Di Kanada, Bimo rajin memantau perkembangan bisnis Jelita. Dia bangga melihat nama Happines Kitchen menjadi viral di media sosial. Akun Twitter dan Instagram Happines Kitchen dengan cepat mendapatkan centang biru. Bimo merasa bahagia Jelita berada di titik ini. Dia tahu Jelita adalah sosok yang tekun dan pantang menyerah, dia layak meraih kesuksesan.“Aku bangga padamu, darling,” gumamnya dengan senyum merekah. Namun, senyum Bimo memudar ketika membaca berbagai komentar yang mengalir di akun Instagram Happines Kitchen. Dengan cepat, Jelita menjadi idola para pria, yang dengan terang-terangan memuji Jelita di kolom komentar sebagai wanita idaman mereka yang cantik, menarik, cerdas, sukses. Bahkan ada yang bertanya-tanya apakah Jelita masih single?“Brengsek, tunangan gue itu, woy!” Bimo mencebik dongkol.Bimo sadar posisinya sebagai pemilik Jelita bisa terancam begitu melihat beberapa akun artis pria dan pengusaha di Indonesia yang menjadi follower Happines Kitchen. Iapun semakin raji
Nyonya Puspa dan Tuan Hari duduk bersama di ruang keluarga, mata mereka terpaku pada televisi yang menyiarkan berita. Suasana ruangan begitu hening, hingga tidak ada suara kecuali berita yang dipancarkan televisi. Tiba-tiba, sebuah segmen berita tentang bisnis dan inspirasi muncul di layar. Nyonya Puspa dan Tuan Hari saling pandang ketika melihat sosok Jelita diwawancarai sebagai pengusaha muda yang inspiratif. Televisi kemudian menayangkan suasana restoran Happines Kitchen yang sedang dikunjungi oleh selebriti dan pengusaha tersohor, bahkan hadir juga seorang menteri yang tampak menikmati makan malam mereka di sana. Ketika diwawancarai, Pak Menteri menyatakan kepuasannya pada menu-menu yang ditawarkan Happines Kitchen dan mengungkapkan kekagumannya pada sosok Jelita yang berbakat di bidang kuliner. "Untunglah Bimo masih menjalin hubungan dengan Jelita," ujar Nyonya Puspa dengan rasa lega dalam hatinya. "Tapi, bagaimana dengan Laura ya? Kita sudah sepakat untuk menjodohkan Bimo d
Bimo dan Jelita memasuki apartemen dengan senyum cerah di wajah mereka. Bimo langsung mendorong Jelita ke tembok dan menciumi bibir wanita itu dengan begitu haus. “Aku sangat merindukanmu, Ta. Selama ini aku kesepian tanpamu,” bisiknya di sela-sela kecupan panasnya. “Bim, inikah pelayanan yang kau maksud, hmm? Ini mah namanya aku yang harus melayani nafsu liarmu,” omel Jelita ketika tangan Bimo menggerayangi dadanya dengan tak sabar. Keduanya kemudian terkekeh dengan ujung hidung saling menempel. “Nafsu liar? Aku jadi liar karena melihatmu, ini gara-gara kamu. Aku terlalu merindukanmu, darling,” bisik Bimo sambil membelai wajah Jelita. “Wah, kau membuatku takut tidur di sini. Awas saja, akan kucolok matamu kalau sampai menggerayangiku saat kutidur!” kata Jelita pura-pura mengancam. Bimo terkekeh. “Jangan memberiku ide, sayangku, aku malah jadi ingin melakukannya nanti malam. Kamu sepertinya bakal pingsan karena jet lag, waktu yang tepat untuk menggerayangimu, bukan?” ujarnya sam
Bimo membawa Jelita berjalan-jalan di Old Montreal. Suasana di sekitarnya sangat indah dan romantis. Cuaca yang cerah dan langit yang biru menambah keindahan suasana. Mereka berjalan beriringan sambil bergandengan tangan. “Wow! Cantik banget tempat ini, Bim.” “Senang melihat kamu senang, darling. Masih ada banyak tempat mengagumkan di kota ini, akan kutunjukkan padamu satu per satu.” Jelita tersenyum kepada Bimo seraya berterima kasih dengan binar-binar kegembiraan di matanya yang cantik. Membuat Bimo tak tahan untuk tidak mengecup wajahnya. Old Montreal dipenuhi dengan bangunan bersejarah yang megah, dengan arsitektur Eropa klasik yang menawan. Jalan-jalan berbatu yang dipenuhi toko-toko kecil dan restoran-restoran yang menggoda selera membuat suasana semakin hidup. Bimo dan Jelita berhenti di sebuah sudut jalan yang indah. Di sana terdapat tembok batu tua yang memancarkan aura nostalgia. Mereka melihat ke arah kamera dengan senyum manis merekah. Bimo meletakkan tangannya di pin
