Jelita senang ketika Laura datang mengunjunginya di apartemen Bimo. Kebetulan pagi ini Bimo sedang menghadiri rapat penting di kantornya, sehingga Jelita sendirian dan keberadaan Laura membuatnya tak kesepian. “Jalan-jalan ke luar yuk, Kak? Mumpung cuacanya sedang cerah. Musim semi adalah saat terbaik buat menikmati keindahan kota dengan berjalan kaki,” ajak Laura. Jelita langsung mengangguk setuju. “Oke!” sambutnya antusias. Laura membawa Jelita menjelajahi keindahan taman kota. Langit di pagi itu berwarna biru cerah, dan sinar matahari yang hangat menyoroti taman dengan cahaya emasnya yang memukau. Sinar matahari menerobos melalui pepohonan yang rimbun, menciptakan bayangan yang bermain-main di bawah kaki mereka. Mereka mengikuti jalur pejalan kaki yang teratur dan dihiasi dengan berbagai macam bunga mekar yang indah. Mawar merah yang anggun, bunga matahari yang ceria, dan lavender yang harum, semuanya saling bersaing dalam kecantikannya masing-masing yang mempesona. Aroma semer
“Kau tak mau mampir dulu, Laura?” ajak Jelita saat mereka tiba di depan gedung apartemen Bimo. Laura menggeleng sambil menatap arloji di pergelangan tangannya. “Aku ada janji belajar kelompok dengan teman-temanku siang ini. Mereka bilang sedang menuju apartemenku. Aku harus segera pulang, Kak. Salam buat Om Bimo.”Jelita mengangguk dan memandangi kepergian Laura dengan raut wajah prihatin, dia betul-betul terganggu tentang kondom yang dibeli Laura tadi.Sedangkan Laura tersenyum sinis begitu dia berbalik seraya melangkah pergi menjauhi Jelita. Dia merasakan sedikit kepuasan bisa meluapkan amarahnya kepada Jelita tadi. Sementara itu di apartemen Bimo, Jelita mondar-mandir tak tenang. Dia masih memikirkan Laura, mengkhawatirkannya. Dia menggigit bibir dengan gelisah, memikirkan cara terbaik untuk menegur dan menyadarkannya.“Mungkin …, Bimo bisa membantuku bicara dengan Laura. Kurasa Laura akan mendengarkan Bimo.”Jelita mengangguk yakin. Dia lalu menoleh jam. Bimo bilang akan datang
Bimo memeluknya dan Jelita mengalungkan tangannya di leher Bimo untuk menjaga keseimbangannya agar tak oleng. Jelita bisa merasakan desakan dada Bimo yang bidang di dadanya yang membusung tegang.Ketika lidah mereka bersentuhan, Bimo seperti melahapnya dengan keahliannya yang memabukkan. Sementara tangan Bimo bergerak lembut di punggung Jelita, seperti sedang mempelajari kembali bentuknya yang sudah sangat dia kenal. Satu tangannya menangkup bokong Jelita dan meremasnya pelan. “Darling …,” desah Bimo seraya menggerakkan tangannya yang lain menuju dada Jelita yang menggodanya.Bimo mengurai ciuman mereka, tatapannya kemudian menunduk, memperhatikan apa yang sedang disentuh oleh tangannya. Dia bisa melihat napas Jelita yang turun naik, membuat buah dadanya yang indah turut bergerak-gerak seksi seiring napasnya yang berat namun juga cepat. Bimo tersenyum melihat Jelita tegang dengan wajahnya yang merona merah, wajah cantiknya tampak terbakar gairah yang berhasil dinyalakan dengan sempur
Bimo terkejut melihat Laura muncul di apartemennya pagi-pagi sekali. Sorot matanya penuh keheranan, ia mendesis dengan nada tegas, "Kenapa kamu ke sini, Laura?" Ia mencoba mengusir sebelum Jelita menyadari kedatangannya.Laura, dengan wajah cemberut, menjawab dengan sikap acuh tak acuh, "Mesin pemanas air di apartemenku rusak lagi, Om. Aku mau pinjam kamar mandi biar bisa mandi dengan air hangat. Aku tak mau membeku mandi dengan air sedingin es sepagi ini!”Tak bergeming oleh reaksi dingin Bimo, Laura melangkah santai menuju kamar Jelita. Namun, kaget menyergapnya saat ia menemui pintu kamar itu terkunci. "Kok dikunci?" tanyanya dengan wajah heran. Bimo menghela napas dalam-dalam, Jelita sekarang selalu mengunci pintu kamarnya, wanita itu mengantisipasi dirinya gara-gara dia memaksanya bercinta kemarin malam. "Dia sedang mandi," jawabnya dengan nada kesal.Laura tidak bisa menahan tawa yang meluncur dari bibirnya. Dia melihat kabut siksa di mata Bimo. Dia seperti gembira di atas pend
