Dina memasuki klinik ‘Eternal Beauty’ milik Fara dengan langkah anggun. Resepsionis menyambut Dina dengan senyuman hangat. Suasana di dalam klinik begitu elegan dan mewah, dengan lampu-lampu kristal yang berkilauan dan aroma wewangian yang menenangkan. Musik instrumental yang lembut mengalun di latar belakang, menciptakan atmosfer yang romantis. Setiap sudut ruangan dipenuhi dengan produk-produk perawatan kecantikan terbaik. Di sudut ruangan, sekelompok perempuan berbincang dengan riang. Mereka mengenakan gaun-gaun yang elegan dan berkilauan dengan perhiasan mewah, memancarkan pesona dan keanggunan, mereka adalah pelanggan setia klinik ‘Eternal Beauty.’“Mari silakan, Bu.” Penerima tamu mengajak Dina menuju ruang penerimaan khusus untuk pelanggan VIP. Di sana, terdapat sofa mewah yang dilapisi dengan kain sutra berwarna lembut, serta meja kecil yang dipenuhi dengan buah-buahan segar dan minuman yang disajikan dengan indah. Penerima tamu itu memberikan secangkir teh herbal kepada Din
William tiba di rumah Dina dengan penampilan yang tampan dan segar. Ia mengenakan setelan jas yang sempurna membingkai tubuhnya yang atletis. Rambutnya disisir rapi, menegaskan wajahnya yang tampan. Dengan wangi parfum yang memabukkan, ia memancarkan aura maskulin yang sulit diabaikan.Dina membuka pintu untuk menyambut William. Tercengang melihat kehadiran pria yang berdiri di depannya dengan penuh kepercayaan diri. Keelokan wajah William terlihat jelas, ditambah dengan senyuman lembut yang mampu membuat hati siapa pun meleleh.Dina bahagia saat William mengulurkan buket bunga mawar merah untuknya. Keduanya saling tersenyum saat tatapan mata mereka bertemu."Dina, kamu terlihat luar biasa malam ini," bisik William.Dina tersipu malu, tak menyangka William akan datang dengan penampilan yang sedemikian memukau. Hatinya berdegup kencang, berusaha mengendalikan kegugupan yang menyelimuti dirinya. Dia berusaha menjaga kesan yang baik di hadapan William."Makasih, Will. Kamu juga terlihat
“Kau menginap di sini, Ta?” tanya William ketika Jelita hendak kembali menuju dapur setelah selesai menerima instruksi dari Dina buat Bik Lastri. Jelita menggeleng. “Sebentar lagi aku mau pulang.” “Pulanglah bersamaku. Kuantar kau sampai apartemen.” Jelita tertegun, dia tak ingin membuat William terburu-buru menyelesaikan acaranya dengan Dina. Dan dia juga tak ingin menunggu lama-lama. Iapun cepat-cepat menggeleng. “Terima kasih, Bang. Tapi tak perlu, aku—” “Jangan membantah. Tunggu saja aku. Kita pulang bersama.” William memotong ucapan Jelita dengan tegas. Jelita tampak ingin menyanggah, namun Dina buru-buru menengahi. “Dengarkan kakakmu, Jelita. Kau santailah dulu di kamar tamu. Kau sudah selesai memasak, urusan bersih-bersih dapur biar ditangani Bik Lastri dan asistenku yang lain.” Jelita akhirnya mengangguk dan menuju kamar tamu, tempatnya berganti pakaian tadi. Karena lelah, Jelita tertidur di sana. Selesai menikmati makan malam itu, Dina dan William duduk di sofa, di ruan
Jelita mengucapkan terima kasih ketika mobil William sampai di depan gedung apartemennya. Dia melepas jas milik William dan berniat langsung mengembalikannya, tapi William malah mengomelinya. “Pakai! Enak banget itu satpam ntar lihat-lihat paha mulusmu.” Jelita tertawa. “Cih. Pahaku kan nggak semulus itu,” sahutnya acuh tak acuh. Jawaban Jelita terasa menikam perasaan William dengan kesedihan. Dia ingat, ada bekas luka di salah satu paha Jelita, bekas pukulan kayu dengan tancapan paku yang dilakukan ibunya dulu. “Pakai, Lita.” William berkata dengan lebih lembut. Jelita bisa menangkap getar perhatian yang tulus dan suara William. “Iya-iya, bawel.” Gadis itu kemudian menuruni mobil dan memasuki lobi gedung apartemennya. Meninggalkan William yang terpaku menatapnya. Jelita baru saja selesai ganti baju ketika bel pintu apartemennya berbunyi. Dia keluar dari dalam kamar dan terkejut melihat William sudah berada di dalam ruang tamunya. "Kamu masih belum mengganti passwordmu, jadi
