Hartono dan Sam akhirnya berjumpa setelah lama tidak bersua. Mereka bertemu di rumah Hartono yang luas dan asri. Tatapan Hartono langsung terpaku pada anaknya yang tumbuh dewasa dan berkharisma. Sam yang terakhir dilihatnya lewat monitor sebagai John Wick, ketika terjebak dalam serangan tim pembunuh bayarannya yang mematikan dan mengepungnya di pulau pribadi Adam Ashford. Hartono lega melihat Sam kini kembali, berdiri di hadapannya dengan senyum lebar. Sehat dan selamat! "Ayah!" seru Sam saat memeluk Hartono dengan erat. Ada riak kerinduan dalam suaranya yang bergelombang. Hartono merasa hangat di dalam dadanya, senang bisa melihat putranya setelah begitu lama. "Hai, Nak," kata Hartono dengan suara serak karena terharu. "Apa kabarmu?" "Aku baik-baik saja, Yah. Aku merindukanmu," jawab Sam dengan tulus. Hartono tersenyum dan mengusap lembut kepala anaknya. Di dalam hatinya, ia merasa beruntung dapat kembali melihat Sam. Meskipun dia sudah tahu bahwa Sam adalah John Wick, si pembun
Bimo dan Atika akhirnya bertemu setelah sekian lama terpisah sejak kepergian Bimo ke Kanada. Di kafe milik Atika yang dipenuhi dengan aroma kopi yang harum, suasana penuh keceriaan dan haru tercipta saat mereka saling berpelukan erat.“Bim, elu tambah ganteng aja! Hampir pangling gue.”Bimo tertawa sambil memandang Atika dengan mata penuh rindu, merasakan kehangatan kakak perempuannya yang telah lama membuatnya kangen. Tangis bahagia tak bisa ia tahan dan jatuh di bahu Atika. Atika dengan penuh kasih sayang mengelus lembut rambut Bimo, memberikan dukungan yang ia butuhkan. Atika juga menangis terharu.“Wah! Elu tambah keren aja pakai setelan jas dan dasi macam gini, Bim. Udah kayak orang bener aja lu sekarang!” goda Atika sambil meninju pelan lengan adiknya yang makin terasa keras. “Gila, kencang banget lengan elu, Bim?”“Ya iyalah! Gue udah kayak anak kost di sana, kak Dimas sebelas-duabelas kayak elu, kagak kasih pembokat. Padahal rumahnya segede gaban! Otot dan badan gue dipaksa ke
Jelita sedang memanggang cinnamon roll ketika bel pintu apartemennya berbunyi. Dia buru-buru mencuci tangan. Dia mengintip lewat lubang pengintai di pintunya dan terkejut melihat sosok Dina dan William ada di luar sana. “Hah? Ngapain mereka ke sini?” gumamnya bingung.Dina menekan bel lagi. Jelita menggigit bibir, mengepalkan tangan, lalu menghela napas sebelum membukanya.“Halo, Ta?” Dina menyapanya dengan ramah.Dina seperti ingin memeluk Jelita, namun Jelita buru-buru mengangkat tangannya ke atas sambil berkata, “A-aku sedang kotor. Lihatlah. Soalnya aku sedang bikin roti. Eh, silakan … mari masuk.” Dina dan William mengikuti langkah Jelita. “Wow, wangi sekali. Aroma kayu manisnya benar-benar menggoda.” Dina berkata sambil mengendusi udara.“Ah, iya. Itu. Aku sedang memanggang cinnamon roll.”Dina dan William mengambil tempat duduk di sebuah sofa panjang. Sedangkan Jelita duduk di sofa tunggal di depan mereka yang terpisahkan sebuah meja.“Mau minum apa?” tanya Jelita.“Kopi.”
