“Bim, aku malu tadi tidak membawakan sesuatu untuk ibumu. Aku ingin memberinya hadiah. Menurutmu, apa yang sangat disukai ibumu?” tanya Jelita ketika mereka tiba kembali di apartemen Bimo.
Bimo tertawa. “Ibuku? Dia penyuka barang-barang mewah, darling.”Jelita berpikir sejenak. ”Bim,” panggilnya sambil meletakkan kakinya di pangkuan Bimo dan dengan pengertian Bimo langsung memijit-mijit tungkai Jelita. “Bagaimana kalau besok aku mengajak ibumu jalan-jalan ke mall?”“Wah, dia bakal senang banget, Ta.”“Kalau begitu, telepon ibumu sekarang, beritahu kalau besok aku ingin jalan-jalan bersamanya ke mall.”“Apa rencanamu untuk menjerat hati calon mertuamu itu, sayangku?” Bimo terkekeh.“Cerewet, buruan telepon!”Bimo kemudian menelepon ibunya. Lima menit kemudian dia melapor, “Kan? Ibu senang sekali dan tak sabar menunggu besok. Dia titip salam buatmu. Dia berpesan padaku agar tak menidurimu dulu sebelum kita menikah, tapi aku bilang kalau aku tak tahan ingin menidurimu, jadi dia menyarankan agar kita cepat menikah.”Bimo lalu terbahak-bahak karena Jelita memukuli lengannya. “Dasar, malu-maluin!”Esok paginya, diantar Bimo, Jelita dan Nyonya Puspa tiba di pusat perbelanjaan. Jelita dan Nyonya Puspa melalui butik-butik bergengsi yang ada. Mereka melihat-lihat berbagai pilihan barang mewah seperti tas, sepatu, baju, dan perhiasan. Mata Nyonya Puspa berbinar-binar melihat semua kemewahan yang ada.Setelah berjalan beberapa saat, Jelita memperhatikan betapa Nyonya Puspa terpesona dengan koleksi perhiasan yang dipajang di sebuah toko. Jelita mengamati perhiasan-perhiasan yang tersedia, mencoba mencari yang paling sesuai dengan kepribadian dan selera Nyonya Puspa.“Ibu, cobalah ini. Kurasa ini sangat cocok buat Ibu,” katanya sambil menunjuk sebuah kalung mutiara yang elegan. Pengalaman Jelita bekerja di Harmonia Dreams membuatnya jeli dalam menilai perhiasan.“Kalung ini mencerminkan keanggunan dan kelembutan yang pas sekali buat Ibu.”“Wah, Jelita. Kau jeli sekali mencermati perhiasan. Baiklah, Ibu akan mencobanya.”Setelah kalung itu terpasang di leher Nyonya Puspa, Jelita mengangguk-angguk. “Ibu suka?”“Tentu saja, Jelita. Ini indah sekali,” kata Nyonya Puspa sambil berdecak kagum.Jelita kemudian bicara kepada staf toko bahwa dia mau membeli perhiasan itu.Nyonya Puspa kaget saat Jelita betul-betul membelikannya kalung mewah itu. Nyonya Puspa tahu itu mahal harganya, tapi Jelita sama sekali tak ragu saat membelinya.“Lita? Ini kan mahal?”Jelita tersenyum. “Mahal atau tidak itu relatif, Bu. Kita akan menganggap sesuatu mahal kalau tak punya uangnya. Tapi aku punya uang buat membelinya, jadi aku sama sekali tak berpikir jika itu mahal.”Nyonya Puspa menelan ludah. Ternyata Jelita benar-benar sudah kaya sekarang.“Tolong terimalah, aku sangat ingin memberikannya buat Ibu. Aku akan senang jika ibu merasa senang menerima pemberianku ini.”Nyonya Puspa mengangguk-angguk dan menerima pemberian Jelita itu. “Terima kasih, Lita. Ibu senang sekali dengan pemberianmu ini.”Jelita mengangguk dan tersenyum. “Ibu mau apa lagi? Tas mungkin?”Wajah Nyonya Puspa berseri-seri. Dia merasa berada di surga saat ini, terlebih bersama Jelita yang tak pelit membelikannya ini-itu. Nyonya Puspa sangat terkesan dengan kebaikan dan perhatian yang ditunjukkan oleh Jelita. Ia