“Hah? Yang benar saja!” “Benar, kok. Aku serius.” William bersedekap memandang Jelita. Kedua orang itu jadi saling adu pandang sambil sama-sama bersedekap. “Baiklah!” ketus Jelita. William tersenyum mendengar keputusan Jelita. “Kalau begitu keputusanmu sudah jelas, bahwa Abang menolak berinvestasi. Jadi aku pamit pulang sekarang.” Senyum William seketika sirna dari wajahnya. “Kau? Mau pulang?” “Iya. Tujuanku kan sudah jelas. Aku memang dikirim kak Dina untuk membujuk Abang tapi ternyata aku gagal. Ya sudah. Setidaknya aku sudah berusaha.” “Hei! Usaha macam apa ini? Aku sama sekali tak merasa kau membujukku?” “Terserah. Setidaknya aku sudah melakukan apa yang kak Dina inginkan dariku. Aku hanya memenuhi keinginannya, yaitu menemuimu secara pribadi. Tapi aku tak pernah menjanjikan kesanggupan menjadikanmu sebagai investor kami,” sahut Jelita sambil tersenyum santai membereskan kotak-kotak yang dibawanya tadi, yang sekarang sudah kosong isinya. “Oke, aku pulang.” Jelita berkata
Setelah seharian bekerja, Bimo melintasi jalanan Quebec dengan rasa lelah yang menghinggapi tubuhnya. Meskipun begitu dia masih bisa menikmati suasana jalanan yang menghadirkan pesona memikat. Siluet bangunan-bangunan bersejarah yang terlihat anggun di bawah cahaya senja. Kedai-kedai kecil dengan lampu-lampu berwarna hangat menyambutnya, menawarkan pilihan kuliner yang menggoda untuk menghilangkan rasa lapar setelah seharian bekerja. Bimo langsung teringat pada sosok Jelita dan meneleponnya. “Halo, darling?” sapanya sambil tersenyum. “Bimo!” Jelita terdengar bahagia menerima teleponnya. “Lagi apa, darling?” tanya Bimo sambil berjalan di trotoar, langkahnya terdengar agak berat, namun dia tak bisa menahan senyum saat melihat taman-taman kota yang masih terhias dengan keindahan bunga dan tanaman hijau. Warna-warni bunga dan aroma segar yang tercium membuatnya merasa sedikit lebih segar. “Aku sedang siap-siap berangkat kerja. Aku tadi masak buat sarapan dan buat bekal makan siang.
Bimo heran dengan kebetulan yang terjadi. Saat ini, dia sedang melanjutkan studi pasca sarjana di HEC Montreal sambil tetap bekerja, dan Laura juga ternyata kuliah di sana. “Wah, nggak nyangka kamu diterima di HEC Montreal, Laura,” ujar Bimo memberi selamat. Memasuki universitas bergengsi di luar negeri seperti HEC Montreal bukanlah hal yang mudah bagi pelajar dari Indonesia. Pertama-tama, persaingan untuk masuk ke universitas terkemuka di Kanada ini sangatlah ketat. HEC Montreal memiliki reputasi yang sangat baik dan persyaratan masuk yang tinggi. Pelamar harus memiliki catatan akademik yang sangat kuat, nilai TOEFL atau IELTS yang tinggi, serta pengalaman ekstrakurikuler dan kepemimpinan yang menonjol. Laura tersenyum lembut seraya menatap jauh ke dalam mata Bimo yang juga sedang menatapnya, "Mungkin ini takdir kita untuk bertemu lagi, Om.” “Hayaaah!” Bimo geleng-geleng kepala sambil terbahak-bahak. Lalu dia menepuk-nepuk lembut pipi gadis itu. “Kau dulu bocah SMP yang manja, La
Dina memasuki klinik ‘Eternal Beauty’ milik Fara dengan langkah anggun. Resepsionis menyambut Dina dengan senyuman hangat. Suasana di dalam klinik begitu elegan dan mewah, dengan lampu-lampu kristal yang berkilauan dan aroma wewangian yang menenangkan. Musik instrumental yang lembut mengalun di latar belakang, menciptakan atmosfer yang romantis. Setiap sudut ruangan dipenuhi dengan produk-produk perawatan kecantikan terbaik. Di sudut ruangan, sekelompok perempuan berbincang dengan riang. Mereka mengenakan gaun-gaun yang elegan dan berkilauan dengan perhiasan mewah, memancarkan pesona dan keanggunan, mereka adalah pelanggan setia klinik ‘Eternal Beauty.’“Mari silakan, Bu.” Penerima tamu mengajak Dina menuju ruang penerimaan khusus untuk pelanggan VIP. Di sana, terdapat sofa mewah yang dilapisi dengan kain sutra berwarna lembut, serta meja kecil yang dipenuhi dengan buah-buahan segar dan minuman yang disajikan dengan indah. Penerima tamu itu memberikan secangkir teh herbal kepada Din