Dina tersenyum kepada Jelita. “Ta, maaf kalau kami datang tanpa pemberitahuan sebelumnya. Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu.”“Ada apa ya, Kak?”“Perusahaanku sedang membuka lowongan buat staf keuangan. Bergabunglah dengan kami. Kujamin kau bisa langsung diterima tanpa perlu repot-repot ikut seleksi ketat dengan HRD.”Jelita terkejut. “Wah. Aku jadi tak enak. Padahal aku fresh graduate. Apa Kakak tak merasa sayang bisa melewatkan potensi pelamar lain yang lebih berpengalaman dariku?”Dina menatap Jelita dengan penuh keyakinan. “William orang yang tak pernah salah menilai orang, dan dia menganggapmu tepat untuk posisi ini. Perusahaan kami membutuhkan seseorang yang teliti dan berkualitas sepertimu.”Jelita sedikit bimbang, karena dia juga sedang dalam proses seleksi di perusahaan lain.Dina berkata penuh bujukan, “Aku percaya pada potensimu, Jelita. Jarang-jarang loh ada owner yang meminta langsung seseorang agar mau jadi stafnya seperti ini tuh. Ini kejadian langka, tahu? Ayolah
Dalam kenyamanan ruangan apartemen, Bimo dan Jelita menyadari kebersamaan mereka akan segera berakhir karena Bimo akan kembali ke Kanada. Jelita menggenggam tangan Bimo dengan erat, mencoba menguatkan hatinya. "Bim, betulan kan … kamu nggak pernah main sama cewek-cewek bule yang katamu montok dan nenennya lebih gede dari cewek-cewek koleksimu dulu?” Bimo terbahak-bahak, tak mengira Jelita masih saja mengingat celetukannya yang ngasal saja waktu itu, meskipun benar di sana banyak cewek yang seksi dan asoy, tapi Bimo tak peduli. Bahkan bisa dibilang Bimo hampir tak pernah lagi menyinggahi tempat-tempat hiburan malam di sana. Bimo sudah sadar sekarang bagaimana capeknya mencari uang, sedangkan biaya yang dikeluarkan untuk menyinggahi tempat-tempat hiburan semacam itu lumayan besar, lebih baik ditabung untuk biaya rumah tangganya dengan Jelita kelak. “Satu-satunya perempuan yang memenuhi seleraku itu kamu, darling. Nggak percaya banget, ih? Iya, aku dulu emang brengsek, tapi kan itu d
Di salah satu restoran di bandara, Jelita duduk di depan orang tua Bimo, terpisahkan oleh sebuah meja yang menyajikan makanan beraroma menggoda. Tatapan tajam dan merendahkan Tuan Hari dan Nyonya Puspa menusuk hatinya, memunculkan perasaan cemas di dalam dirinya, membuat lidah Jelita seperti mati rasa ketika menyantap hidangan di depannya. Atika duduk di samping Jelita, menikmati hidangannya dengan bersemangat, tak menyadari ketegangan Jelita. Sejak tadi dia asyik berceloteh tentang kegiatannya yang semakin padat. “Maaf, aku tidak bisa lama-lama bergabung dengan kalian. Setelah ini, aku akan langsung berangkat ke Surabaya untuk acara seminar. Aku pembicara utamanya, jadi aku tidak boleh absen. Maaf kalau aku tidak bisa mendampingi Ayah dan Ibu selama di Jakarta,” katanya dengan senyum minta dimengerti. Nyonya Puspa menatap bangga kepada puterinya. “Iya, kami mengerti, Sayang. Pergilah dan sukses selalu untukmu.” “Jaga kesehatanmu, Atika.” Tuan Hari menatap sayang kepada puteri semat
Di tengah jam makan siang, William melangkah dengan penuh keyakinan ke kantor Dina. Ia merasa gugup dan berdebar, bukan hanya karena ingin menjemput Dina untuk makan siang, tetapi juga ingin melihat Jelita di hari pertamanya bekerja di Harmonia Dreams. Baru saja dipikirkan, Jelita tiba-tiba muncul di depan William yang baru saja keluar dari dalam lift. Jantung William berdebar kencang, kembali terpukau oleh pesona wanita yang pernah membuatnya tergila-gila. “Jelita?” tegurnya merasa pangling.Gadis itu tampak menawan dalam balutan pakaian kerjanya yang modis, dengan tampilan rambutnya yang baru dan dicat. Jelita terlihat lebih bercahaya dan mempesona. Warna cokelat gelap dan highlight karamel memberikan kontras yang indah dengan kulit putihnya, meningkatkan kecantikan alaminya. Gaya rambut layer memberikan kerapian dan memperkaya dimensi wajah bulat telurnya.Jelita terlihat percaya diri dengan penampilan barunya yang memukau, seolah dia siap menghadapi dunia dengan senyuman cerah d
Pagi itu, para karyawan Harmonia Dreams sedang sibuk dengan rutinitas mereka. Tapi begitu Sam melintas, pandangan mereka seketika terpaku pada sosok yang memancarkan pesona yang tak terbantahkan. Mata-mata yang sibuk dengan tugas-tugas mereka terbelalak saat Sam melangkah dengan tegap. Tatapannya yang tajam dan senyumnya yang melumpuhkan membuat jantung mereka berdegup kencang. Mereka merasakan aura kepercayaan diri yang memancar dari Sam saat ia berjalan melewati mereka. Jelita yang sedang sibuk membawa dokumen keuangan penting melintasi Sam begitu saja, “Maaf, permisi,” kata Jelita dengan langkah terburu-buru, membuat Sam menggeser kaki dan memiringkan badannya untuk memberi Jelita jalan. Sam yang mengetahui jika itu Jelita tersenyum gemas melihat gadis itu terlalu fokus pada pekerjaan dan tugasnya, sehingga tidak ikut-ikutan heboh seperti para karyawan yang lainnya. “Dia memang unik, pantas saja kau tergila-gila setengah mati, Will,” gumam Sam sambil tersenyum. Seiring denga