Share

172. Berbagi Hati

“Bim, aku malu tadi tidak membawakan sesuatu untuk ibumu. Aku ingin memberinya hadiah. Menurutmu, apa yang sangat disukai ibumu?” tanya Jelita ketika mereka tiba kembali di apartemen Bimo.

Bimo tertawa. “Ibuku? Dia penyuka barang-barang mewah, darling.”

Jelita berpikir sejenak. ”Bim,” panggilnya sambil meletakkan kakinya di pangkuan Bimo dan dengan pengertian Bimo langsung memijit-mijit tungkai Jelita. “Bagaimana kalau besok aku mengajak ibumu jalan-jalan ke mall?”

“Wah, dia bakal senang banget, Ta.”

“Kalau begitu, telepon ibumu sekarang, beritahu kalau besok aku ingin jalan-jalan bersamanya ke mall.”

“Apa rencanamu untuk menjerat hati calon mertuamu itu, sayangku?” Bimo terkekeh.

“Cerewet, buruan telepon!”

Bimo kemudian menelepon ibunya. Lima menit kemudian dia melapor, “Kan? Ibu senang sekali dan tak sabar menunggu besok. Dia titip salam buatmu. Dia berpesan padaku agar tak menidurimu dulu sebelum kita menikah, tapi aku bilang kalau aku tak tahan ingin menidurimu, jadi dia menyarankan agar kita cepat menikah.”

Bimo lalu terbahak-bahak karena Jelita memukuli lengannya. “Dasar, malu-maluin!”

Esok paginya, diantar Bimo, Jelita dan Nyonya Puspa tiba di pusat perbelanjaan. Jelita dan Nyonya Puspa melalui butik-butik bergengsi yang ada. Mereka melihat-lihat berbagai pilihan barang mewah seperti tas, sepatu, baju, dan perhiasan. Mata Nyonya Puspa berbinar-binar melihat semua kemewahan yang ada.

Setelah berjalan beberapa saat, Jelita memperhatikan betapa Nyonya Puspa terpesona dengan koleksi perhiasan yang dipajang di sebuah toko. Jelita mengamati perhiasan-perhiasan yang tersedia, mencoba mencari yang paling sesuai dengan kepribadian dan selera Nyonya Puspa.

“Ibu, cobalah ini. Kurasa ini sangat cocok buat Ibu,” katanya sambil menunjuk sebuah kalung mutiara yang elegan. Pengalaman Jelita bekerja di Harmonia Dreams membuatnya jeli dalam menilai perhiasan.

“Kalung ini mencerminkan keanggunan dan kelembutan yang pas sekali buat Ibu.”

“Wah, Jelita. Kau jeli sekali mencermati perhiasan. Baiklah, Ibu akan mencobanya.”

Setelah kalung itu terpasang di leher Nyonya Puspa, Jelita mengangguk-angguk. “Ibu suka?”

“Tentu saja, Jelita. Ini indah sekali,” kata Nyonya Puspa sambil berdecak kagum.

Jelita kemudian bicara kepada staf toko bahwa dia mau membeli perhiasan itu.

Nyonya Puspa kaget saat Jelita betul-betul membelikannya kalung mewah itu. Nyonya Puspa tahu itu mahal harganya, tapi Jelita sama sekali tak ragu saat membelinya.

“Lita? Ini kan mahal?”

Jelita tersenyum. “Mahal atau tidak itu relatif, Bu. Kita akan menganggap sesuatu mahal kalau tak punya uangnya. Tapi aku punya uang buat membelinya, jadi aku sama sekali tak berpikir jika itu mahal.”

Nyonya Puspa menelan ludah. Ternyata Jelita benar-benar sudah kaya sekarang.

“Tolong terimalah, aku sangat ingin memberikannya buat Ibu. Aku akan senang jika ibu merasa senang menerima pemberianku ini.”

Nyonya Puspa mengangguk-angguk dan menerima pemberian Jelita itu. “Terima kasih, Lita. Ibu senang sekali dengan pemberianmu ini.”

Jelita mengangguk dan tersenyum. “Ibu mau apa lagi? Tas mungkin?”

Wajah Nyonya Puspa berseri-seri. Dia merasa berada di surga saat ini, terlebih bersama Jelita yang tak pelit membelikannya ini-itu. Nyonya Puspa sangat terkesan dengan kebaikan dan perhatian yang ditunjukkan oleh Jelita. Ia mengucapkan terima kasih dengan tulus dan rasa yang mendalam.

Jalan-jalan yang mewah itu semakin mengukuhkan hubungan antara mereka. Nyonya Puspa menyadari bahwa Jelita adalah sosok yang pemaaf dan tidak pelit dalam memberikan cinta dan perhatian kepada orang lain.

Jelita merasa lega karena berhasil membuat Nyonya Puspa bahagia. Ia belajar bahwa dengan kerendahan hati, kesabaran, dan usaha yang tulus, ia bisa membangun ikatan yang lebih kuat dengan calon mertuanya.

Situasi ini membuat Jelita merasa bahagia dan menguatkan tekadnya untuk menjadi calon menantu yang baik dan peduli terhadap keluarga Bimo. Ia berkomitmen untuk terus meningkatkan kualitas diri dan memberikan yang terbaik bagi hubungan mereka di masa depan.

Sementara itu, Bimo yang tadi pamit pergi dan mengatakan tak bisa menemani mereka berbelanja karena ada urusan pekerjaan, ternyata diam-diam sedang menyambangi apartemen Laura karena mendapat telepon dari Helena yang mengabarkan bahwa Laura sedang sakit.

