Share

173. Keinginan Malik

Di sebuah perkampungan pelosok, Nyonya Cindy berdiri di sisi pusara yang telah lama terbengkalai. Saat pertama kali menemukannya dulu, tak lama setelah Marta memberitahukan lokasinya, pusara ini dipenuhi rerumputan dan bunga liar. Namun, kini dia sudah membersihkannya secara rutin, dengan kedua tangannya sendiri. Para asisten yang melihatnya melarang dan ingin membantunya, tetapi dia menolak dengan tegas.

Nyonya Cindy menahan rasa sakit yang begitu dalam di hatinya, saat memandangi makam bayinya yang sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu tanpa sepengetahuannya. Air mata membasahi pipinya yang pucat. Tangisnya penuh dengan penyesalan demi penyesalan yang mengalir tanpa henti.

"Maafkan Mami, anakku. Maafkan Mami yang baru mengetahui keberadaanmu. Maafkan Mami yang tidak pernah mengunjungimu di sini, karena Mami tidak tahu kamu ada, Nak."

Rasa bersalah memenuhi hatinya saat ia menyadari bahwa selama ini dia hidup dalam ketidaktahuan tentang kehilangan yang begitu besar ini. Dia tidak pernah tahu bahwa bayi yang dilahirkannya dan meninggal itu telah digantikan dengan William, anak Marisa yang selama ini dikira anak kandungnya sendiri.

"Anakku, maafkan Mami yang tidak pernah memberikanmu cinta dan perhatian yang pantas. Maafkan Mami yang terlena oleh rasa bahagia bersama William, tanpa menyadari bahwa kau telah dirampas dariku."

Dia mencium lembut nama ‘Ananda’, bayinya, yang terukir di batu nisan. Lalu dia menyeka air matanya. Nyonya Cindy merasakan patah hati yang tak terucapkan dan kekosongan yang melingkupi dirinya selama ini.

"Mami berjanji, anakku, meskipun terlambat. Mami akan menghormati dan mengenangmu dengan baik. Kehadiranmu dalam hidup Mami akan selalu memiliki tempat yang istimewa."

Nyonya Cindy menghabiskan beberapa saat di samping pusara Ananda, puteranya yang telah tiada, membiarkan kesedihan dan penyesalan menyeruak dari hatinya yang remuk. Dia berdoa untuk anaknya yang telah pergi, berharap Ananda merasa dicintai dan dirindukan, serta mendapat tempat yang lebih baik di surga.

Dalam keheningan dan kepedihan, Nyonya Cindy meninggalkan tempat itu dengan hati yang terbebani sesal tak terlukiskan.

Esoknya, Nyonya Cindy pergi ke Karawang, Jawa Barat. Nyonya Cindy merasa hatinya hancur dan penuh dengan rasa sakit ketika dia tiba di sebuah pemakaman elit, ‘San Diego Hills Memorial Park and Funeral Homes’, tempat di mana Malik Subrata dikebumikan.

Tempat ini, kontras dengan kondisi pusara Ananda yang terbengkalai, pusara Malik Subrata terlihat indah dan terawat baik. Tiba-tiba dia merasakan kekejaman suaminya yang tak terduga dan merasa ditipu sepanjang hidupnya.

"Aku tak pernah menyangka bahwa kau sekejam ini, Malik. Kau telah menipu dan membohongiku sampai akhir hayatmu."

Air matanya mengalir deras saat dia merenungkan tentang kebohongan besar Malik Subrata. “Kupikir, selingkuh dengan Mala adalah kebohongan terbesarmu. Tak kusangka, kau memukulku dengan cara yang lebih kejam lagi dengan menukar bayi kita yang telah meninggal dengan William. Apapun alasanmu, tega sekali kau?”

Dia merasa urusannya dengan suaminya ini masih belum selesai, sayangnya Malik Subrata telah meninggal. Mau tak mau, Nyonya Cindy merasa dia harus mencapai ketenangan dan ikhlas dalam hatinya dengan memaafkan suaminya.

"Tidakkah kau memiliki belas kasihan terhadap bayi kita yang telah meninggal, Malik? Bisa-bisanya kau menguburkannya di tempat yang tak layak dan terpelosok seperti itu!”

