Bimo terkejut melihat Laura muncul di apartemennya pagi-pagi sekali. Sorot matanya penuh keheranan, ia mendesis dengan nada tegas, "Kenapa kamu ke sini, Laura?" Ia mencoba mengusir sebelum Jelita menyadari kedatangannya.Laura, dengan wajah cemberut, menjawab dengan sikap acuh tak acuh, "Mesin pemanas air di apartemenku rusak lagi, Om. Aku mau pinjam kamar mandi biar bisa mandi dengan air hangat. Aku tak mau membeku mandi dengan air sedingin es sepagi ini!”Tak bergeming oleh reaksi dingin Bimo, Laura melangkah santai menuju kamar Jelita. Namun, kaget menyergapnya saat ia menemui pintu kamar itu terkunci. "Kok dikunci?" tanyanya dengan wajah heran. Bimo menghela napas dalam-dalam, Jelita sekarang selalu mengunci pintu kamarnya, wanita itu mengantisipasi dirinya gara-gara dia memaksanya bercinta kemarin malam. "Dia sedang mandi," jawabnya dengan nada kesal.Laura tidak bisa menahan tawa yang meluncur dari bibirnya. Dia melihat kabut siksa di mata Bimo. Dia seperti gembira di atas pend
Nyonya Marta dan William duduk berhadapan di sebuah ruang privat di Restoran Happiness Kitchen. Suasana restoran yang tenang dan romantis dipenuhi dengan aroma lezat dari hidangan di meja mereka. Mereka berdua menikmati hidangan gourmet yang disajikan dengan indah, makanan lezat yang memanjakan lidah mereka. Nyonya Marta duduk dengan tegap, wajahnya penuh kehangatan saat dia membagikan ceritanya kepada William. Dia melihat dengan khawatir saat William terlihat melamun, tatapannya kosong dan terpaku pada pemandangan yang tak terlihat di kejauhan. Suaranya sedikit meninggi, "Will? Kau tak menyimak yang Tante katakan, ya? Apa yang kau pikirkan, hmm?" Nyonya Marta menegurnya dengan lembut, mencoba membangunkan William dari lamunannya yang dalam. William tersentak kembali ke kenyataan dan menyadari ketidaksadaran dirinya, dia terlalu larut dengan pikirannya sendiri. Mata Nyonya Marta yang lembut menatap William dengan kepedulian yang tulus. Dia mengerti ada sesuatu yang membebani pikira
Di tengah suasana ceria dan penuh tawa, Bimo merangkul Jelita di tengah acara barbekyu yang di taman belakang rumah Dimas. Mereka menikmati makanan lezat yang dipanggang di atas bara api, sambil berbagi cerita dan bercanda bersama keluarga Dimas. “Aku senang kamu mau bermalam di rumah kami, Ta? Aku sengaja mengajukan cuti hingga tiga hari ke depan supaya bisa mengajakmu jalan-jalan bersamaku dan anak-anak, sebelum kau kembali ke Jakarta,” kata Barbara dengan senyum di wajahnya. Jelita ikut tersenyum seraya berterima kasih. “Omong-omong, kita rencananya mau berwisata ke mana, Barbara?” “Air terjun Niagara. Bimo belum mengajakmu ke sana, kan? Padahal itu tempat yang harus kau kunjungi mumpung kau di Kanada.” Jelita memekik senang. Ketiga anak-anak Barbara juga ikut bersorak mendengarnya. Meskipun mereka sudah beberapa kali ke sana, tapi mereka tetap senang di ajak ke sana lagi. “Wah! Niagara? Rasanya aku sudah tak sabar!” Mata Jelita berbinar-binar. Lalu dia cemberut dan menyikut p
Bimo tersenyum menatap Laura yang terbaring di ranjangnya. Bimo sudah sering melihat perempuan-perempuan yang memakai pakaian dalam paling provokatif yang merangsang. Namun di depannya ini adalah pemandangan paling sensual yang pernah dilihatnya. Laura sudah mandi bersih. Dia kini terlihat sangat menggiurkan. Tubuhnya padat berisi di tempat-tempat yang sangat tepat. Dia cantik, juga tampak polos, tapi sekaligus nakal. Bimo akui, Laura memiliki berbagai perpaduan kecantikan yang ia dambakan selama ini. Sementara Laura, tak bisa melepaskan tatapannya dari Bimo yang memiliki vitalitas mengagumkan yang semakin membuatnya kagum sejak pertama kali dia melihatnya dulu. Jantung Laura berdebar kencang, Bimo pria paling sensual yang pernah dia bayangkan dan juga sangat sesuai dengan bayangannya selama ini.“Tunggu sebentar, sayang,” Bimo beranjak bangun dari ranjangnya, menuju lemari, mencari-cari kondom yang disembunyikannya di sana. Namun dia tak juga menemukannya, padahal dia yakin menyimp