Begitu melihat Bimo memasuki kamarnya, Laura langsung memeluknya sambil menangis. Bimo iba melihat sosok Laura yang berubah pucat dan lebih kurus.

“Selama sepuluh hari kita tak bertemu, kau betul-betul mengabaikan makanmu, Laura? Jangan konyol, Laura! Pandai-pandailah mengurus diri, kau ini tinggal di negeri orang. Kau butuh energi buat kuliah dan belajar. Kalau sakit, kau jadi merepotkan teman-temanmu, kan?” oceh Bimo sambil menyuapi Laura makan.

“Energiku itu kamu, Om. Tanpamu aku tak bergairah melakukan apapun.”

“Laura, kita sudah membicarakan ini. Jelita masih di sini.”

Laura menangis dimarahi Bimo. “Aku kangen kamu, Om. Kenapa malam memarahiku?”

Bimo menghela napas. Dibelainya wajah tirus Laura. Dia prihatin melihat kacaunya Laura saat ini hanya gara-gara kangen kepadanya.

“Baiklah, ayo kita tuntaskan rasa kangenmu itu, tapi setelah ini kamu kudu janji akan merawat diri dan semangat lagi, oke? Kita akan bertemu lagi setelah Jelita kembali ke Jakarta.”

Laura menggigit bibir dan tersenyum. Dia mengangguk-angguk dengan mata berbinar-binar. Kehidupan terasa menyinari wajahnya lagi.

Bimo kemudian mengunci pintu kamar Laura. Dengan cepat, keduanya saling melepaskan pakaian dan bercinta untuk menuntaskan kerinduan Laura. Padahal, Bimo juga merasakan kerinduan yang sama terhadap Laura. Diam-diam dia juga merindukan penyatuan tubuh mereka. Bimo juga kangen terhadap rasa Laura, rindu membenamkan tubuhnya ke dalam tubuh hangat Laura.

Bersama Jelita, Bimo tak bisa melakukan apa-apa. Bimo hanya bisa memandang dan membelainya, tanpa bisa melakukan yang lebih lagi. Membuat kepala Bimo sakit, karena sejak Jelita tinggal di apartemennya selama sepuluh hari ini, gairah paginya tak lagi tersalurkan dengan enak. Padahal biasanya dia dan Laura rutin bercinta setiap pagi. Sejak bersama Jelita, Bimo hanya bisa bermain solo di kamar mandi.

Bimo terkejut, ternyata sekali saja bersama Laura tak cukup. Setelah Laura terkapar usai ronde pertama, Bimo masih menginginkannya. Tapi dia tak tega meminta lagi kepada Laura karena gadis itu sedang sakit. Namun, Laura sepertinya bisa memahami Bimo, dia melihat sorot tak puas di mata pria yang dicintainya itu.

“Om masih mau lagi?”

Bimo membelai wajah Laura. “Tapi, kamu masih sakit dan capek.”

“Nggak apa-apa, Om. Lakukan saja.” Laura memeluk Bimo, membelai-belai lembut punggung pria itu. “Aku sayang kamu, Om. Lakukan saja apa yang ingin Om lakukan ke aku. Aku milikmu,” bisik Laura seraya mengecup bibir Bimo dengan lembut.

Bimo merasa trenyuh menerima penerimaan Laura dan rasa pengertian gadis ini terhadap kebutuhannya.

“Maafin aku, Laura.”

“Jangan minta maaf, Om. Lakukan saja, oke?”

Keduanya saling tersenyum. Lalu, tak perlu ada kata-kata lagi di antara mereka. Namun, desah kenikmatan mereka yang saling bersahut-sahutan sudah cukup menunjukkan betapa tubuh mereka saling membutuhkan. Saling memberi dan menerima dengan sama-sama bahagia.

“Om Bimo ….”

“Ohh. Laura ….”

Keduanya saling memanggil dan membelai dengan gairah yang kembali berkobar. Bimo dan Laura pun saling memeluk erat ketika badai cinta itu datang menghantam mereka lagi dengan begitu nikmatnya.

Puas menyalurkan kerinduannya kepada Laura, Bimo pamit pergi untuk menjemput Jelita. “Jaga dirimu baik-baik, ya? Cepat sembuh, janji?” bisiknya sambil mengecup kening Laura.

Laura mengangguk-angguk sambil tersenyum ceria.

“Ciee. Udah bisa senyum nih sekarang, mentang-mentang dapat dua ronde,” goda Bimo sambil mencubit ujung hidung Laura yang mancung.

“Sudah kubilang kan, Om itu energiku. Bercinta denganmu lebih ampuh menyembuhkanku daripada suntikan obat dari dokter manapun, Om,” sahut Laura sambil membelai wajah Bimo, dia masih berat melepas kepergian pria yang sangat dicintainya ini.

Tiba-tiba, ponsel Bimo berdering.

“Iya, darling? Oke, tunggu di situ ya, sayangku. Aku akan menjemputmu setelah ini. I love you,” kata Bimo begitu mesra saat menerima telepon dari Jelita.

Laura menggigit bibirnya. Dia betul-betul seperti kekasih gelap Bimo sekarang ini.

“Baiklah, Laura. Aku pergi dulu, ya.”

Laura mengangguk dengan senyum getir. Setelah Bimo meninggalkan kamarnya, Laura kembali menangis. Hatinya sakit sekali, tak rela berbagi Bimo dengan Jelita.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Indy Shinta
Bab ini juga gratis ya teman-teman. Selamat membaca semuanya :)
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status