Selamat membaca :)
Jelita mengucapkan terima kasih ketika mobil William sampai di depan gedung apartemennya. Dia melepas jas milik William dan berniat langsung mengembalikannya, tapi William malah mengomelinya. “Pakai! Enak banget itu satpam ntar lihat-lihat paha mulusmu.” Jelita tertawa. “Cih. Pahaku kan nggak semulus itu,” sahutnya acuh tak acuh. Jawaban Jelita terasa menikam perasaan William dengan kesedihan. Dia ingat, ada bekas luka di salah satu paha Jelita, bekas pukulan kayu dengan tancapan paku yang dilakukan ibunya dulu. “Pakai, Lita.” William berkata dengan lebih lembut. Jelita bisa menangkap getar perhatian yang tulus dan suara William. “Iya-iya, bawel.” Gadis itu kemudian menuruni mobil dan memasuki lobi gedung apartemennya. Meninggalkan William yang terpaku menatapnya. Jelita baru saja selesai ganti baju ketika bel pintu apartemennya berbunyi. Dia keluar dari dalam kamar dan terkejut melihat William sudah berada di dalam ruang tamunya. "Kamu masih belum mengganti passwordmu, jadi
Intan tergopoh-gopoh masuk ke dalam ruangan William dengan setumpuk kertas dan meletakkannya di hadapan sang CEO. “Tolong ditandatangani, Pak. Setelah ini akan langsung saya serahkan pada Pak Niko,” katanya seraya mengulurkan sebuah pena kepada William. “Apa ini?” William membaca dokumen-dokumen yang berisikan perjanjian kerja sama dengan perusahaan lain yang merupakan partner kerjanya. William membaca dengan saksama setiap kalimat, memeriksa tata bahasa, tanda baca, dan penggunaan kata yang tepat. Dia juga memastikan bahwa semua klausul dan persyaratan telah disampaikan dengan jelas dan akurat. Setiap kali dia menemukan kesalahan atau kekurangan, William mencatatnya dengan hati-hati dan membuat catatan untuk sekretarisnya agar dapat diperbaiki. Dia tidak hanya fokus pada kesalahan ketik, tetapi juga pada konten dan substansi dari surat perjanjian tersebut. “Perbaiki dulu yang sudah kutandai,” katanya sambil menyorongkan beberapa lembar kertas kepada Intan, dia tidak mentolerir k
“Yuhuuuu! Kanal Rideau, I’m coming …!” Bimo tertawa mendengar pekikan riang Laura di sebelahnya. Dia tetap fokus mengemudikan mobil dengan hati-hati, memastikan keamanan mereka. Perjalanan dari Montreal ke Kanal Rideau di Ottawa cukup jauh. Namun, pemandangan indah di sekitar mereka membuat waktu yang mereka tempuh tak terasa sia-sia. Mereka melewati hamparan ladang yang ditutupi oleh salju putih yang tebal, pepohonan yang tersapu oleh angin musim dingin, dan perbukitan yang terhampar di sepanjang jalan. Cahaya matahari musim dingin yang lembut menyinari sekitar, menciptakan kilauan indah di atas salju yang masih belum terinjak. Perjalanan mereka diiringi lagu-lagu BTS kesukaan Laura. Gadis itu bernyanyi bersama Jungkook Cs sambil menatap pemandangan dari jendela. “Duh. Keren banget, Om!” gumamnya, terpesona keindahan alam yang terbentang di sekelilingnya. Mereka melewati kota-kota kecil yang terlihat indah di tengah lanskap salju. Atap-atap rumah yang tertutup salju, jalan-jala
Laura merasakan detak musik yang menggema di telinganya saat ia memasuki diskotek yang penuh dengan cahaya warna-warni. Lampu-lampu yang berkedip dan menciptakan efek kilat, memancarkan semangat dan kegembiraan. Suara riuh rendah dari percakapan dan tawa teman-temannya mengisi udara. Dia berdiri di tengah dance floor yang luas, dikelilingi oleh teman-teman sesama mahasiswa yang bergembira. Mereka semua terlihat energik dan semangat, berdansa dan menggerakkan tubuh mereka sesuai irama musik yang memukau. Semangat dan keceriaan memancar dari wajah-wajah mereka di bawah cahaya lampu yang berkilauan. "Ayo kita menari, guys!" "Yuhuu! Kita serbu dance floor ini!" "Aku siap menggila menikmati malam ini sepenuhnya!" Mereka cekikikan sambil menggoyang badan. Laura merasakan getaran bass yang menggetarkan tubuhnya, membuatnya terhanyut dalam alunan musik yang mengalun. Ia melompat-lompat dan bergerak seiring irama, menikmati kebebasan untuk melepaskan diri dari rutinitas akademik dan meray