Intan tergopoh-gopoh masuk ke dalam ruangan William dengan setumpuk kertas dan meletakkannya di hadapan sang CEO. “Tolong ditandatangani, Pak. Setelah ini akan langsung saya serahkan pada Pak Niko,” katanya seraya mengulurkan sebuah pena kepada William. “Apa ini?” William membaca dokumen-dokumen yang berisikan perjanjian kerja sama dengan perusahaan lain yang merupakan partner kerjanya. William membaca dengan saksama setiap kalimat, memeriksa tata bahasa, tanda baca, dan penggunaan kata yang tepat. Dia juga memastikan bahwa semua klausul dan persyaratan telah disampaikan dengan jelas dan akurat. Setiap kali dia menemukan kesalahan atau kekurangan, William mencatatnya dengan hati-hati dan membuat catatan untuk sekretarisnya agar dapat diperbaiki. Dia tidak hanya fokus pada kesalahan ketik, tetapi juga pada konten dan substansi dari surat perjanjian tersebut. “Perbaiki dulu yang sudah kutandai,” katanya sambil menyorongkan beberapa lembar kertas kepada Intan, dia tidak mentolerir k
“Yuhuuuu! Kanal Rideau, I’m coming …!” Bimo tertawa mendengar pekikan riang Laura di sebelahnya. Dia tetap fokus mengemudikan mobil dengan hati-hati, memastikan keamanan mereka. Perjalanan dari Montreal ke Kanal Rideau di Ottawa cukup jauh. Namun, pemandangan indah di sekitar mereka membuat waktu yang mereka tempuh tak terasa sia-sia. Mereka melewati hamparan ladang yang ditutupi oleh salju putih yang tebal, pepohonan yang tersapu oleh angin musim dingin, dan perbukitan yang terhampar di sepanjang jalan. Cahaya matahari musim dingin yang lembut menyinari sekitar, menciptakan kilauan indah di atas salju yang masih belum terinjak. Perjalanan mereka diiringi lagu-lagu BTS kesukaan Laura. Gadis itu bernyanyi bersama Jungkook Cs sambil menatap pemandangan dari jendela. “Duh. Keren banget, Om!” gumamnya, terpesona keindahan alam yang terbentang di sekelilingnya. Mereka melewati kota-kota kecil yang terlihat indah di tengah lanskap salju. Atap-atap rumah yang tertutup salju, jalan-jala
Laura merasakan detak musik yang menggema di telinganya saat ia memasuki diskotek yang penuh dengan cahaya warna-warni. Lampu-lampu yang berkedip dan menciptakan efek kilat, memancarkan semangat dan kegembiraan. Suara riuh rendah dari percakapan dan tawa teman-temannya mengisi udara. Dia berdiri di tengah dance floor yang luas, dikelilingi oleh teman-teman sesama mahasiswa yang bergembira. Mereka semua terlihat energik dan semangat, berdansa dan menggerakkan tubuh mereka sesuai irama musik yang memukau. Semangat dan keceriaan memancar dari wajah-wajah mereka di bawah cahaya lampu yang berkilauan. "Ayo kita menari, guys!" "Yuhuu! Kita serbu dance floor ini!" "Aku siap menggila menikmati malam ini sepenuhnya!" Mereka cekikikan sambil menggoyang badan. Laura merasakan getaran bass yang menggetarkan tubuhnya, membuatnya terhanyut dalam alunan musik yang mengalun. Ia melompat-lompat dan bergerak seiring irama, menikmati kebebasan untuk melepaskan diri dari rutinitas akademik dan meray
“Darling, maaf, ada hal mendesak yang harus kuselesaikan. Kita bicara lagi nanti ya, Sayang?” Bimo menutup ponselnya dengan perasaan campur aduk. Matanya beralih ke Laura yang keluar dari mobil dengan gerakan cepat dan menutup pintunya dengan keras. Hatinya terasa berat saat melihat ekspresi kecewa di wajah Laura. Ia merasa terjepit di antara dua perasaan yang saling bertentangan. "Duh, gue mesti gimana ini, anjirr?" gumam Bimo dalam kebingungan. Ia telah membuat Laura terluka, dan pada saat yang sama, ia tidak ingin kehilangan Jelita, kekasih yang telah lama mendampinginya dan sangat berarti baginya. Bimo keluar dari mobil dan berlari mengejar Laura yang berjalan dengan cepat. "Laura, tunggu! Tolong, dengarkan aku!" seru Bimo dengan napas terengah-engah. Laura berhenti sejenak, tetapi tidak berbalik untuk menghadap Bimo. Ia membalas dengan suara yang penuh kekecewaan, "Apa yang kau inginkan dariku, Om? Ciuman tadi, apa itu hanya main-main bagimu?" Bimo mendekatinya dengan langk