mengucapkan terima kasih dengan tulus dan rasa yang mendalam.Jalan-jalan yang mewah itu semakin mengukuhkan hubungan antara mereka. Nyonya Puspa menyadari bahwa Jelita adalah sosok yang pemaaf dan tidak pelit dalam memberikan cinta dan perhatian kepada orang lain.Jelita merasa lega karena berhasil membuat Nyonya Puspa bahagia. Ia belajar bahwa dengan kerendahan hati, kesabaran, dan usaha yang tulus, ia bisa membangun ikatan yang lebih kuat dengan calon mertuanya.Situasi ini membuat Jelita merasa bahagia dan menguatkan tekadnya untuk menjadi calon menantu yang baik dan peduli terhadap keluarga Bimo. Ia berkomitmen untuk terus meningkatkan kualitas diri dan memberikan yang terbaik bagi hubungan mereka di masa depan.Sementara itu, Bimo yang tadi pamit pergi dan mengatakan tak bisa menemani mereka berbelanja karena ada urusan pekerjaan, ternyata diam-diam sedang menyambangi apartemen Laura karena mendapat telepon dari Helena yang mengabarkan bahwa Laura sedang sakit.Begitu melihat Bimo memasuki kamarnya, Laura langsung memeluknya sambil menangis. Bimo iba melihat sosok Laura yang berubah pucat dan lebih kurus.“Selama sepuluh hari kita tak bertemu, kau betul-betul mengabaikan makanmu, Laura? Jangan konyol, Laura! Pandai-pandailah mengurus diri, kau ini tinggal di negeri orang. Kau butuh energi buat kuliah dan belajar. Kalau sakit, kau jadi merepotkan teman-temanmu, kan?” oceh Bimo sambil menyuapi Laura makan.“Energiku itu kamu, Om. Tanpamu aku tak bergairah melakukan apapun.”“Laura, kita sudah membicarakan ini. Jelita masih di sini.”Laura menangis dimarahi Bimo. “Aku kangen kamu, Om. Kenapa malam memarahiku?”Bimo menghela napas. Dibelainya wajah tirus Laura. Dia prihatin melihat kacaunya Laura saat ini hanya gara-gara kangen kepadanya.“Baiklah, ayo kita tuntaskan rasa kangenmu itu, tapi setelah ini kamu kudu janji akan merawat diri dan semangat lagi, oke? Kita akan bertemu lagi setelah Jelita kembali ke Jakarta.”Laura menggigit bibir dan tersenyum. Dia mengangguk-angguk dengan mata berbinar-binar. Kehidupan terasa menyinari wajahnya lagi.Bimo kemudian mengunci pintu kamar Laura. Dengan cepat, keduanya saling melepaskan pakaian dan bercinta untuk menuntaskan kerinduan Laura. Padahal, Bimo juga merasakan kerinduan yang sama terhadap Laura. Diam-diam dia juga merindukan penyatuan tubuh mereka. Bimo juga kangen terhadap rasa Laura, rindu membenamkan tubuhnya ke dalam tubuh hangat Laura.Bersama Jelita, Bimo tak bisa melakukan apa-apa. Bimo hanya bisa memandang dan membelainya, tanpa bisa melakukan yang lebih lagi. Membuat kepala Bimo sakit, karena sejak Jelita tinggal di apartemennya selama sepuluh hari ini, gairah paginya tak lagi tersalurkan dengan enak. Padahal biasanya dia dan Laura rutin bercinta setiap pagi. Sejak bersama Jelita, Bimo hanya bisa bermain solo di kamar mandi.Bimo terkejut, ternyata sekali saja bersama Laura tak cukup. Setelah Laura terkapar usai ronde pertama, Bimo masih menginginkannya. Tapi dia tak tega meminta lagi kepada Laura karena gadis itu sedang sakit. Namun, Laura sepertinya bisa memahami Bimo, dia melihat sorot tak puas di mata pria yang dicintainya itu.“Om masih mau lagi?”Bimo membelai wajah Laura. “Tapi, kamu masih sakit dan capek.”