Nyonya Cindy menangis tersedu-sedu, terguncang oleh rasa sakit yang tak terkira. Tanpa disadari, di belakangnya, ada sosok Deni Subrata. Hari itu adalah ulang tahun Malik Subrata, Deni ingin mengunjungi adiknya dengan membawa bunga.

Mendengar semua ucapan Nyonya Cindy tadi, Deni Subrata terbelalak tak percaya.

"Apa maksud ucapanmu, Cindy? Apa yang kau katakan tadi? William bukan anak kandungmu dengan Malik?"

Cindy terkejut dan membalikkan badannya. Dia melihat ekspresi kejutan yang luar biasa di mata Deni.

"Bang Deni? Kau? Kau tidak tahu tentang ini, Bang? Sungguh? Bah! Jangan pura-pura di depanku, Bang! Aku tahu kau jago akting! Kau pasti tahu, adikmu telah menukar bayiku dengan William!” tuduh Nyonya Cindy.

“Buat apa aku melakukan itu! Tak ada untungnya bagiku!” sanggah Deni Subrata.

“Tentu saja ada untungnya! Hartaku, itu kan yang kalian incar? Dengan memiliki anak denganku, maka Malik akan mendapatkan kemurahan hatiku, demi kelancaran bisnis kalian di bidang retail kala itu. Karena saat itu aku sedang berada di puncak kejayaanku. Supermarket keluarga Subrata di Jakarta, itu dulu berdiri berkat dukunganku, bukan?”

Deni, bingung dengan apa yang baru saja dia dengar, dia betul-betul tidak tahu tentang rahasia ini. Tapi, Nyonya Cindy mengira Deni Subrata sudah tahu semua ini sebelumnya.

“Aku tidak tahu tentang itu, Cindy!”

“Bohong! Setelah aku tak berguna lagi, kau ingin menyingkirkan aku … dengan cara menyuruh orang untuk memasang bom di mobilku, iya kan? Tapi ternyata senjata kalian makan tuan, mobil itu justru meledak saat Malik, adikmu sendiri, memakainya!”

Deni Subrata seketika tegang. Wajahnya memerah. Tangannya terkepal. “K-kau …! Keterlaluan menuduhku, Cindy!” bentaknya betul-betul murka.

Deni akui jika dirinya memang suka mengancam, ambisius, tamak, dan egois. Dia tidak menyukai Cindy, tapi dia tak pernah berpikir ingin membunuhnya lewat bom mobil itu.

“Kalau bukan kau? Siapa lagi, hah?” Nyonya Cindy terengah-engah menahan emosi.

“Aku tidak tahu!” bantah Deni Subrata.

"Aku pikir … kau membenci William karena kau sudah tahu bahwa dia bukan keponakan kandungmu, Bang. Kupikir seorang Deni Subrata tahu segalanya. Ternyata? Kau … benar-benar tidak tahu? Bah. Lucu sekali!" Nyonya Cindy tertawa dengan nada meledek.

Nyonya Cindy menatap Deni dengan sorot mencibir. “Jangan berpura-pura lagi, Bang! Aku tahu kaulah yang menyuruh orang untuk membunuhku!”

“Cindy! Jaga mulutmu!” bentak Deni.

Mereka saling menatap, ketegangan melingkupi keduanya. Deni dan Cindy sama-sama berada di titik puncak emosional mereka.

“Irwan! Dialah pelakunya, bukan keluarga Subrata.”

Keduanya sama-sama menoleh ketika seseorang bersuara. Mereka terkejut melihat Hartono berdiri di belakang mereka dengan membawa buket bunga di tangannya. Hari ini Hartono juga datang untuk menengok Malik di hari ulang tahunnya. Pria itu sepertinya juga ingin menyapa sahabatnya yang telah tiada. Pertemuan ketiga orang itu seperti reuni kecil yang tak terduga dan tak diharapkan.

“Har?” desah Nyonya Cindy tak percaya melihat sosok yang pernah menjadi suaminya. Pria itu masih tetap tampan dan gagah seperti dulu. Rambutnya telah memutih, namun justru menambah kharisma dalam dirinya.

