Bimo membawa Jelita berjalan-jalan di Old Montreal. Suasana di sekitarnya sangat indah dan romantis. Cuaca yang cerah dan langit yang biru menambah keindahan suasana. Mereka berjalan beriringan sambil bergandengan tangan. “Wow! Cantik banget tempat ini, Bim.” “Senang melihat kamu senang, darling. Masih ada banyak tempat mengagumkan di kota ini, akan kutunjukkan padamu satu per satu.” Jelita tersenyum kepada Bimo seraya berterima kasih dengan binar-binar kegembiraan di matanya yang cantik. Membuat Bimo tak tahan untuk tidak mengecup wajahnya. Old Montreal dipenuhi dengan bangunan bersejarah yang megah, dengan arsitektur Eropa klasik yang menawan. Jalan-jalan berbatu yang dipenuhi toko-toko kecil dan restoran-restoran yang menggoda selera membuat suasana semakin hidup. Bimo dan Jelita berhenti di sebuah sudut jalan yang indah. Di sana terdapat tembok batu tua yang memancarkan aura nostalgia. Mereka melihat ke arah kamera dengan senyum manis merekah. Bimo meletakkan tangannya di pin
Jelita merasa cemas saat Bimo mengajaknya ke rumah Dimas. Dia bilang ada orang tuanya di sana yang baru datang kemarin dari Malang. “Mungkin ini saatnya kita memohon restu mereka lagi, Ta. Kamu siap?” Bimo tersenyum sambil membelai wajah kekasihnya yang tegang. Jelita mengangguk. Bimo tersenyum melihat ketegangan di wajah cantik itu. “Sayangku, dengan atau tanpa restu mereka, aku akan tetap menikahimu.” Dia menggenggam erat-erat tangan Jelita. Mereka tiba di halaman rumah Dimas. Jelita semakin tegang. Bimo menggenggam erat-erat tangan Jelita yang terasa dingin. Sebelumnya, Tuan Hari dan Nyonya Puspa tidak pernah menyukai Jelita, dan itu membuatnya gelisah. Namun, dia berusaha sekuat tenaga untuk mempersiapkan hatinya setegar mungkin. Ketika mereka tiba di rumah Dimas, suasana terasa ramah. Jelita terkejut melihat perubahan sikap yang begitu besar dari orangtua Bimo. Tuan Hari tersenyum dan menyapa Jelita dengan hangat, "Selamat datang, Jelita. Kami senang bisa bertemu denganmu." N
Jelita merasa cemas saat Bimo mengajaknya ke rumah Dimas. Dia bilang ada orang tuanya di sana yang baru datang kemarin dari Malang. “Mungkin ini saatnya kita memohon restu mereka lagi, Ta. Kamu siap?” Bimo tersenyum sambil membelai wajah kekasihnya yang tegang. Jelita mengangguk. Bimo tersenyum melihat ketegangan di wajah cantik itu. “Sayangku, dengan atau tanpa restu mereka, aku akan tetap menikahimu.” Dia menggenggam erat-erat tangan Jelita. Mereka tiba di halaman rumah Dimas. Jelita semakin tegang. Bimo menggenggam erat-erat tangan Jelita yang terasa dingin. Sebelumnya, Tuan Hari dan Nyonya Puspa tidak pernah menyukai Jelita, dan itu membuatnya gelisah. Namun, dia berusaha sekuat tenaga untuk mempersiapkan hatinya setegar mungkin. Ketika mereka tiba di rumah Dimas, suasana terasa ramah. Jelita terkejut melihat perubahan sikap yang begitu besar dari orangtua Bimo. Tuan Hari tersenyum dan menyapa Jelita dengan hangat, "Selamat datang, Jelita. Kami senang bisa bertemu denganmu." N
“Bim, aku malu tadi tidak membawakan sesuatu untuk ibumu. Aku ingin memberinya hadiah. Menurutmu, apa yang sangat disukai ibumu?” tanya Jelita ketika mereka tiba kembali di apartemen Bimo. Bimo tertawa. “Ibuku? Dia penyuka barang-barang mewah, darling.” Jelita berpikir sejenak. ”Bim,” panggilnya sambil meletakkan kakinya di pangkuan Bimo dan dengan pengertian Bimo langsung memijit-mijit tungkai Jelita. “Bagaimana kalau besok aku mengajak ibumu jalan-jalan ke mall?” “Wah, dia bakal senang banget, Ta.” “Kalau begitu, telepon ibumu sekarang, beritahu kalau besok aku ingin jalan-jalan bersamanya ke mall.” “Apa rencanamu untuk menjerat hati calon mertuamu itu, sayangku?” Bimo terkekeh. “Cerewet, buruan telepon!” Bimo kemudian menelepon ibunya. Lima menit kemudian dia melapor, “Kan? Ibu senang sekali dan tak sabar menunggu besok. Dia titip salam buatmu. Dia berpesan padaku agar tak menidurimu dulu sebelum kita menikah, tapi aku bilang kalau aku tak tahan ingin menidurimu, jadi dia men
