Jelita merasa cemas saat Bimo mengajaknya ke rumah Dimas. Dia bilang ada orang tuanya di sana yang baru datang kemarin dari Malang. “Mungkin ini saatnya kita memohon restu mereka lagi, Ta. Kamu siap?” Bimo tersenyum sambil membelai wajah kekasihnya yang tegang.
Jelita mengangguk.Bimo tersenyum melihat ketegangan di wajah cantik itu. “Sayangku, dengan atau tanpa restu mereka, aku akan tetap menikahimu.” Dia menggenggam erat-erat tangan Jelita.Mereka tiba di halaman rumah Dimas. Jelita semakin tegang. Bimo menggenggam erat-erat tangan Jelita yang terasa dingin. Sebelumnya, Tuan Hari dan Nyonya Puspa tidak pernah menyukai Jelita, dan itu membuatnya gelisah. Namun, dia berusaha sekuat tenaga untuk mempersiapkan hatinya setegar mungkin.Ketika mereka tiba di rumah Dimas, suasana terasa ramah. Jelita terkejut melihat perubahan sikap yang begitu besar dari orangtua Bimo. Tuan Hari tersenyum dan menyapa Jelita dengan hangat, "Selamat datang, Jelita. Kami senang bisa bertemu denganmu."Nyonya Puspa, yang biasanya dingin dan kaku, juga tersenyum lembut. "Halo, Jelita? Wah, kamu semakin cantik saja? Senang bisa bertemu dan melihatmu lagi.”Jelita terkejut, tetapi senang dengan perubahan ini. "Terima kasih, Tuan Hari dan Nyonya Puspa. Saya juga senang bertemu kalian.”“Kami ini ayah dan ibunya Bimo, kenapa kamu memanggil kami dengan sebutan tuan dan nyonya segala, sih? Panggil juga kami ayah dan ibu, sama seperti Bimo memanggil kami,” kata Nyonya Puspa.Bimo dan Jelita saling menoleh, keterkejutan tergambar jelas di wajah mereka. Pada detik itu juga Bimo memeluk ibunya dan menangis, haru dan bahagia menyentak seluruh perasaannya. Akhirnya, setelah perjuangan panjang, orang tuanya merestui juga hubungannya dengan Jelita. “Ayah dan Ibu setuju jika aku menikah dengan Jelita?” tanyanya tak percaya, dia memandangi ayah dan ibunya secara bergantian.Nyonya Puspa dan Tuan Hari tersenyum dan mengangguk-angguk, menambah derasnya air mata Bimo.Nyonya Puspa kemudian memeluk Jelita. “Maafkan sikap kami yang dulu ya, Jelita.”Jelita mengangguk dan menangis haru. Kelegaan membanjiri perasaannya. Dia yakin suatu saat orangtua Bimo bakal menerimanya, namun dia tak mengira akan secepat ini. Dia bersyukur sekali atas anugerah ini. Akhirnya dia diterima, diakui, dihargai.Dimas dan Barbara, istri Dimas, memasuki ruangan dengan penuh kegembiraan. Mereka berdua menyambut Jelita dengan hangat. Barbara melihat bungkusan oleh-oleh di tangan Jelita. Ketika Jelita menyerahkannya, dia tersenyum, "Oh, kamu membawa oleh-oleh untuk kami? Apa ini ya?" tanyanya dengan bahasa Inggris karena tahu Jelita tak bisa berbahasa Perancis."Ini aneka sambal buatan saya, menu khas Happiness Kitchen. Semoga kalian menyukainya."“Ah, iya. Aku sudah dengar tentang Happines Kitchen. Aku melihat banyak ulasan positif tentang bisnis kulinermu itu, Jelita. Keren sekali. Wow, aku tak mengira bakal mencicipi sambal spesial buatanmu, Jelita. Terima kasih, ya!” puji Barbara."Wah, terima kasih, Jelita. Kami pasti akan menikmatinya. Kami suka sekali sambal. Kamu sungguh perhatian.” Dimas ikut menyahut.Bimo tersenyum melihat keakraban yang cepat terjalin antara Jelita dengan keluarganya. Dia bahagia sekali. Jelita luwes berinteraksi dengan Barbara dan ibunya. Mereka bertiga bekerja sama di dapur. Ibunya tampak antusias menanyai Jelita tentang berbagai resep masakan yang belum tentu dieksekusinya saat di rumah nanti.Namun, itu pertanda baik. Artinya ibunya benar-benar sudah terbuka terhadap Jelita. Sebab ibunya tampak menunjukkan minatnya dalam bidang kuliner, berusaha menyamakan minatnya dengan Jelita, padahal selama ini ibunya itu acuh tak acuh tentang urusan dapur yang sepenuhnya menjadi urusan pembantu mereka.Suasana di rumah Dimas terasa hidup dengan tawa dan obrolan ceria yang mengisi udara. Sementara di dapur, Jelita dengan senang hati membantu Barbara menyiapkan hidangan spesial untuk merayakan momen istimewa ini.