Pada akhirnya Jelita mengizinkan Bimo tinggal di apartemennya, tentunya setelah Bimo melakukan negosiasi yang ulet dengan Jelita. “Oke. Aku tidak akan tidur di ranjangmu tanpa izin, tidak akan mengintipmu mandi dan berganti pakaian, tidak akan menggerayangi dadamu … kecuali kau mengizinkan, terus apa lagi?” Bimo mengedipkan sebelah matanya. Jelita memutar bola mata ketika Bimo mengucapkan janji-janjinya itu dalam negosiasi alot mereka. “Ah, ya. Aku akan memberimu uang sewa harian setara dengan biaya sewa hotel tempatku menginap saat ini. Dibayar di muka.” Jelita seketika terdiam dan tampak berpikir keras. “Berapa harga menginap semalam di sana?” “Kisaran tiga juta per malam.” “Tiga juta?” Jelita terkesiap dan berkedip-kedip. “Yeah.” Bimo mengangguk-angguk sombong. Meskipun sebenarnya kamar di apartemen Jelita jauh lebih sempit dari kamarnya di hotel, tetapi Bimo tak menjadikan itu masalah. Tak penting tentang sempitnya kamar dan minimnya fasilitas yang dia terima jika pindah da
William duduk sendirian di meja pojok coffee shop, menyaksikan suasana yang riuh di sekelilingnya. Bau harum kopi dan desiran percakapan mengisi ruangan, menciptakan aura yang khas dari sebuah coffee shop. Mata William tiba-tiba terpaku pada layar televisi datar yang tergantung di salah satu dinding yang sedang menayangkan acara gosip selebriti. Di sana, berita tentang wisuda seorang artis muncul di layar. Dia mengerutkan kening saat menyadari bahwa kampus artis tersebut sama dengan kampus Jelita. William menyimak acara itu, bukan karena tertarik pada kehidupan si artis, melainkan ingin tahu kapan tepatnya hari wisuda itu terjadi. “Ternyata sudah seminggu yang lalu?” gumamnya bingung. Kilatan kesedihan langsung menyapu wajahnya. Jelita ternyata tak mengundangnya ke acara wisuda itu. Pria itu memejamkan matanya, mencoba merenung dalam-dalam. Pikirannya dipenuhi pertanyaan yang menggantung di udara. Mengapa Jelita tidak mengundangnya? Apakah gadis itu sangat marah melihat dirinya berm
Dina terduduk di ruang kerjanya, menggigit bibirnya dengan gelisah. Pemberitahuan dari direktur pengembangan bisnisnya masih terpampang di layar komputernya, mengingatkannya akan situasi yang semakin rumit. Perusahaan Nadya tiba-tiba memutuskan untuk mengakhiri kontrak kerja sama yang selama ini dianggapnya potensial dan menguntungkan. “Apa ini masuk akal?” gumamnya bingung. Namun, pukulan berikutnya datang dengan kekuatan yang lebih mengguncang. Tuan Adyatama, sang investor utama yang selama ini memberikan dukungan finansial kepada Harmonia Dreams, tiba-tiba menarik seluruh dana investasinya. Dina merasa seolah-olah lantai di bawah kakinya tiba-tiba retak dan keberhasilan perusahaannya terancam terjatuh ke jurang kehancuran. “Apa-apaan ini?” Dina merasakan darahnya mengalir dengan cepat, dan detak jantungnya berdentang dalam kegelisahan. Dia mencoba merenung, mencari tahu apa yang telah terjadi, apa yang telah membuat segalanya berubah dengan cepat dan tak terduga. Dina menging
Dina sibuk mempersiapkan proposal bisnis untuk William sambil mengomel kesal. Dia uring-uringan karena tidak pernah menghadapi situasi seperti ini sebelumnya. Setiap pria yang pernah dekat dengannya tidak pernah begitu berhati-hati dan perhitungan saat dia meminta bantuan investasi untuk Harmonia Dreams. Tetapi William berbeda. Pria itu terlalu mengutamakan profesionalismenya. "Kenapa semua ini harus begitu rumit?" gerutu Dina dalam hati. "Seharusnya, seorang pria yang tertarik padaku akan bersedia memberikan dukungan finansial tanpa banyak pertimbangan." Dia melihat kembali proposal bisnisnya, memastikan setiap detail terpenuhi dan berusaha menciptakan argumen yang meyakinkan untuk menarik minat William. Namun, di balik kekesalannya, dia juga menyadari sikap profesional William adalah kualitas yang tak boleh diabaikan. "Dia benar-benar tahu bagaimana menjaga keuangan dengan baik," pikir Dina sambil menghela napas. "Mungkin itulah sebabnya dia sukses dan kaya. Aku harus menghargai