“K-kau?” Deni Subrata terkejut melihat orang itu masih hidup. Deni pernah mengirim pembunuh bayaran untuk menghabisinya karena Hartono telah membocorkan data penting perusahaannya kepada kompetitor.

“Aku sudah menyelidikinya. Irwan sangat membencimu, Cindy. Dia lelah kau jadikan bonekanya. Kau telah merebut kemerdekaan hidupnya dengan memaksanya menikahi Mala, wanita yang saat itu tengah mengandung Jelita, anaknya Malik,” ujar Hartono sambil memandangi Nyonya Cindy lekat-lekat.

Hartono kemudian tertawa lirih sambil geleng-geleng kepala memandangi Nyonya Cindy yang kini sepucat kertas. “Bahkan pada akhirnya, kau jugalah yang mengirim pembunuh bayaran untuk menghabisi Irwan saat dia menjadi buron, bukan? Kau menyogok petugas agar mengatakan dia mati bunuh diri, kau membayar mereka agar memanipulasi hasil autopsi,” pungkasnya.

Nyonya Cindy memucat. “Bagaimana kau tahu, bahwa Irwan yang ingin membunuhku? Dan … kau tak bisa menuduhku membunuh Irwan tanpa bukti, Har!”

Hartono tertawa lagi. Tentu saja dia tak omong kosong. “Pembunuh bayaranmu ternyata pernah menjadi anak buahku, Cindy. Dia sudah membeberkan segalanya padaku. Aku menyimpan semua bukti komunikasi kalian. Petugas yang kau sogok juga sudah mengaku. Apa kau mau dengar rekamannya?” Hartono berkata sambil mengedipkan sebelah matanya.

Nyonya Cindy menggelengkan kepalanya keras-keras. “A-aku … melakukannya … untuk membela harga diri Jelita! Irwan menjadi buron karena berniat memperkosa Jelita. Bagaimanapun, Jelita anaknya Malik. Aku ingin melindungi harga dirinya!” serunya dengan napas terengah-engah, dilanda sesak dan panik.

Hartono terkekeh dan geleng-geleng kepala. “Sungguh? Wah. Kau murah hati sekali? Bukannya kau ingin membunuh Irwan karena takut dia bakal membuka mulutnya pada semua orang bahwa Jelita adalah anaknya Malik, … suamimu yang terkenal bersih dan tak neko-neko itu? Kau hanya ingin melindungi harga dirimu sendiri, bukan? Kau melakukannya karena tak ingin orang-orang tahu skandal yang pernah terjadi dalam rumah tanggamu bersama Malik!”

Nyonya Cindy kian gemetar. Dia terduduk lemas di hadapan pusara Malik. Dia kemudian menangis sejadi-jadinya, menjerit-jerit frustrasi. Egonya yang setinggi gunung dibombardir habis oleh Hartono tanpa ampun.

Sedangkan Deni Subrata memijiti keningnya yang berkerut-kerut pusing. Dia sudah menduga jika bom mobil itu memang untuk Cindy, tapi dia tak mengira jika ternyata pelakunya adalah orang dekat Cindy sendiri.

Deni Subrata kemudian memandangi pusara Malik, adiknya, dengan tatapan iba. Dia menghela napas dalam-dalam, turut menyesal. Perilaku buruk adiknya di masa lalu yang mulai terbongkar telah meninggalkan banyak kekacauan yang tak terhindarkan.

“Oya. Perlu kalian tahu, Malik sendiri yang bilang padaku …,” kata Hartono sambil menunduk dan meletakkan buket bunganya di atas pusara Malik. Setelah dia kembali tegak berdiri, dia berkata lagi, “Mala, memang simpanan Malik, tapi dia bukan pelacur. Kehamilan Mala bukanlah sebuah ketidaksengajaan, memiliki anak yang cantik jelita memanglah keinginan Malik. Karena itulah Mala memberinya nama ... Jelita!" tegasnya sebelum berlalu pergi.

***

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Yulia Yanti
Langsung di share aja kak sisa babnya, lebih enak bacanya
goodnovel comment avatar
Indy Shinta
Bab ini juga gratis ya, teman-teman. Keep enjoy :) Love sekebon buat kalian semua!
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status