“Jelita. Mari kita buat grilled salmon. Aku sudah menyiapkan bahan-bahannya,” kata Barbara dengan antusias. Namun pada akhirnya, Jelita mengambil alih semua urusan memasak karena Barbara sibuk menata meja dan mempersiapkan semua peralatan makan.Aroma menggoda dari ikan salmon yang dipanggang secara perlahan-lahan menyebar ke seluruh rumah. Bau harum itu membuat semua anggota keluarga semakin tidak sabar untuk mencicipi hidangan lezat yang dipersiapkan Jelita dengan penuh cinta.Akhirnya, Jelita membawa hidangan utama ke meja makan yang sudah tertata cantik oleh Barbara. Ikan salmon yang dipanggang hingga kecokelatan sempurna ditempatkan rapi di atas piring. Permukaannya yang garing dan kecokelatan itu terlihat begitu menggugah selera.“Wow, aromanya saja sudah luar biasa.”“Perutku jadi semakin lapar!”“Bolehkah kita menyantapnya sekarang, Mom?”Nyonya Puspa dan Tuan Hari terkekeh mendengar celotehan anak-anak Dimas yang ramai. Mereka tampak tak sabar untuk menyantap hidangan ini. Potongan ikan salmon yang empuk dan berwarna merah muda terlihat begitu menarik di tengah piring. Ketika garpu mereka menyentuh daging salmon itu, mereka bisa merasakan kelembutan dan kelezatannya yang luar biasa. Ikan salmon yang juicy dan berminyak memberikan sensasi kenikmatan yang melebihi harapan mereka.Tak hanya itu, Jelita juga menyajikan kentang panggang yang renyah dan sayuran hijau segar di sekitar hidangan utama. Kulit kentang panggang itu kecokelatan, kerenyahannya tak tertandingi. Ketika digigit, kentang itu memberikan kombinasi sempurna antara tekstur lembut dan kulit yang renyah.Brokoli dan asparagus memberikan sentuhan segar dalam hidangan tersebut. Warna cerah dan tekstur renyah dari sayuran hijau tersebut memberikan keharmonisan visual dan rasa yang sempurna dengan ikan salmon.Jelita juga meracik saus spesial yang merupakan rahasia dapur Happines Kitchen. Saus tersebut memiliki konsistensi yang pas, mampu meresap ke dalam hidangan dengan sempurna. Setiap suapan hidangan ikan salmon disertai dengan sedikit saus spesial itu, menciptakan kombinasi rasa yang menakjubkan di dalam mulut.Makan malam di rumah Dimas hari itu terasa menyenangkan. Menu-menu buatan Jelita yang memenuhi meja sanggup membuat mereka semua terpana. Semua orang terbius kelezatannya. Orangtua Bimo tidak bisa menyembunyikan kekaguman mereka saat mencicipi hidangan tersebut. Nyonya Puspa dan Tuan Hari mengunyah dengan senyuman puas di wajah mereka, menikmati kelezatan yang luar biasa.“Hmm, Jelita. Ibu tahu sekarang kenapa Pak Menteri sampai memuji-muji masakanmu. Ini … betul-betul luar biasa!”“Ini tak kalah rasanya dengan hidangan di restoran-restoran mewah yang pernah kami kunjungi, Jelita,” puji Tuan Hari.“Awas, Bim. Perut kotak-kotakmu itu bisa terancam gendut kalau Jelita menyuguhimu dengan makanan-makanan enak terus tiap hari,” goda Dimas.Bimo mencebik. “Iri bilang, Bos!”Semuanya tertawa dengan suasana keakraban yang hangat.Saat Barbara punya kesempatan berdua saja dengan Dimas, dia berkomentar, “Honey. Jelita ternyata wanita yang baik, cantik, cerdas, dan mandiri. Kok bisa-bisanya sih orang tuamu dulu melarang Bimo berhubungan dengan wanita luar biasa seperti dia? Malah sibuk menjodohkannya dengan Laura? Jika aku lelaki, aku juga akan bersikap seperti Bimo, mempertahankan Jelita sampai akhir!” ujarnya tak habis pikir.