Sam sedang datang berkunjung ke Surabaya. “Ayah, aku akan ke Amerika. Ada urusan yang harus kuselesaikan,” katanya berpamitan.Hartono menghela napas. Setelah mengetahui bahwa puteranya ini ternyata sosok pembunuh bayaran yang terkenal dengan julukan ‘John Wick’, dia baru menyadari kebiasaan puteranya ini. Setiap kali Sam berpamitan, artinya dia sedang bersiap menghadapi misi yang sulit dan mempertaruhkan nyawanya. Hartono memandangi Sam dengan tatapan berat. Meskipun selama ini Sam selalu kembali kepadanya dalam keadaan sehat dan selamat, namun bagaimana dengan esok dan nanti?Hartono menghela napas dalam-dalam, mencoba menguatkan hati di tengah rasa cemas yang memenuhi dirinya. Dia tahu Sam seorang profesional yang terlatih dengan baik, tetapi risiko tetap ada. Hidup Sam dipenuhi dengan kegelapan dan bahaya yang mungkin sulit dipahami oleh orang lain.Dalam keputusasaan yang tersembunyi di hatinya, Hartono berusaha memahami pilihan hidup yang telah diambil oleh puteranya. Dia beru
Di atas jembatan yang mengarah ke pusat air terjun Niagara, Jelita berdiri, membiarkan kabut lembut menyapu wajahnya. Dia merasakan tetes-tetes embun mengusap pipinya seperti kecupan penuh kasih. Sesaat, pikirannya terlempar ke masa lalu, mengenang kenangan bahagia yang pernah ia jalani bersama Bimo.Namun, Jelita segera memaksakan dirinya untuk fokus pada keindahan yang ada di hadapannya. Dia menatap air terjun dengan takjub, melihat bagaimana air jatuh dengan kekuatan yang dahsyat, namun tetap menari dengan kelembutan di bawah sinar matahari yang redup.Air terjun bagai menyirami kepedihan dalam hatinya, Jelita mengembuskan napas panjang, membebaskan beban emosional yang mengikatnya. Meskipun patah hati, dia meyakinkan dirinya berhak menikmati keindahan yang ada di sekitarnya.Jelita menuruni anak tangga curam yang mengarah ke dekat air terjun, berjalan melalui jalan setapak yang dikelilingi hijaunya pepohonan. Setiap langkah membawanya lebih dekat dengan keajaiban air terjun itu.A
William memandangi wajah Jelita yang cantik namun bersimbah air mata. Dalam tatapannya, dia melihat kepedihan yang begitu dalam, dia bisa turut merasakan luka Jelita yang menyayat hatinya. Dalam dadanya berkecamuk antara rasa marah, cemas, dan cinta. Dia ingin menjaga Jelita, ingin melindunginya dari luka yang tengah membelenggunya. "Kenapa kau sesedih ini, Ta?" William berkata dengan alunan nada yang terasa menenangkan, sambil membelai pipi Jelita dan mengusap air mata yang mengalir. Suara William penuh perhatian dan kehangatan, mencoba meredakan kegelisahan yang menyelimuti Jelita. "Aku melihatmu sedih dan menangis terus sejak tadi, apa yang menyakitimu, hmm?" Jelita mencoba menahan tangisnya, tetapi luka yang terpendam dalam hatinya menjadi terlalu berat. Dia memandang William dengan sorot penuh keputusasaan. "Aku … akan menikah dengan Bimo …, kami sudah meraih restu orang tuanya," ucapnya dengan suara serak. Bibir Jelita bergetar, seakan tidak mampu mengucapkan kata-kata selanjut
William rupanya menginap di hotel yang sama dengan Jelita. Mereka kembali ke hotel setelah puas jalan-jalan di Niagara on the Lake.Jelita terkejut ketika William membereskan barang-barang pribadi Jelita dan memasukkannya ke dalam kopor. “Ayo, pindah ke kamarku. Di sana ruangannya lebih luas, terlalu luas untuk kutempati sendirian.”Jelita jadi gugup membayangkan mereka akan tinggal di kamar yang sama. "Bang, haruskah kita … tinggal di kamar yang sama?” tanyanya ragu, rasa canggung memenuhi pikirannya.Tetapi William, tanpa mengindahkan kekhawatiran yang terpancar di mata Jelita, dengan tegas menjawab, "Aku ingin mengobrol denganmu sepanjang malam, hingga kita tertidur lelap. Aku merindukan semua ceritamu, keluh kesahmu. Dan keesokan paginya, aku ingin melihat wajahmulah yang kulihat pertama kali begitu aku membuka mata.” William kemudian mencubit hidung mancung Jelita dengan gemas. Sorot kegelisahan di mata Jelita terusir dengan kelucuan yang terbawa oleh senyum William. Tawa merek