William tiba di rumah Dina dengan penampilan yang tampan dan segar. Ia mengenakan setelan jas yang sempurna membingkai tubuhnya yang atletis. Rambutnya disisir rapi, menegaskan wajahnya yang tampan. Dengan wangi parfum yang memabukkan, ia memancarkan aura maskulin yang sulit diabaikan.Dina membuka pintu untuk menyambut William. Tercengang melihat kehadiran pria yang berdiri di depannya dengan penuh kepercayaan diri. Keelokan wajah William terlihat jelas, ditambah dengan senyuman lembut yang mampu membuat hati siapa pun meleleh.Dina bahagia saat William mengulurkan buket bunga mawar merah untuknya. Keduanya saling tersenyum saat tatapan mata mereka bertemu."Dina, kamu terlihat luar biasa malam ini," bisik William.Dina tersipu malu, tak menyangka William akan datang dengan penampilan yang sedemikian memukau. Hatinya berdegup kencang, berusaha mengendalikan kegugupan yang menyelimuti dirinya. Dia berusaha menjaga kesan yang baik di hadapan William."Makasih, Will. Kamu juga terlihat
“Kau menginap di sini, Ta?” tanya William ketika Jelita hendak kembali menuju dapur setelah selesai menerima instruksi dari Dina buat Bik Lastri. Jelita menggeleng. “Sebentar lagi aku mau pulang.” “Pulanglah bersamaku. Kuantar kau sampai apartemen.” Jelita tertegun, dia tak ingin membuat William terburu-buru menyelesaikan acaranya dengan Dina. Dan dia juga tak ingin menunggu lama-lama. Iapun cepat-cepat menggeleng. “Terima kasih, Bang. Tapi tak perlu, aku—” “Jangan membantah. Tunggu saja aku. Kita pulang bersama.” William memotong ucapan Jelita dengan tegas. Jelita tampak ingin menyanggah, namun Dina buru-buru menengahi. “Dengarkan kakakmu, Jelita. Kau santailah dulu di kamar tamu. Kau sudah selesai memasak, urusan bersih-bersih dapur biar ditangani Bik Lastri dan asistenku yang lain.” Jelita akhirnya mengangguk dan menuju kamar tamu, tempatnya berganti pakaian tadi. Karena lelah, Jelita tertidur di sana. Selesai menikmati makan malam itu, Dina dan William duduk di sofa, di ruan
Jelita mengucapkan terima kasih ketika mobil William sampai di depan gedung apartemennya. Dia melepas jas milik William dan berniat langsung mengembalikannya, tapi William malah mengomelinya. “Pakai! Enak banget itu satpam ntar lihat-lihat paha mulusmu.” Jelita tertawa. “Cih. Pahaku kan nggak semulus itu,” sahutnya acuh tak acuh. Jawaban Jelita terasa menikam perasaan William dengan kesedihan. Dia ingat, ada bekas luka di salah satu paha Jelita, bekas pukulan kayu dengan tancapan paku yang dilakukan ibunya dulu. “Pakai, Lita.” William berkata dengan lebih lembut. Jelita bisa menangkap getar perhatian yang tulus dan suara William. “Iya-iya, bawel.” Gadis itu kemudian menuruni mobil dan memasuki lobi gedung apartemennya. Meninggalkan William yang terpaku menatapnya. Jelita baru saja selesai ganti baju ketika bel pintu apartemennya berbunyi. Dia keluar dari dalam kamar dan terkejut melihat William sudah berada di dalam ruang tamunya. "Kamu masih belum mengganti passwordmu, jadi
Intan tergopoh-gopoh masuk ke dalam ruangan William dengan setumpuk kertas dan meletakkannya di hadapan sang CEO. “Tolong ditandatangani, Pak. Setelah ini akan langsung saya serahkan pada Pak Niko,” katanya seraya mengulurkan sebuah pena kepada William. “Apa ini?” William membaca dokumen-dokumen yang berisikan perjanjian kerja sama dengan perusahaan lain yang merupakan partner kerjanya. William membaca dengan saksama setiap kalimat, memeriksa tata bahasa, tanda baca, dan penggunaan kata yang tepat. Dia juga memastikan bahwa semua klausul dan persyaratan telah disampaikan dengan jelas dan akurat. Setiap kali dia menemukan kesalahan atau kekurangan, William mencatatnya dengan hati-hati dan membuat catatan untuk sekretarisnya agar dapat diperbaiki. Dia tidak hanya fokus pada kesalahan ketik, tetapi juga pada konten dan substansi dari surat perjanjian tersebut. “Perbaiki dulu yang sudah kutandai,” katanya sambil menyorongkan beberapa lembar kertas kepada Intan, dia tidak mentolerir k