Pagi itu, para karyawan Harmonia Dreams sedang sibuk dengan rutinitas mereka. Tapi begitu Sam melintas, pandangan mereka seketika terpaku pada sosok yang memancarkan pesona yang tak terbantahkan. Mata-mata yang sibuk dengan tugas-tugas mereka terbelalak saat Sam melangkah dengan tegap. Tatapannya yang tajam dan senyumnya yang melumpuhkan membuat jantung mereka berdegup kencang. Mereka merasakan aura kepercayaan diri yang memancar dari Sam saat ia berjalan melewati mereka. Jelita yang sedang sibuk membawa dokumen keuangan penting melintasi Sam begitu saja, “Maaf, permisi,” kata Jelita dengan langkah terburu-buru, membuat Sam menggeser kaki dan memiringkan badannya untuk memberi Jelita jalan. Sam yang mengetahui jika itu Jelita tersenyum gemas melihat gadis itu terlalu fokus pada pekerjaan dan tugasnya, sehingga tidak ikut-ikutan heboh seperti para karyawan yang lainnya. “Dia memang unik, pantas saja kau tergila-gila setengah mati, Will,” gumam Sam sambil tersenyum. Seiring denga
Di tengah meriahnya peresmian cabang sebuah klinik kecantikan milik Fara di Surabaya, Nyonya Marta, berjalan dengan anggun di antara para tamu undangan yang antusias. Ia bangga melihat betapa besar dan indahnya klinik tersebut, mencerminkan dedikasi dan kerja keras Fara selama ini.Nyonya Marta bangga dengan bisnis Fara yang sukses. Klinik kecantikan puterinya terkenal karena menawarkan perawatan kulit yang inovatif dan teknologi canggih. Fara memahami pentingnya memiliki tim ahli yang berkualitas untuk memberikan layanan terbaik kepada para pasien. Timnya terdiri dari para ahli kecantikan yang mendapatkan sertifikasi dari Korea, negara yang terkenal dengan industri kecantikannya. Mereka para profesional berpengalaman yang terus mengikuti perkembangan terkini di bidang kecantikan. Dengan keahlian mereka, klinik Fara mampu menyediakan berbagai perawatan kulit terbaik dengan hasil yang memuaskan.Para ahli dari Korea dalam tim Fara membawa teknik dan pengetahuan khusus yang diperoleh da
“Maksudmu … ? Dina itu … janda?” Nadya memainkan face pokernya. Dia tersenyum. “Dina dulu sama seperti Jelita, gadis miskin. Dia bisa sekaya dan sesukses sekarang karena Harmonia Dreams, warisan suaminya. Dulu Harmonia Dreams pernah nyaris bangkrut, tapi papa menyelamatkan perusahaan itu dengan memberikan suntikan dana yang besar. Dia memang janda, tapi sangat kaya, Tan.” Detik itu juga, Nyonya Marta kehilangan selera makan. Wajahnya tampak memerah. Dia mencoba menahan emosinya yang memuncak. Astaga! Mengapa William harus terjerumus dalam hubungan seperti itu? Apa yang membuatnya mengulangi jejak masa lalu Bang Malik yang juga terpikat dengan janda kaya? Nadya mengulum senyum ketika merasakan kegelisahan dan kemarahan yang melingkupi Nyonya Marta saat ini. Nyonya Marta bahkan seperti tak tertarik lagi melanjutkan makan siangnya. Nyonya Marta menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi. Dia memandang Nadya dengan sorot tidak enak dan merasa malu. Dulu Nadya tersingkir karena pemba
Nyonya Marta memejamkan mata, ketika kenangan tentang Marisa berpuluh-puluh tahun yang lalu kembali menyapanya. Malam itu, suasana tegang menyelimuti Marta saat ia menerima panggilan telepon dari Marisa. Suaranya yang penuh ketakutan membuat hati Marta berdegup kencang. Marisa, sahabatnya yang hidup dalam keluarga broken home, seringkali harus berhadapan dengan situasi yang sulit."Sekarang apa yang terjadi, Marisa?" tanya Marta khawatir.Dengan suara terputus-putus, Marisa menceritakan bahwa orangtuanya sedang dalam pertengkaran hebat. Kehidupan keluarga yang tampak indah dan sempurna di mata dunia, sebenarnya berbalut kehancuran di balik tirai gemerlap. Orangtuanya, dua sosok artis senior yang terkenal, terjebak dalam hubungan yang penuh konflik dan kekecewaan.Marta bisa turut merasakan kepedihan Marisa. Ia tahu betapa sulitnya tumbuh dewasa tanpa kehangatan keluarga yang utuh. Marta selalu berusaha menjadi pendengar yang setia bagi Marisa, mencoba memberikan dukungan dan cahaya d
