“Ini nggak mungkin, ini pasti salah.” Kanaya merobek kertas yang berisi semua informasi tentang dirinya secara brutal sambil menangis. Dadanya terasa sesak karena semua masalah yang menimpanya.Kanaya terbaring dengan lemas di ranjangnya setelah membaca semua data yang ia dapat dari Dimas. Air matanya mengalir dengan deras, ia menangis tersedu-sedu hingga tubuhnya berguncang ketika harus menerima kenyataan pahit bahwa dirinya hanyalah anak angkat Alfian dan Nurmala.“Aku anaknya Papa dan Mama, bukan anaknya supir.”Kanaya sangat terpukul, apa lagi Dimas terus membuat keadaan Kanaya semakin terpojok dengan ancamannya. Padahal, Kanaya belum sembuh total dengan traumanya setelah kejadian malam itu, tapi Dimas mendesak Kanaya hingga semakin tertekan dan merana.Kanaya memukul-mukul springbed dengan tangannya yang mengepal. Hatinya sangat sakit, ia merasa hancur. Kanaya bingung harus berbuat apa, ia sangat membenci Dimas tapi di sisi lain ia sangat menyayangi keluargannya. Kanaya tidak ing
“Assalamu alaikum.”“Wa alaikumsalam.”“Akhirnya kau datang juga.” Alfian memeluk sahabat seperjuangannya dengan erat.“Iya. Sudah berapa lama ya, kita nggak ketemu?”“Entahlah, sepertinya sudah 3 bulan.”“Kamu apa kabar, Nak?” tanya Alfian pada Dimas.“Baik, Om.”“Alhamdulillah, ayo masuk.”Alfian merangkul Andra dan membawanya masuk ke dalam rumah, sementara mengekor di belakang mereka melangkah dengan kepala menunduk seolah dia adalah pria baik-baik.Alfian menyambut kedatangan Andra dan Dimas dengan sangat baik, ia tidak marah dan tidak menyimpan rasa dendam meski pun Dimas sudah membatalkan lamarannya pada Khanza, apalagi Khanza nampak biasa-biasa saja meski dia baru saja putus hubungan dengan Dimas. Alfian duduk bersebelahan dengan Nurmala, sementara di sofa yang berseberangan Andra duduk berdampingan dengan Dimas.Sebelum berkunjung ke rumah Alfian, Andra sudah mengabarinya. Alfian bahkan sudah meminta pada asisten rumah tangganya menyiapkan makanan dan minuman istimewa untuk d
“Kenapa kamu nggak cerita sama Mama, Nak?” Nurmala mengusap rambut Kanaya dengan lembut. Gadis itu menangis dengan posisi tidur membelakagi Nurmala. Kanaya takut sekaligus malu menceritakan kejadian malam itu.“Sebenarnya apa yang terjadi, Nay? Jika dia memaksamu, aku akan menjebloskan dia ke penjara.” Alfian berdiri dengan tegas sambil melipat tangannya di dada. Rasa marah masih merajai hatinya.“Aku nggak ingat, Pa.” Kanaya mengelak karena takut dengan semua ancaman Dimas.“Gimana bisa nggak ingat?” bentak Alfian dengan geram. Rahangnya sudah mengeras, dadanya semakin sesak melihat sikap lemah Kanaya.“Mas,” Nurmala menegur Alfian karena bersikap kasar pada Kanaya, padahal saat ini Kanaya sedang terpuruk. Nurmala dapat merasakan apa yang Kanaya rasakan sebab ia pernah berada di posisi Kanaya.“Aaaakhh...” Alfian mengambil vas bunga, lalu melemparkannya ke kaca meja rias hingga cermin itu pecah.Nurmala mengelus dadanya, sedangkan Kanaya semakin mengkerut ketakutan karena terkejut de
Ashraf menemui Alfian yang tengah menenangkan diri di ruang kerjanya, pria paruh baya itu terlihat murung. Melihat Ashraf, hanya membuat Alfian mengingat masa lalunya yang kelam. Gara-gara perbuatan bejatnya, Ashraf menjadi anak tak bernasab. Alfian merasa jika yang dialami Kanaya adalah hukum karma yang harus Alfian bayar dari masa lalunya.“Bagaimana, Pa? Apa orang suruhan Papa sudah dapat informasi tentang yang terjadi di hotel itu?” tanya Ashraf.“Tidak ada apa pun yang bisa dijadikan bukti untuk menjebloskan Dimas ke penjara. Apalagi kejadian itu sudah cukup lama. Yang tahu kejadian yang sebenarnya hanya Kanaya dan Dimas. Kanaya juga diam saja setiap ditanya.” Alfian meraup wajahnya dengan kasar.“Kenapa Kanaya harus menerima hukum karma atas dosa-dosaku?” gumam Alfian dengan penuh sesal.“Hukum karma itu nggak ada, Pa. Yang ada adalah keadilan. Lagian, kesalahan apa yang dulu Papa perbuat sampai bilang kayak gitu?” Ashraf sangat penasaran dengan maksud perkataan Alfian.“Tidak a