“Jelita dulu gadis miskin dan yatim-piatu. Dia bahkan menumpang hidup bersama Bimo demi bisa kuliah. Orangtuaku khawatir, mengira dia bakal jadi parasit dalam kehidupan Bimo. Kalau Laura kan jelas dari keluarga tajir. Ayah dan ibu hanya ingin yang terbaik buat Bimo.”“Begitukah? Wah. Aku semakin kagum pada Jelita. Dia betul-betul memulai bisnisnya dari nol kalau begitu. Bodoh sekali kalau adikmu itu sampai melepaskan Jelita.”“Ya. Kuharap dia tak terlalu bodoh dengan menjalin hubungan diam-diam bersama Laura di belakang Jelita.”Barbara mendelik. “Apa maksudmu, honey? Apa terjadi sesuatu yang serius antara Bimo dan Laura?”Dimas menghela napas. “Aku pernah melihat mereka berciuman panas di mobil.”Barbara menutup mulutnya. “Astaga. Kuharap mereka berhenti cukup di situ,” desisnya ikut menyayangkan.“Kurasa tak semudah itu bagi Bimo menjalani hubungan LDR, Barbara. Mengingat dia sangat menuruni sifat ayahku yang … you know, … tak bisa setia. As you know, … ayahku ‘player’ semasa mudanya.”Dimas tak tahu jika sampai setua ini ayahnya tetaplah ‘player’.“Itu bukan alasan, honey. Kau tahu, gen baik atau buruk itu memang diturunkan lewat orang tua, namun gen buruk itu bisa dinonaktifkan oleh keturunannya. Meskipun ayah kalian ‘player’, kalian bisa tetap menjadi setia jika kalian sanggup menonaktifkan gen ‘player’ di dalam diri kalian. Jangan jadikan gen sebagai alasan untuk sebuah perbuatan buruk seseorang,” oceh Barbara yang merasa gemas mendengar alasan Dimas yang membawa-bawa keturunan dalam konteks pembicaraan mereka.“Honey. Kalau itu dasar pemikiranku memilih suami, aku tentunya sudah ilfeel denganmu karena tahu ayahmu ‘player’. Tapi aku melihat dirimu sebagai sosok dirimu sendiri, bukan siapa ayahmu,” tegas Barbara.Sebagai dokter, Barbara selalu berpikir kritis dan rasional. Dia memiliki keyakinan bahwa manusia memiliki kontrol atas bagaimana gen mereka diekspresikan melalui konsep epigenetika. Dan faktor lingkungan dan gaya hidup dapat mempengaruhi epigenetika, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi bagaimana gen diekspresikan.“Penting untuk dipahami, honey, gen tidak secara langsung menentukan perilaku atau kepribadian seseorang. Gen hanya menyediakan kerangka dasar atau predisposisi untuk berkembangnya karakteristik tertentu. Pengaruh gen pada sifat dan perilaku kompleks seringkali dipengaruhi oleh interaksi dengan faktor lingkungan. Oke?”Dimas mengangguk-angguk. Dia tahu, istrinya berbicara dengan dasar keilmuannya yang kuat. Dia tak ingin berdebat.“Mau LDR-an atau tidak, harusnya Bimo bisa tetap setia jika dia memutuskan untuk setia,” ketus Barbara merasa tidak adil untuk Jelita.***“Bim, aku malu tadi tidak membawakan sesuatu untuk ibumu. Aku ingin memberinya hadiah. Menurutmu, apa yang sangat disukai ibumu?” tanya Jelita ketika mereka tiba kembali di apartemen Bimo. Bimo tertawa. “Ibuku? Dia penyuka barang-barang mewah, darling.” Jelita berpikir sejenak. ”Bim,” panggilnya sambil meletakkan kakinya di pangkuan Bimo dan dengan pengertian Bimo langsung memijit-mijit tungkai Jelita. “Bagaimana kalau besok aku mengajak ibumu jalan-jalan ke mall?” “Wah, dia bakal senang banget, Ta.” “Kalau begitu, telepon ibumu sekarang, beritahu kalau besok aku ingin jalan-jalan bersamanya ke mall.” “Apa rencanamu untuk menjerat hati calon mertuamu itu, sayangku?” Bimo terkekeh. “Cerewet, buruan telepon!” Bimo kemudian menelepon ibunya. Lima menit kemudian dia melapor, “Kan? Ibu senang sekali dan tak sabar menunggu besok. Dia titip salam buatmu. Dia berpesan padaku agar tak menidurimu dulu sebelum kita menikah, tapi aku bilang kalau aku tak tahan ingin menidurimu, jadi dia men