Demi melindungi reputasinya sebagai selebriti papan atas tanah air, orangtua Marisa akhirnya mengirimnya ke luar negeri. Mereka berjaga-jaga agar wartawan jangan sampai mengendus aib Marisa yang hamil dan melahirkan di usia belia tanpa adanya pernikahan. Untuk melindungi masa depan William, Marisa dan pembantunya kompak mengatakan jika bayi yang dilahirkan Marisa tak selamat. Namun itu tak mengubah keputusan orangtua Marisa untuk tetap menyingkirkan puterinya sendiri ke luar negeri. Sejak saat itu Marta dan Marisa hilang kontak. Kala itu teknologi komunikasi tak secanggih dan semudah sekarang. Sulit bagi Marta untuk menemukan jejak keberadaan Marisa, sebab keluarganya menutupi rapat-rapat. Marta sangat kehilangan sosok sahabat yang sangat disayanginya. Kebingungan menyelimuti pikirannya. Hingga suatu hari, Marisa tiba-tiba meneleponnya, dia mengatakan sudah berada di Indonesia. Mereka mengobrol lama sekali malam itu, menuntaskan kerinduan yang bertahun-tahun terpendam. “Aku ke
Hartono berdiri di depan makam Marisa, matanya terpaku pada buket mawar putih di pusara itu. Rupanya Marta juga baru saja datang ke tempat ini. Dia menghela napas panjang, lalu dengan lembut meletakkan buket bunga mawar putih yang dia bawa di atas pusara Marisa. Dia tahu betul Marisa sangat menyukai mawar putih. "Halo, Marisa?" gumam Hartono sambil menahan tangis. Hatinya dipenuhi oleh rasa bersalah yang tak terkatakan. Dia membayangkan bagaimana jika Marisa masih hidup, pasti wajahnya akan bersemu merah karena malu saat Hartono menyapanya. Senyum malu-malu Marisa itulah yang dulu membuat Hartono tidak tahan untuk tidak menciumnya. Dia tahu itu adalah kesalahan, tetapi pada saat itu Marisa juga tidak menolak. Gadis itu justru menatapnya dengan kagum, seolah-olah Hartono seorang pahlawan, dan Hartono menyukai tatapannya yang seperti itu. Hartono mengusap air mata yang jatuh di pipinya. Rasa kehilangan yang dalam dan penyesalan memenuhi hatinya. Dulu, Hartono adalah seseorang yang suka
Bersama Dina, Jelita memasuki tempat pembuatan perhiasan Harmonia Dreams. Di ruangan yang penuh dengan cahaya gemerlap, dia melihat para perajin yang penuh dedikasi sedang bekerja dengan teliti dan penuh passion. Di meja kerja, seorang perajin terampil sedang menggali batu permata dengan hati-hati. Tangan terampilnya bergerak dengan kelembutan, menangani setiap detail batu permata yang indah. Jelita bisa melihat kefokusan dan keahlian yang dimiliki oleh perajin ini. Jelita memperhatikan setiap gerakan yang dilakukan, mengetahui betapa pentingnya setiap langkah dalam proses pembuatan perhiasan. Di sudut ruangan, seorang desainer sedang memadukan ide-idenya dalam sketsa yang indah. Dengan penuh inspirasi, dia melibatkan dirinya dalam penelitian dan eksplorasi warna, bentuk, dan elemen desain. Jelita bisa melihat gairah yang terpancar dari wajah desainer itu, menandakan betapa besar rasa cinta dan antusiasme mereka terhadap pekerjaan mereka. Tak jauh dari situ, seorang tukang emas seda
“Hah? Yang benar saja!” “Benar, kok. Aku serius.” William bersedekap memandang Jelita. Kedua orang itu jadi saling adu pandang sambil sama-sama bersedekap. “Baiklah!” ketus Jelita. William tersenyum mendengar keputusan Jelita. “Kalau begitu keputusanmu sudah jelas, bahwa Abang menolak berinvestasi. Jadi aku pamit pulang sekarang.” Senyum William seketika sirna dari wajahnya. “Kau? Mau pulang?” “Iya. Tujuanku kan sudah jelas. Aku memang dikirim kak Dina untuk membujuk Abang tapi ternyata aku gagal. Ya sudah. Setidaknya aku sudah berusaha.” “Hei! Usaha macam apa ini? Aku sama sekali tak merasa kau membujukku?” “Terserah. Setidaknya aku sudah melakukan apa yang kak Dina inginkan dariku. Aku hanya memenuhi keinginannya, yaitu menemuimu secara pribadi. Tapi aku tak pernah menjanjikan kesanggupan menjadikanmu sebagai investor kami,” sahut Jelita sambil tersenyum santai membereskan kotak-kotak yang dibawanya tadi, yang sekarang sudah kosong isinya. “Oke, aku pulang.” Jelita berkata