Hartono dan Sam akhirnya berjumpa setelah lama tidak bersua. Mereka bertemu di rumah Hartono yang luas dan asri. Tatapan Hartono langsung terpaku pada anaknya yang tumbuh dewasa dan berkharisma. Sam yang terakhir dilihatnya lewat monitor sebagai John Wick, ketika terjebak dalam serangan tim pembunuh bayarannya yang mematikan dan mengepungnya di pulau pribadi Adam Ashford. Hartono lega melihat Sam kini kembali, berdiri di hadapannya dengan senyum lebar. Sehat dan selamat! "Ayah!" seru Sam saat memeluk Hartono dengan erat. Ada riak kerinduan dalam suaranya yang bergelombang. Hartono merasa hangat di dalam dadanya, senang bisa melihat putranya setelah begitu lama. "Hai, Nak," kata Hartono dengan suara serak karena terharu. "Apa kabarmu?" "Aku baik-baik saja, Yah. Aku merindukanmu," jawab Sam dengan tulus. Hartono tersenyum dan mengusap lembut kepala anaknya. Di dalam hatinya, ia merasa beruntung dapat kembali melihat Sam. Meskipun dia sudah tahu bahwa Sam adalah John Wick, si pembun
Bimo dan Atika akhirnya bertemu setelah sekian lama terpisah sejak kepergian Bimo ke Kanada. Di kafe milik Atika yang dipenuhi dengan aroma kopi yang harum, suasana penuh keceriaan dan haru tercipta saat mereka saling berpelukan erat.“Bim, elu tambah ganteng aja! Hampir pangling gue.”Bimo tertawa sambil memandang Atika dengan mata penuh rindu, merasakan kehangatan kakak perempuannya yang telah lama membuatnya kangen. Tangis bahagia tak bisa ia tahan dan jatuh di bahu Atika. Atika dengan penuh kasih sayang mengelus lembut rambut Bimo, memberikan dukungan yang ia butuhkan. Atika juga menangis terharu.“Wah! Elu tambah keren aja pakai setelan jas dan dasi macam gini, Bim. Udah kayak orang bener aja lu sekarang!” goda Atika sambil meninju pelan lengan adiknya yang makin terasa keras. “Gila, kencang banget lengan elu, Bim?”“Ya iyalah! Gue udah kayak anak kost di sana, kak Dimas sebelas-duabelas kayak elu, kagak kasih pembokat. Padahal rumahnya segede gaban! Otot dan badan gue dipaksa ke
Jelita sedang memanggang cinnamon roll ketika bel pintu apartemennya berbunyi. Dia buru-buru mencuci tangan. Dia mengintip lewat lubang pengintai di pintunya dan terkejut melihat sosok Dina dan William ada di luar sana. “Hah? Ngapain mereka ke sini?” gumamnya bingung.Dina menekan bel lagi. Jelita menggigit bibir, mengepalkan tangan, lalu menghela napas sebelum membukanya.“Halo, Ta?” Dina menyapanya dengan ramah.Dina seperti ingin memeluk Jelita, namun Jelita buru-buru mengangkat tangannya ke atas sambil berkata, “A-aku sedang kotor. Lihatlah. Soalnya aku sedang bikin roti. Eh, silakan … mari masuk.” Dina dan William mengikuti langkah Jelita. “Wow, wangi sekali. Aroma kayu manisnya benar-benar menggoda.” Dina berkata sambil mengendusi udara.“Ah, iya. Itu. Aku sedang memanggang cinnamon roll.”Dina dan William mengambil tempat duduk di sebuah sofa panjang. Sedangkan Jelita duduk di sofa tunggal di depan mereka yang terpisahkan sebuah meja.“Mau minum apa?” tanya Jelita.“Kopi.”
Dina tersenyum kepada Jelita. “Ta, maaf kalau kami datang tanpa pemberitahuan sebelumnya. Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu.”“Ada apa ya, Kak?”“Perusahaanku sedang membuka lowongan buat staf keuangan. Bergabunglah dengan kami. Kujamin kau bisa langsung diterima tanpa perlu repot-repot ikut seleksi ketat dengan HRD.”Jelita terkejut. “Wah. Aku jadi tak enak. Padahal aku fresh graduate. Apa Kakak tak merasa sayang bisa melewatkan potensi pelamar lain yang lebih berpengalaman dariku?”Dina menatap Jelita dengan penuh keyakinan. “William orang yang tak pernah salah menilai orang, dan dia menganggapmu tepat untuk posisi ini. Perusahaan kami membutuhkan seseorang yang teliti dan berkualitas sepertimu.”Jelita sedikit bimbang, karena dia juga sedang dalam proses seleksi di perusahaan lain.Dina berkata penuh bujukan, “Aku percaya pada potensimu, Jelita. Jarang-jarang loh ada owner yang meminta langsung seseorang agar mau jadi stafnya seperti ini tuh. Ini kejadian langka, tahu? Ayolah