“Nggak apa-apa, Om. Lakukan saja.” Laura memeluk Bimo, membelai-belai lembut punggung pria itu. “Aku sayang kamu, Om. Lakukan saja apa yang ingin Om lakukan ke aku. Aku milikmu,” bisik Laura seraya mengecup bibir Bimo dengan lembut.Bimo merasa trenyuh menerima penerimaan Laura dan rasa pengertian gadis ini terhadap kebutuhannya.“Maafin aku, Laura.”“Jangan minta maaf, Om. Lakukan saja, oke?”Keduanya saling tersenyum. Lalu, tak perlu ada kata-kata lagi di antara mereka. Namun, desah kenikmatan mereka yang saling bersahut-sahutan sudah cukup menunjukkan betapa tubuh mereka saling membutuhkan. Saling memberi dan menerima dengan sama-sama bahagia.“Om Bimo ….”“Ohh. Laura ….”Keduanya saling memanggil dan membelai dengan gairah yang kembali berkobar. Bimo dan Laura pun saling memeluk erat ketika badai cinta itu datang menghantam mereka lagi dengan begitu nikmatnya.Puas menyalurkan kerinduannya kepada Laura, Bimo pamit pergi untuk menjemput Jelita. “Jaga dirimu baik-baik, ya? Cepat sembuh, janji?” bisiknya sambil mengecup kening Laura.Laura mengangguk-angguk sambil tersenyum ceria.“Ciee. Udah bisa senyum nih sekarang, mentang-mentang dapat dua ronde,” goda Bimo sambil mencubit ujung hidung Laura yang mancung.“Sudah kubilang kan, Om itu energiku. Bercinta denganmu lebih ampuh menyembuhkanku daripada suntikan obat dari dokter manapun, Om,” sahut Laura sambil membelai wajah Bimo, dia masih berat melepas kepergian pria yang sangat dicintainya ini.Tiba-tiba, ponsel Bimo berdering.“Iya, darling? Oke, tunggu di situ ya, sayangku. Aku akan menjemputmu setelah ini. I love you,” kata Bimo begitu mesra saat menerima telepon dari Jelita.Laura menggigit bibirnya. Dia betul-betul seperti kekasih gelap Bimo sekarang ini.“Baiklah, Laura. Aku pergi dulu, ya.”Laura mengangguk dengan senyum getir. Setelah Bimo meninggalkan kamarnya, Laura kembali menangis. Hatinya sakit sekali, tak rela berbagi Bimo dengan Jelita.***Di sebuah perkampungan pelosok, Nyonya Cindy berdiri di sisi pusara yang telah lama terbengkalai. Saat pertama kali menemukannya dulu, tak lama setelah Marta memberitahukan lokasinya, pusara ini dipenuhi rerumputan dan bunga liar. Namun, kini dia sudah membersihkannya secara rutin, dengan kedua tangannya sendiri. Para asisten yang melihatnya melarang dan ingin membantunya, tetapi dia menolak dengan tegas. Nyonya Cindy menahan rasa sakit yang begitu dalam di hatinya, saat memandangi makam bayinya yang sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu tanpa sepengetahuannya. Air mata membasahi pipinya yang pucat. Tangisnya penuh dengan penyesalan demi penyesalan yang mengalir tanpa henti. "Maafkan Mami, anakku. Maafkan Mami yang baru mengetahui keberadaanmu. Maafkan Mami yang tidak pernah mengunjungimu di sini, karena Mami tidak tahu kamu ada, Nak." Rasa bersalah memenuhi hatinya saat ia menyadari bahwa selama ini dia hidup dalam ketidaktahuan tentang kehilangan yang begitu besar ini. Dia tida