Di sebuah perkampungan pelosok, Nyonya Cindy berdiri di sisi pusara yang telah lama terbengkalai. Saat pertama kali menemukannya dulu, tak lama setelah Marta memberitahukan lokasinya, pusara ini dipenuhi rerumputan dan bunga liar. Namun, kini dia sudah membersihkannya secara rutin, dengan kedua tangannya sendiri. Para asisten yang melihatnya melarang dan ingin membantunya, tetapi dia menolak dengan tegas. Nyonya Cindy menahan rasa sakit yang begitu dalam di hatinya, saat memandangi makam bayinya yang sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu tanpa sepengetahuannya. Air mata membasahi pipinya yang pucat. Tangisnya penuh dengan penyesalan demi penyesalan yang mengalir tanpa henti. "Maafkan Mami, anakku. Maafkan Mami yang baru mengetahui keberadaanmu. Maafkan Mami yang tidak pernah mengunjungimu di sini, karena Mami tidak tahu kamu ada, Nak." Rasa bersalah memenuhi hatinya saat ia menyadari bahwa selama ini dia hidup dalam ketidaktahuan tentang kehilangan yang begitu besar ini. Dia tida
Hartono melangkah dengan berat di antara barisan makam yang sunyi. Udara dingin menyelimuti area pemakaman, menciptakan suasana yang menyedihkan. Tanpa diduga, Hartono melihat dua sosok yang tidak pernah ia harapkan untuk bertemu di tempat seperti ini, mereka adalah Marta dan William.Wajah Hartono seketika membeku, jantungnya berdegup kencang melihat Marta berdiri di depannya. Pikirannya seketika terhenti sejenak, mencoba memproses kejutan yang tak terduga ini. Marta, dia tidak pernah berharap akan melihatnya lagi, apalagi di tempat yang penuh kenangan suram seperti pemakaman ini.Namun, ketika Hartono melihat William di samping Marta, kekagetannya berubah menjadi kebingungan dan takjub yang mendalam. William, anak kandungnya, darah dagingnya bersama Marisa. Hartono tercengang, tidak siap menghadapi William yang berdiri di hadapannya setelah sekian lama tidak bersua.“Om Har, apa kabar?” William menyapa dengan tatapannya yang lembut dan suaranya yang hangat. Dia menjabat tangan Harto
Jelita senang ketika Laura datang mengunjunginya di apartemen Bimo. Kebetulan pagi ini Bimo sedang menghadiri rapat penting di kantornya, sehingga Jelita sendirian dan keberadaan Laura membuatnya tak kesepian. “Jalan-jalan ke luar yuk, Kak? Mumpung cuacanya sedang cerah. Musim semi adalah saat terbaik buat menikmati keindahan kota dengan berjalan kaki,” ajak Laura. Jelita langsung mengangguk setuju. “Oke!” sambutnya antusias. Laura membawa Jelita menjelajahi keindahan taman kota. Langit di pagi itu berwarna biru cerah, dan sinar matahari yang hangat menyoroti taman dengan cahaya emasnya yang memukau. Sinar matahari menerobos melalui pepohonan yang rimbun, menciptakan bayangan yang bermain-main di bawah kaki mereka. Mereka mengikuti jalur pejalan kaki yang teratur dan dihiasi dengan berbagai macam bunga mekar yang indah. Mawar merah yang anggun, bunga matahari yang ceria, dan lavender yang harum, semuanya saling bersaing dalam kecantikannya masing-masing yang mempesona. Aroma semer
“Kau tak mau mampir dulu, Laura?” ajak Jelita saat mereka tiba di depan gedung apartemen Bimo. Laura menggeleng sambil menatap arloji di pergelangan tangannya. “Aku ada janji belajar kelompok dengan teman-temanku siang ini. Mereka bilang sedang menuju apartemenku. Aku harus segera pulang, Kak. Salam buat Om Bimo.”Jelita mengangguk dan memandangi kepergian Laura dengan raut wajah prihatin, dia betul-betul terganggu tentang kondom yang dibeli Laura tadi.Sedangkan Laura tersenyum sinis begitu dia berbalik seraya melangkah pergi menjauhi Jelita. Dia merasakan sedikit kepuasan bisa meluapkan amarahnya kepada Jelita tadi. Sementara itu di apartemen Bimo, Jelita mondar-mandir tak tenang. Dia masih memikirkan Laura, mengkhawatirkannya. Dia menggigit bibir dengan gelisah, memikirkan cara terbaik untuk menegur dan menyadarkannya.“Mungkin …, Bimo bisa membantuku bicara dengan Laura. Kurasa Laura akan mendengarkan Bimo.”Jelita mengangguk yakin. Dia lalu menoleh jam. Bimo bilang akan datang