Nyonya Marta dan William duduk berhadapan di sebuah ruang privat di Restoran Happiness Kitchen. Suasana restoran yang tenang dan romantis dipenuhi dengan aroma lezat dari hidangan di meja mereka. Mereka berdua menikmati hidangan gourmet yang disajikan dengan indah, makanan lezat yang memanjakan lidah mereka. Nyonya Marta duduk dengan tegap, wajahnya penuh kehangatan saat dia membagikan ceritanya kepada William. Dia melihat dengan khawatir saat William terlihat melamun, tatapannya kosong dan terpaku pada pemandangan yang tak terlihat di kejauhan. Suaranya sedikit meninggi, "Will? Kau tak menyimak yang Tante katakan, ya? Apa yang kau pikirkan, hmm?" Nyonya Marta menegurnya dengan lembut, mencoba membangunkan William dari lamunannya yang dalam. William tersentak kembali ke kenyataan dan menyadari ketidaksadaran dirinya, dia terlalu larut dengan pikirannya sendiri. Mata Nyonya Marta yang lembut menatap William dengan kepedulian yang tulus. Dia mengerti ada sesuatu yang membebani pikira
Di tengah suasana ceria dan penuh tawa, Bimo merangkul Jelita di tengah acara barbekyu yang di taman belakang rumah Dimas. Mereka menikmati makanan lezat yang dipanggang di atas bara api, sambil berbagi cerita dan bercanda bersama keluarga Dimas. “Aku senang kamu mau bermalam di rumah kami, Ta? Aku sengaja mengajukan cuti hingga tiga hari ke depan supaya bisa mengajakmu jalan-jalan bersamaku dan anak-anak, sebelum kau kembali ke Jakarta,” kata Barbara dengan senyum di wajahnya. Jelita ikut tersenyum seraya berterima kasih. “Omong-omong, kita rencananya mau berwisata ke mana, Barbara?” “Air terjun Niagara. Bimo belum mengajakmu ke sana, kan? Padahal itu tempat yang harus kau kunjungi mumpung kau di Kanada.” Jelita memekik senang. Ketiga anak-anak Barbara juga ikut bersorak mendengarnya. Meskipun mereka sudah beberapa kali ke sana, tapi mereka tetap senang di ajak ke sana lagi. “Wah! Niagara? Rasanya aku sudah tak sabar!” Mata Jelita berbinar-binar. Lalu dia cemberut dan menyikut p
Bimo tersenyum menatap Laura yang terbaring di ranjangnya. Bimo sudah sering melihat perempuan-perempuan yang memakai pakaian dalam paling provokatif yang merangsang. Namun di depannya ini adalah pemandangan paling sensual yang pernah dilihatnya. Laura sudah mandi bersih. Dia kini terlihat sangat menggiurkan. Tubuhnya padat berisi di tempat-tempat yang sangat tepat. Dia cantik, juga tampak polos, tapi sekaligus nakal. Bimo akui, Laura memiliki berbagai perpaduan kecantikan yang ia dambakan selama ini. Sementara Laura, tak bisa melepaskan tatapannya dari Bimo yang memiliki vitalitas mengagumkan yang semakin membuatnya kagum sejak pertama kali dia melihatnya dulu. Jantung Laura berdebar kencang, Bimo pria paling sensual yang pernah dia bayangkan dan juga sangat sesuai dengan bayangannya selama ini.“Tunggu sebentar, sayang,” Bimo beranjak bangun dari ranjangnya, menuju lemari, mencari-cari kondom yang disembunyikannya di sana. Namun dia tak juga menemukannya, padahal dia yakin menyimp
Nyonya Marta, dengan hati bergetar, akhirnya membuka semua rahasia yang selama ini tersembunyi. William menelan ludahnya, tercekat mendengar kebenaran yang mengejutkan ini. Air mata tak terbendung membanjiri wajahnya yang mendadak pucat. Semua yang ia yakini tentang identitas dan akar keluarganya terbalik dalam sekejap.William merasakan dunianya runtuh, ia terombang-ambing dalam badai emosi yang tak terkendali. Kehidupannya yang teratur dan penuh kepastian kini terasa hancur berantakan. Ia merasa terhempas dalam kebingungan yang tak terbayangkan, mencoba memahami segala rahasia yang baru saja diungkap Nyonya Marta.Namun di tengah kekacauan emosional yang melanda, cahaya kebenaran tiba-tiba menerobos masuk ke dalam hati William. Sebuah pertanyaan terlintas dalam pikirannya, "Jadi ... aku dan Jelita?" Kata-kata itu terjatuh dari bibirnya, suara yang hampir tak terdengar karena tercekik oleh air mata dan rasa haru yang melumpuhkan.Nyonya Marta menatap William dengan penuh kasih sayang