Hartono melangkah dengan berat di antara barisan makam yang sunyi. Udara dingin menyelimuti area pemakaman, menciptakan suasana yang menyedihkan. Tanpa diduga, Hartono melihat dua sosok yang tidak pernah ia harapkan untuk bertemu di tempat seperti ini, mereka adalah Marta dan William.Wajah Hartono seketika membeku, jantungnya berdegup kencang melihat Marta berdiri di depannya. Pikirannya seketika terhenti sejenak, mencoba memproses kejutan yang tak terduga ini. Marta, dia tidak pernah berharap akan melihatnya lagi, apalagi di tempat yang penuh kenangan suram seperti pemakaman ini.Namun, ketika Hartono melihat William di samping Marta, kekagetannya berubah menjadi kebingungan dan takjub yang mendalam. William, anak kandungnya, darah dagingnya bersama Marisa. Hartono tercengang, tidak siap menghadapi William yang berdiri di hadapannya setelah sekian lama tidak bersua.“Om Har, apa kabar?” William menyapa dengan tatapannya yang lembut dan suaranya yang hangat. Dia menjabat tangan Harto
Jelita senang ketika Laura datang mengunjunginya di apartemen Bimo. Kebetulan pagi ini Bimo sedang menghadiri rapat penting di kantornya, sehingga Jelita sendirian dan keberadaan Laura membuatnya tak kesepian. “Jalan-jalan ke luar yuk, Kak? Mumpung cuacanya sedang cerah. Musim semi adalah saat terbaik buat menikmati keindahan kota dengan berjalan kaki,” ajak Laura. Jelita langsung mengangguk setuju. “Oke!” sambutnya antusias. Laura membawa Jelita menjelajahi keindahan taman kota. Langit di pagi itu berwarna biru cerah, dan sinar matahari yang hangat menyoroti taman dengan cahaya emasnya yang memukau. Sinar matahari menerobos melalui pepohonan yang rimbun, menciptakan bayangan yang bermain-main di bawah kaki mereka. Mereka mengikuti jalur pejalan kaki yang teratur dan dihiasi dengan berbagai macam bunga mekar yang indah. Mawar merah yang anggun, bunga matahari yang ceria, dan lavender yang harum, semuanya saling bersaing dalam kecantikannya masing-masing yang mempesona. Aroma semer
“Kau tak mau mampir dulu, Laura?” ajak Jelita saat mereka tiba di depan gedung apartemen Bimo. Laura menggeleng sambil menatap arloji di pergelangan tangannya. “Aku ada janji belajar kelompok dengan teman-temanku siang ini. Mereka bilang sedang menuju apartemenku. Aku harus segera pulang, Kak. Salam buat Om Bimo.”Jelita mengangguk dan memandangi kepergian Laura dengan raut wajah prihatin, dia betul-betul terganggu tentang kondom yang dibeli Laura tadi.Sedangkan Laura tersenyum sinis begitu dia berbalik seraya melangkah pergi menjauhi Jelita. Dia merasakan sedikit kepuasan bisa meluapkan amarahnya kepada Jelita tadi. Sementara itu di apartemen Bimo, Jelita mondar-mandir tak tenang. Dia masih memikirkan Laura, mengkhawatirkannya. Dia menggigit bibir dengan gelisah, memikirkan cara terbaik untuk menegur dan menyadarkannya.“Mungkin …, Bimo bisa membantuku bicara dengan Laura. Kurasa Laura akan mendengarkan Bimo.”Jelita mengangguk yakin. Dia lalu menoleh jam. Bimo bilang akan datang
Bimo memeluknya dan Jelita mengalungkan tangannya di leher Bimo untuk menjaga keseimbangannya agar tak oleng. Jelita bisa merasakan desakan dada Bimo yang bidang di dadanya yang membusung tegang.Ketika lidah mereka bersentuhan, Bimo seperti melahapnya dengan keahliannya yang memabukkan. Sementara tangan Bimo bergerak lembut di punggung Jelita, seperti sedang mempelajari kembali bentuknya yang sudah sangat dia kenal. Satu tangannya menangkup bokong Jelita dan meremasnya pelan. “Darling …,” desah Bimo seraya menggerakkan tangannya yang lain menuju dada Jelita yang menggodanya.Bimo mengurai ciuman mereka, tatapannya kemudian menunduk, memperhatikan apa yang sedang disentuh oleh tangannya. Dia bisa melihat napas Jelita yang turun naik, membuat buah dadanya yang indah turut bergerak-gerak seksi seiring napasnya yang berat namun juga cepat. Bimo tersenyum melihat Jelita tegang dengan wajahnya yang merona merah, wajah cantiknya tampak terbakar gairah yang berhasil dinyalakan dengan sempur