“Darling, maaf, ada hal mendesak yang harus kuselesaikan. Kita bicara lagi nanti ya, Sayang?” Bimo menutup ponselnya dengan perasaan campur aduk. Matanya beralih ke Laura yang keluar dari mobil dengan gerakan cepat dan menutup pintunya dengan keras. Hatinya terasa berat saat melihat ekspresi kecewa di wajah Laura. Ia merasa terjepit di antara dua perasaan yang saling bertentangan. "Duh, gue mesti gimana ini, anjirr?" gumam Bimo dalam kebingungan. Ia telah membuat Laura terluka, dan pada saat yang sama, ia tidak ingin kehilangan Jelita, kekasih yang telah lama mendampinginya dan sangat berarti baginya. Bimo keluar dari mobil dan berlari mengejar Laura yang berjalan dengan cepat. "Laura, tunggu! Tolong, dengarkan aku!" seru Bimo dengan napas terengah-engah. Laura berhenti sejenak, tetapi tidak berbalik untuk menghadap Bimo. Ia membalas dengan suara yang penuh kekecewaan, "Apa yang kau inginkan dariku, Om? Ciuman tadi, apa itu hanya main-main bagimu?" Bimo mendekatinya dengan langk
Bimo melajukan mobil menuju apartemennya. Sepanjang jalan Laura mengoceh di tengah mabuknya. “Aku mencintaimu, Om! Sejak pertama kali kita bertemu. Kamu … ganteng banget, Om. Sumpah! Jungkook mah … lewattt! Ah … tidak-tidak. Aku tidak boleh mengkhianati Jungkook! Soalnya aku mengenal Jungkook lebih dulu ketimbang Om! Kamu itu selingkuhanku, Om! Pacar aku itu Jungkook!” Bimo terbahak-bahak mendengarnya.Gadis itu tiba-tiba menangis. “Jungkook … maafin aku …!” Dia menjambak rambutnya seolah betul-betul frustrasi harus memilih siapa, antara Bimo atau Jungkook.Bimo mengulum senyum. Laura imut sekali saat sedang mabuk. Ketika mobilnya terhadang lampu merah, Bimo berhenti dan memandangi Laura. Bimo mengulurkan tangan, menyentuh rambut Laura yang menempel di wajahnya, lalu menyematkan di belakang telinga Laura.Tiba-tiba saja, Laura menangkap tangan Bimo. “Apa ini … es krim? Aku suka es krim …, campuran vanila dan stroberi. Coklat juga enak.”Jantung Bimo disentak hebat ketika Laura menjil
Deni Subrata tersenyum hangat saat menerima ucapan selamat atas perayaan hari ulang tahunnya yang ke-71. Keberadaan orang-orang tercinta di sekitarnya membuat hatinya penuh dengan kebahagiaan. Di antara orang-orang itu, tampak sosok William, keponakannya yang biasanya menjadi sumber konflik, datang untuk merayakan ulang tahunnya. Meskipun hubungan mereka telah penuh dengan perbedaan dan perang dingin, pada hari ini William memilih untuk melenturkan hatinya dan hadir dalam perayaan tersebut. William merasa lelah dengan pertengkaran yang tak kunjung usai dengan keluarganya sendiri. William menatap omnya, penyesalan terlihat di matanya. “Om, selamat ulang tahun. Semoga kesehatan dan keselamatan senantiasa menyertai Om. Dan maafkan luput salahku selama ini.” Bibir Deni Subrata tampak bergetar, dia merasa terharu, namun terlalu angkuh untuk balas berkata-kata. Dia hanya menepuk-nepuk pundak William. Saat itu, Deni sebenarnya menyadari betapa berharganya kehadiran William, tetapi terha
“Mama mau ke mana?” tegur Fara, melihat Nyonya Marta sudah tampil cantik sepagi ini. “Ada undangan acara grand opening gedung restoran Happines Kitchen punya Jelita,” jawab Nyonya Marta. Kening Fara berkerut, mencerna ucapan mamanya. “Mama mau datang ke acaranya Jelita? Mama diundang?” “Iya, kamu mau ikut? Jelita pasti senang melihatmu ikut datang,” ajak Nyonya Marta. “Ma, yang benar saja?” Fara geleng-geleng kepala. Dia merasa heran melihat perubahan mamanya yang mulai melunak kepada Jelita. “Padahal dulu Mama benci sama Jelita. Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba sekarang Mama berubah menyukainya?” protes Fara. Nyonya Marta tersenyum kepada puterinya itu. “Fara, bagaimanapun Jelita sepupumu, dia keponakan Mama.” Fara mendelik. “Mama? Dia kan anak hasil selingkuhan?” desisnya, ada sorot tak rela di matanya ketika menerima fakta bahwa mamanya itu mulai terbuka terhadap Jelita yang tak disukainya. “Tetap saja ada darah keluarga Subrata mengalir dalam dirinya, Fara. Dia sepupumu, teri