Di sebuah perkampungan pelosok, Nyonya Cindy berdiri di sisi pusara yang telah lama terbengkalai. Saat pertama kali menemukannya dulu, tak lama setelah Marta memberitahukan lokasinya, pusara ini dipenuhi rerumputan dan bunga liar. Namun, kini dia sudah membersihkannya secara rutin, dengan kedua tangannya sendiri. Para asisten yang melihatnya melarang dan ingin membantunya, tetapi dia menolak dengan tegas. Nyonya Cindy menahan rasa sakit yang begitu dalam di hatinya, saat memandangi makam bayinya yang sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu tanpa sepengetahuannya. Air mata membasahi pipinya yang pucat. Tangisnya penuh dengan penyesalan demi penyesalan yang mengalir tanpa henti. "Maafkan Mami, anakku. Maafkan Mami yang baru mengetahui keberadaanmu. Maafkan Mami yang tidak pernah mengunjungimu di sini, karena Mami tidak tahu kamu ada, Nak." Rasa bersalah memenuhi hatinya saat ia menyadari bahwa selama ini dia hidup dalam ketidaktahuan tentang kehilangan yang begitu besar ini. Dia tida
Hartono melangkah dengan berat di antara barisan makam yang sunyi. Udara dingin menyelimuti area pemakaman, menciptakan suasana yang menyedihkan. Tanpa diduga, Hartono melihat dua sosok yang tidak pernah ia harapkan untuk bertemu di tempat seperti ini, mereka adalah Marta dan William.Wajah Hartono seketika membeku, jantungnya berdegup kencang melihat Marta berdiri di depannya. Pikirannya seketika terhenti sejenak, mencoba memproses kejutan yang tak terduga ini. Marta, dia tidak pernah berharap akan melihatnya lagi, apalagi di tempat yang penuh kenangan suram seperti pemakaman ini.Namun, ketika Hartono melihat William di samping Marta, kekagetannya berubah menjadi kebingungan dan takjub yang mendalam. William, anak kandungnya, darah dagingnya bersama Marisa. Hartono tercengang, tidak siap menghadapi William yang berdiri di hadapannya setelah sekian lama tidak bersua.“Om Har, apa kabar?” William menyapa dengan tatapannya yang lembut dan suaranya yang hangat. Dia menjabat tangan Harto
Jelita senang ketika Laura datang mengunjunginya di apartemen Bimo. Kebetulan pagi ini Bimo sedang menghadiri rapat penting di kantornya, sehingga Jelita sendirian dan keberadaan Laura membuatnya tak kesepian. “Jalan-jalan ke luar yuk, Kak? Mumpung cuacanya sedang cerah. Musim semi adalah saat terbaik buat menikmati keindahan kota dengan berjalan kaki,” ajak Laura. Jelita langsung mengangguk setuju. “Oke!” sambutnya antusias. Laura membawa Jelita menjelajahi keindahan taman kota. Langit di pagi itu berwarna biru cerah, dan sinar matahari yang hangat menyoroti taman dengan cahaya emasnya yang memukau. Sinar matahari menerobos melalui pepohonan yang rimbun, menciptakan bayangan yang bermain-main di bawah kaki mereka. Mereka mengikuti jalur pejalan kaki yang teratur dan dihiasi dengan berbagai macam bunga mekar yang indah. Mawar merah yang anggun, bunga matahari yang ceria, dan lavender yang harum, semuanya saling bersaing dalam kecantikannya masing-masing yang mempesona. Aroma semer