Bimo terkejut melihat Laura muncul di apartemennya pagi-pagi sekali. Sorot matanya penuh keheranan, ia mendesis dengan nada tegas, "Kenapa kamu ke sini, Laura?" Ia mencoba mengusir sebelum Jelita menyadari kedatangannya.Laura, dengan wajah cemberut, menjawab dengan sikap acuh tak acuh, "Mesin pemanas air di apartemenku rusak lagi, Om. Aku mau pinjam kamar mandi biar bisa mandi dengan air hangat. Aku tak mau membeku mandi dengan air sedingin es sepagi ini!”Tak bergeming oleh reaksi dingin Bimo, Laura melangkah santai menuju kamar Jelita. Namun, kaget menyergapnya saat ia menemui pintu kamar itu terkunci. "Kok dikunci?" tanyanya dengan wajah heran. Bimo menghela napas dalam-dalam, Jelita sekarang selalu mengunci pintu kamarnya, wanita itu mengantisipasi dirinya gara-gara dia memaksanya bercinta kemarin malam. "Dia sedang mandi," jawabnya dengan nada kesal.Laura tidak bisa menahan tawa yang meluncur dari bibirnya. Dia melihat kabut siksa di mata Bimo. Dia seperti gembira di atas pend
Nyonya Marta dan William duduk berhadapan di sebuah ruang privat di Restoran Happiness Kitchen. Suasana restoran yang tenang dan romantis dipenuhi dengan aroma lezat dari hidangan di meja mereka. Mereka berdua menikmati hidangan gourmet yang disajikan dengan indah, makanan lezat yang memanjakan lidah mereka. Nyonya Marta duduk dengan tegap, wajahnya penuh kehangatan saat dia membagikan ceritanya kepada William. Dia melihat dengan khawatir saat William terlihat melamun, tatapannya kosong dan terpaku pada pemandangan yang tak terlihat di kejauhan. Suaranya sedikit meninggi, "Will? Kau tak menyimak yang Tante katakan, ya? Apa yang kau pikirkan, hmm?" Nyonya Marta menegurnya dengan lembut, mencoba membangunkan William dari lamunannya yang dalam. William tersentak kembali ke kenyataan dan menyadari ketidaksadaran dirinya, dia terlalu larut dengan pikirannya sendiri. Mata Nyonya Marta yang lembut menatap William dengan kepedulian yang tulus. Dia mengerti ada sesuatu yang membebani pikira
Di tengah suasana ceria dan penuh tawa, Bimo merangkul Jelita di tengah acara barbekyu yang di taman belakang rumah Dimas. Mereka menikmati makanan lezat yang dipanggang di atas bara api, sambil berbagi cerita dan bercanda bersama keluarga Dimas. “Aku senang kamu mau bermalam di rumah kami, Ta? Aku sengaja mengajukan cuti hingga tiga hari ke depan supaya bisa mengajakmu jalan-jalan bersamaku dan anak-anak, sebelum kau kembali ke Jakarta,” kata Barbara dengan senyum di wajahnya. Jelita ikut tersenyum seraya berterima kasih. “Omong-omong, kita rencananya mau berwisata ke mana, Barbara?” “Air terjun Niagara. Bimo belum mengajakmu ke sana, kan? Padahal itu tempat yang harus kau kunjungi mumpung kau di Kanada.” Jelita memekik senang. Ketiga anak-anak Barbara juga ikut bersorak mendengarnya. Meskipun mereka sudah beberapa kali ke sana, tapi mereka tetap senang di ajak ke sana lagi. “Wah! Niagara? Rasanya aku sudah tak sabar!” Mata Jelita berbinar-binar. Lalu dia cemberut dan menyikut p