah menutup teleponnya. “Sudah kupanggilkan dokter. Bisa kau tahan sebentar?” ujarnya terdengar kalut dan bingung. Laura merasa lega atas reaksi Adam yang tak terduga ini. Syukurlah pria itu tak menyeretnya keluar kamar detik ini juga. Laura merasa kesakitan dan lemah, tetapi ada sedikit harapan di tengah kekacauan ini. “Aaaah!” rintihnya sambil memegangi perutnya yang terus-terusan berkontraksi. “Duduklah! Kenapa kau berdiri saja?” Ada
Di ruangan villa yang berada di sebuah pulau pribadinya, Adam merasa gelisah mendengar tangisan bayi Laura yang tak henti-henti. Tatapannya yang biasanya tajam dan dingin kini penuh dengan kecemasan dan kegelisahan. Setiap tangisan bayi itu seakan menusuk hatinya dan membuatnya merasa tidak tenang."Apa mungkin dia lapar? Jika kondisi Laura tak memungkinkan penyediaan ASI untuk sementara waktu, cepat carikan donatur ASI buat bayi ini daripada dia harus mengkonsumsi susu formula," ucap Adam dalam nada cemas kepada Madam Dorothy, kepala pelayannya yang selalu siap membantu.Madam Dorothy bisa merasakan kegelisahan Adam, dia ingin menenangkan sang tuan dengan berkata, "Saya akan segera menghubungi dokter dan menanyakan tentang kebutuhan air susu untuk bayi ini, Tuan."Adam mengangguk. Tangannya menggosok pelipisnya dengan frustrasi. Dia tidak tahan melihat bayi itu menangis dan merasa tak berdaya dalam situasi ini. Semua kekerasan dan keangkuhan yang selama ini dia tunjukkan tampak mengh
Barbara merasa dilema dalam dirinya. Meskipun awalnya dia berusaha untuk mengabaikan kabar dan rumor tentang pasien wanita di ruang perawatan VVIP yang kabarnya terkait dengan Adam Ashford, rasa penasaran yang tak terbendung terus mengganggu pikirannya. Dia mencoba membenamkan diri dalam profesinya sebagai dokter bedah di rumah sakit itu, tetapi gambaran wajah Adam dan perempuan misterius itu terus berputar-putar di dalam pikirannya."Kenapa aku harus peduli?" gumam Barbara pada dirinya sendiri, mencoba meyakinkan diri bahwa ini bukan urusannya. "Ini urusan Adam, aku tak perlu ikut campur."Namun, entah mengapa, dia tak bisa menghilangkan rasa penasaran yang mendorongnya untuk mencari tahu lebih banyak. Setiap kali dia menghadapi pasien lain, pikirannya tak bisa lepas dari kemungkinan bahwa ada seseorang di dalam ruangan VVIP sana yang memiliki hubungan spesial dengan Adam.Mungkin karena masa lalu yang pernah dia jalani bersama Adam Ashford, ada perasaan dalam dirinya yang belum pern