Nyonya Marta, dengan hati bergetar, akhirnya membuka semua rahasia yang selama ini tersembunyi. William menelan ludahnya, tercekat mendengar kebenaran yang mengejutkan ini. Air mata tak terbendung membanjiri wajahnya yang mendadak pucat. Semua yang ia yakini tentang identitas dan akar keluarganya terbalik dalam sekejap.William merasakan dunianya runtuh, ia terombang-ambing dalam badai emosi yang tak terkendali. Kehidupannya yang teratur dan penuh kepastian kini terasa hancur berantakan. Ia merasa terhempas dalam kebingungan yang tak terbayangkan, mencoba memahami segala rahasia yang baru saja diungkap Nyonya Marta.Namun di tengah kekacauan emosional yang melanda, cahaya kebenaran tiba-tiba menerobos masuk ke dalam hati William. Sebuah pertanyaan terlintas dalam pikirannya, "Jadi ... aku dan Jelita?" Kata-kata itu terjatuh dari bibirnya, suara yang hampir tak terdengar karena tercekik oleh air mata dan rasa haru yang melumpuhkan.Nyonya Marta menatap William dengan penuh kasih sayang
Sam sedang datang berkunjung ke Surabaya. “Ayah, aku akan ke Amerika. Ada urusan yang harus kuselesaikan,” katanya berpamitan.Hartono menghela napas. Setelah mengetahui bahwa puteranya ini ternyata sosok pembunuh bayaran yang terkenal dengan julukan ‘John Wick’, dia baru menyadari kebiasaan puteranya ini. Setiap kali Sam berpamitan, artinya dia sedang bersiap menghadapi misi yang sulit dan mempertaruhkan nyawanya. Hartono memandangi Sam dengan tatapan berat. Meskipun selama ini Sam selalu kembali kepadanya dalam keadaan sehat dan selamat, namun bagaimana dengan esok dan nanti?Hartono menghela napas dalam-dalam, mencoba menguatkan hati di tengah rasa cemas yang memenuhi dirinya. Dia tahu Sam seorang profesional yang terlatih dengan baik, tetapi risiko tetap ada. Hidup Sam dipenuhi dengan kegelapan dan bahaya yang mungkin sulit dipahami oleh orang lain.Dalam keputusasaan yang tersembunyi di hatinya, Hartono berusaha memahami pilihan hidup yang telah diambil oleh puteranya. Dia beru
Di atas jembatan yang mengarah ke pusat air terjun Niagara, Jelita berdiri, membiarkan kabut lembut menyapu wajahnya. Dia merasakan tetes-tetes embun mengusap pipinya seperti kecupan penuh kasih. Sesaat, pikirannya terlempar ke masa lalu, mengenang kenangan bahagia yang pernah ia jalani bersama Bimo.Namun, Jelita segera memaksakan dirinya untuk fokus pada keindahan yang ada di hadapannya. Dia menatap air terjun dengan takjub, melihat bagaimana air jatuh dengan kekuatan yang dahsyat, namun tetap menari dengan kelembutan di bawah sinar matahari yang redup.Air terjun bagai menyirami kepedihan dalam hatinya, Jelita mengembuskan napas panjang, membebaskan beban emosional yang mengikatnya. Meskipun patah hati, dia meyakinkan dirinya berhak menikmati keindahan yang ada di sekitarnya.Jelita menuruni anak tangga curam yang mengarah ke dekat air terjun, berjalan melalui jalan setapak yang dikelilingi hijaunya pepohonan. Setiap langkah membawanya lebih dekat dengan keajaiban air terjun itu.A
William memandangi wajah Jelita yang cantik namun bersimbah air mata. Dalam tatapannya, dia melihat kepedihan yang begitu dalam, dia bisa turut merasakan luka Jelita yang menyayat hatinya. Dalam dadanya berkecamuk antara rasa marah, cemas, dan cinta. Dia ingin menjaga Jelita, ingin melindunginya dari luka yang tengah membelenggunya. "Kenapa kau sesedih ini, Ta?" William berkata dengan alunan nada yang terasa menenangkan, sambil membelai pipi Jelita dan mengusap air mata yang mengalir. Suara William penuh perhatian dan kehangatan, mencoba meredakan kegelisahan yang menyelimuti Jelita. "Aku melihatmu sedih dan menangis terus sejak tadi, apa yang menyakitimu, hmm?" Jelita mencoba menahan tangisnya, tetapi luka yang terpendam dalam hatinya menjadi terlalu berat. Dia memandang William dengan sorot penuh keputusasaan. "Aku … akan menikah dengan Bimo …, kami sudah meraih restu orang tuanya," ucapnya dengan suara serak. Bibir Jelita bergetar, seakan tidak mampu mengucapkan kata-kata selanjut