Setelah mereka selesai menikmati petualangan wisata helikopter di Niagara, William membawa Jelita melanjutkan petualangan mereka ke Skylon Tower. Mereka tiba di menara yang menjulang setinggi 236 meter dengan penuh antusiasme.Mengikuti petunjuk yang jelas, mereka naik lift menuju observatorium di puncak menara. Saat pintu lift terbuka, Jelita dan William disambut dengan pemandangan yang menakjubkan. Dari ketinggian itu, mereka bisa melihat panorama luas air terjun Niagara yang megah, danau Ontario yang mempesona, serta kota dengan bangunan-bangunan yang menjulang tinggi.Jelita terpesona keindahan alam yang ada di hadapannya. Dia dan William berjalan-jalan di sekitar observatorium, menikmati setiap sudut pemandangan yang menakjubkan. Cahaya matahari yang cerah membuat air terjun berkilau dan memantulkan warna-warni pelangi yang indah.Mereka menemukan tempat duduk di sudut observatorium, dan dengan senyuman saling berpegangan tangan. Mereka mengamati keindahan alam yang luar biasa, d
Di hari Sabtu yang cerah, matahari pagi menyinari pasir putih yang halus, menciptakan pantulan cahaya yang mempesona di permukaan air biru yang tenang. Ombak yang lembut bergulung ke tepi pantai dengan gemulai, menciptakan suara yang menenangkan. Angin sepoi-sepoi bertiup lembut, membawa aroma laut yang segar. Pantai yang indah dan romantis itu, menciptakan latar belakang yang sempurna untuk sebuah momen besar, istimewa, dan bersejarah. Dalam balutan pengantin yang eksklusif, William dan Jelita tampak mempesona dan sepadan. Gaun pengantin Jelita begitu anggun, detail rendanya sungguh halus dan kerapiannya amatlah memikat. Sementara itu, William terlihat tampan dengan setelan jas yang sempurna, menampilkan elegansi dan keanggunan. Saat pasangan itu berdiri di pelaminan, semua tamu terpukau akan keindahan dan kesempurnaan mereka. Suasana menjadi khidmat saat mereka saling berjanji setia dan berkomitmen satu sama lain dalam ikatan pernikahan. Sentuhan kehangatan dan cinta antara Willia
Pada suatu pagi yang cerah, suasana di ruang tengah rumah Nyonya Puspa terasa riuh dengan obrolan hangat antara Nyonya Puspa dan teman-teman arisan sosialitanya. Cerita tentang kehidupan mereka yang penuh warna selalu menjadi topik menarik dalam pertemuan-pertemuan mereka. Namun, kali ini, sorotan terutama tertuju pada salah satu anggota arisan, Jelita, calon menantu dari Nyonya Puspa. "Dengarlah, Jeng, calon menantu saya itu juga sedang membangun gedung Happines Kitchen yang baru di Surabaya dan Bali loh," cerita Nyonya Puspa dengan wajah berbinar. "Nanti kalian semua pasti saya undang saat grand openingnya!" Teman-teman arisan yang duduk di sekitar Nyonya Puspa pun tampak terkesan. Mereka serentak memberikan ucapan selamat dan pujian untuk Jelita. Melihat kesuksesan bisnis Jelita yang semakin berkembang, Nyonya Puspa merasa dia juga turut bagian dari kebahagiaan dan kesuksesan calon menantunya itu. Seolah-olah sejak awal dialah yang selalu mendukung dan memberikan semangat pada Je
Bimo merasa kesalahannya semakin membelenggu dirinya ketika Jelita mengirimkan kembali pesan dan video dari Laura kepadanya. Rasa malu yang menyergapnya begitu mendalam, membuat hatinya terasa hancur. Dia menyesali perbuatannya dan menyadari betapa ia telah mengkhianati kepercayaan Jelita. Membuka pesan dan melihat video itu seperti menyaksikan film horor yang menyiksa hati Bimo. Hatinya berdesir dan perasaan malu semakin dalam. Ia menarik napas dalam-dalam untuk menahan deru rasa sesak yang mengisi dadanya. Ternyata Laura yang telah mengundang Jelita datang ke apartemennya lewat pesan dan video itu. Kini, semua terang benderang di mata Bimo. Permainan berbahaya yang ia lakukan bersama Laura telah membawanya pada ambang kehancuran. Sekarang, pesan dan video itu menjadi saksi bisu atas segala kebohongan dan pengkhianatannya. Jelita telah menyaksikan langsung perbuatan Bimo yang tak bisa diampuni lagi. Pada detik itu juga, hubungan mereka seperti kastil pasir yang hancur oleh hembus