“Kau tak mau mampir dulu, Laura?” ajak Jelita saat mereka tiba di depan gedung apartemen Bimo. Laura menggeleng sambil menatap arloji di pergelangan tangannya. “Aku ada janji belajar kelompok dengan teman-temanku siang ini. Mereka bilang sedang menuju apartemenku. Aku harus segera pulang, Kak. Salam buat Om Bimo.”Jelita mengangguk dan memandangi kepergian Laura dengan raut wajah prihatin, dia betul-betul terganggu tentang kondom yang dibeli Laura tadi.Sedangkan Laura tersenyum sinis begitu dia berbalik seraya melangkah pergi menjauhi Jelita. Dia merasakan sedikit kepuasan bisa meluapkan amarahnya kepada Jelita tadi. Sementara itu di apartemen Bimo, Jelita mondar-mandir tak tenang. Dia masih memikirkan Laura, mengkhawatirkannya. Dia menggigit bibir dengan gelisah, memikirkan cara terbaik untuk menegur dan menyadarkannya.“Mungkin …, Bimo bisa membantuku bicara dengan Laura. Kurasa Laura akan mendengarkan Bimo.”Jelita mengangguk yakin. Dia lalu menoleh jam. Bimo bilang akan datang
Bimo memeluknya dan Jelita mengalungkan tangannya di leher Bimo untuk menjaga keseimbangannya agar tak oleng. Jelita bisa merasakan desakan dada Bimo yang bidang di dadanya yang membusung tegang.Ketika lidah mereka bersentuhan, Bimo seperti melahapnya dengan keahliannya yang memabukkan. Sementara tangan Bimo bergerak lembut di punggung Jelita, seperti sedang mempelajari kembali bentuknya yang sudah sangat dia kenal. Satu tangannya menangkup bokong Jelita dan meremasnya pelan. “Darling …,” desah Bimo seraya menggerakkan tangannya yang lain menuju dada Jelita yang menggodanya.Bimo mengurai ciuman mereka, tatapannya kemudian menunduk, memperhatikan apa yang sedang disentuh oleh tangannya. Dia bisa melihat napas Jelita yang turun naik, membuat buah dadanya yang indah turut bergerak-gerak seksi seiring napasnya yang berat namun juga cepat. Bimo tersenyum melihat Jelita tegang dengan wajahnya yang merona merah, wajah cantiknya tampak terbakar gairah yang berhasil dinyalakan dengan sempur
Bimo terkejut melihat Laura muncul di apartemennya pagi-pagi sekali. Sorot matanya penuh keheranan, ia mendesis dengan nada tegas, "Kenapa kamu ke sini, Laura?" Ia mencoba mengusir sebelum Jelita menyadari kedatangannya.Laura, dengan wajah cemberut, menjawab dengan sikap acuh tak acuh, "Mesin pemanas air di apartemenku rusak lagi, Om. Aku mau pinjam kamar mandi biar bisa mandi dengan air hangat. Aku tak mau membeku mandi dengan air sedingin es sepagi ini!”Tak bergeming oleh reaksi dingin Bimo, Laura melangkah santai menuju kamar Jelita. Namun, kaget menyergapnya saat ia menemui pintu kamar itu terkunci. "Kok dikunci?" tanyanya dengan wajah heran. Bimo menghela napas dalam-dalam, Jelita sekarang selalu mengunci pintu kamarnya, wanita itu mengantisipasi dirinya gara-gara dia memaksanya bercinta kemarin malam. "Dia sedang mandi," jawabnya dengan nada kesal.Laura tidak bisa menahan tawa yang meluncur dari bibirnya. Dia melihat kabut siksa di mata Bimo. Dia seperti gembira di atas pend
Nyonya Marta dan William duduk berhadapan di sebuah ruang privat di Restoran Happiness Kitchen. Suasana restoran yang tenang dan romantis dipenuhi dengan aroma lezat dari hidangan di meja mereka. Mereka berdua menikmati hidangan gourmet yang disajikan dengan indah, makanan lezat yang memanjakan lidah mereka. Nyonya Marta duduk dengan tegap, wajahnya penuh kehangatan saat dia membagikan ceritanya kepada William. Dia melihat dengan khawatir saat William terlihat melamun, tatapannya kosong dan terpaku pada pemandangan yang tak terlihat di kejauhan. Suaranya sedikit meninggi, "Will? Kau tak menyimak yang Tante katakan, ya? Apa yang kau pikirkan, hmm?" Nyonya Marta menegurnya dengan lembut, mencoba membangunkan William dari lamunannya yang dalam. William tersentak kembali ke kenyataan dan menyadari ketidaksadaran dirinya, dia terlalu larut dengan pikirannya sendiri. Mata Nyonya Marta yang lembut menatap William dengan kepedulian yang tulus. Dia mengerti ada sesuatu yang membebani pikira