Jelita merasa cemas saat Bimo mengajaknya ke rumah Dimas. Dia bilang ada orang tuanya di sana yang baru datang kemarin dari Malang. “Mungkin ini saatnya kita memohon restu mereka lagi, Ta. Kamu siap?” Bimo tersenyum sambil membelai wajah kekasihnya yang tegang. Jelita mengangguk. Bimo tersenyum melihat ketegangan di wajah cantik itu. “Sayangku, dengan atau tanpa restu mereka, aku akan tetap menikahimu.” Dia menggenggam erat-erat tangan Jelita. Mereka tiba di halaman rumah Dimas. Jelita semakin tegang. Bimo menggenggam erat-erat tangan Jelita yang terasa dingin. Sebelumnya, Tuan Hari dan Nyonya Puspa tidak pernah menyukai Jelita, dan itu membuatnya gelisah. Namun, dia berusaha sekuat tenaga untuk mempersiapkan hatinya setegar mungkin. Ketika mereka tiba di rumah Dimas, suasana terasa ramah. Jelita terkejut melihat perubahan sikap yang begitu besar dari orangtua Bimo. Tuan Hari tersenyum dan menyapa Jelita dengan hangat, "Selamat datang, Jelita. Kami senang bisa bertemu denganmu." N
Jelita merasa cemas saat Bimo mengajaknya ke rumah Dimas. Dia bilang ada orang tuanya di sana yang baru datang kemarin dari Malang. “Mungkin ini saatnya kita memohon restu mereka lagi, Ta. Kamu siap?” Bimo tersenyum sambil membelai wajah kekasihnya yang tegang. Jelita mengangguk. Bimo tersenyum melihat ketegangan di wajah cantik itu. “Sayangku, dengan atau tanpa restu mereka, aku akan tetap menikahimu.” Dia menggenggam erat-erat tangan Jelita. Mereka tiba di halaman rumah Dimas. Jelita semakin tegang. Bimo menggenggam erat-erat tangan Jelita yang terasa dingin. Sebelumnya, Tuan Hari dan Nyonya Puspa tidak pernah menyukai Jelita, dan itu membuatnya gelisah. Namun, dia berusaha sekuat tenaga untuk mempersiapkan hatinya setegar mungkin. Ketika mereka tiba di rumah Dimas, suasana terasa ramah. Jelita terkejut melihat perubahan sikap yang begitu besar dari orangtua Bimo. Tuan Hari tersenyum dan menyapa Jelita dengan hangat, "Selamat datang, Jelita. Kami senang bisa bertemu denganmu." N
“Bim, aku malu tadi tidak membawakan sesuatu untuk ibumu. Aku ingin memberinya hadiah. Menurutmu, apa yang sangat disukai ibumu?” tanya Jelita ketika mereka tiba kembali di apartemen Bimo. Bimo tertawa. “Ibuku? Dia penyuka barang-barang mewah, darling.” Jelita berpikir sejenak. ”Bim,” panggilnya sambil meletakkan kakinya di pangkuan Bimo dan dengan pengertian Bimo langsung memijit-mijit tungkai Jelita. “Bagaimana kalau besok aku mengajak ibumu jalan-jalan ke mall?” “Wah, dia bakal senang banget, Ta.” “Kalau begitu, telepon ibumu sekarang, beritahu kalau besok aku ingin jalan-jalan bersamanya ke mall.” “Apa rencanamu untuk menjerat hati calon mertuamu itu, sayangku?” Bimo terkekeh. “Cerewet, buruan telepon!” Bimo kemudian menelepon ibunya. Lima menit kemudian dia melapor, “Kan? Ibu senang sekali dan tak sabar menunggu besok. Dia titip salam buatmu. Dia berpesan padaku agar tak menidurimu dulu sebelum kita menikah, tapi aku bilang kalau aku tak tahan ingin menidurimu, jadi dia men
Di sebuah perkampungan pelosok, Nyonya Cindy berdiri di sisi pusara yang telah lama terbengkalai. Saat pertama kali menemukannya dulu, tak lama setelah Marta memberitahukan lokasinya, pusara ini dipenuhi rerumputan dan bunga liar. Namun, kini dia sudah membersihkannya secara rutin, dengan kedua tangannya sendiri. Para asisten yang melihatnya melarang dan ingin membantunya, tetapi dia menolak dengan tegas. Nyonya Cindy menahan rasa sakit yang begitu dalam di hatinya, saat memandangi makam bayinya yang sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu tanpa sepengetahuannya. Air mata membasahi pipinya yang pucat. Tangisnya penuh dengan penyesalan demi penyesalan yang mengalir tanpa henti. "Maafkan Mami, anakku. Maafkan Mami yang baru mengetahui keberadaanmu. Maafkan Mami yang tidak pernah mengunjungimu di sini, karena Mami tidak tahu kamu ada, Nak." Rasa bersalah memenuhi hatinya saat ia menyadari bahwa selama ini dia hidup dalam ketidaktahuan tentang kehilangan yang begitu besar ini. Dia tida