Kanaya memasuki gang sempit yang sangat kumuh, mencari rumah petak ayah kandungnya. Kata orang-orang di sekitar sini, Darsono mengontrak di rumah petak kecil yang berada di pojok gang sempit. Kanaya menutup hidungnya karena keadaan rumah petak lembab dan bau pesing. Ia mengetuk pintu rumah yang tingginya setara dengan tinggi badannya.“Assalam alaikum,”“Wa alaikumsalam,” sahut seseorang dari dalam rumah petak.Beberapa detik kemudian pintu terbuka, Kanaya langsung berhadapan dengan pria paruh baya yang terlihat tidak rapi. Pakaian pria itu lusuh dan sobek di bagian bahu, rambutnya sudah beruban dan lepek.“Apa benar ini rumah Pak Darsono?” tanya Kanaya.“I-iya,” jawab Darsono tergagap, jantungnya berdebar sangat kencang ketika melihat Kanaya. Ia sangat familiar dengan wajah Kanaya, mata Kanaya mirip dengan mata mantan istri Darsono. “Silahkan masuk.” Darsono menyingkir dari pintu supaya Kanaya bisa masuk ke dalam kontrakannya yang reyot.Kanaya menunduk supaya kepalanya tidak terbent
Zivanna menutup matanya dengan telapak tangan ketika Dimas mencumbu Kanaya di depan matanya, sedangkan Khanza merasa jengah melihat kelakuan Dimas pada adiknya.“Memalukan,” desis Khanza dengan nada sarkas seraya membuang muka.Setelah beberapa saat berlalu, Zivanna menyikut lengan Khanza yang duduk di sebelahnya, kemudian bertanya, “Kak, udah selesai belum?”“Udah." Khanza membuang napas dengan ekspresi kesal.“Iiih, nggak sabaran banget suaminya Kak Kanaya. Kamu nggak cemburu 'kan Kak?” tanya Zivanna sambil memandang Dimas dengan ekspresi cemberut. Ia tidak menyukai Dimas karena tahu jika yang dicintai oleh Kanaya adalah Ardi, apalagi sebelumnya Dimas pernah melamar Khanza.“Nggak 'lah. Ngapain cemburu sama orang kayak gitu. Semoga saja dia akan memperlakukan Kanaya dengan baik,” sahut Khanza.“Aamiin.”Darsono meneteskan air mata bahagia ketika Kanaya mencium tangannya untuk pertama kali. “Semoga kamu bahagia sama pernikahan kamu, Nak.”Kanaya diam membisu karena tidak mengharapkan
“Biar aku pergi bersama suamiku saja,” Kanaya memutus perdebatan ketiga pria tersebut, kemudian mengambil tasnya di atas meja. “Assalamu alaikum.” Kanaya bergegas pergi dari ruang makan. Dimas tersenyum pada Ardi yang nampak sedih, lalu pergi mengejar istrinya. Ardi memandang Kanaya dengan ekspresi kecewa karena penolakan Kanaya. Hatinya sakit karena Kanaya lebih memilih Dimas daripada dirinya.“Ardi, kamu ‘tuh apa-apaan ‘sih! Kanaya itu istri dari Dimas, jadi kamu nggak perlu sok perhatian sama dia,” cetus Lilis dengan nada ketus.Lamunan Ardi buyar karena omelan yang tercetus dari mulut ibunya. Ia pun kembali duduk untuk melanjutkan sarapan. “Bukannya aku sok perhatian, Ma. Tujuan kami ‘kan searah, aku hanya menawarkan tumpangan.”“Halah, alasan,” ujar Lilis dengan sinis.“Udah-udah, nggak usah ribut di meja makan.” Andra melerai perdebatan Ardi dan ibunya.***“Kenapa kamu berbohong sama orang-orang?” tanya Kanaya yang duduk di sebelah Dimas yang sedang fokus mengemudikan mobil. K
Perut Dimas terasa bergejolak, ia pun turun dari ranjang dan berlari ke kamar mandi. Dimas menarik kenop pintu, tapi pintu terkunci dari dalam. Ia pun menggedor-gedor daun pintu dengan tidak sabaran. “Buka pintu, Nay! Aku mau muntah.” Dimas berusaha menahan rasa mualnya.Di dalam kamar mandi, Kanaya kebingungan karena belum mengenakan apa pun, ia baru saja selesai membilas tubuhnya dari busa sabun. Kanaya segera mengambil handuk dari gantungan pakaian, karena terburu-buru handuk itu pun jatuh ke lantai dan basah, sementara Dimas masih berteriak menyuruhnya untuk keluar."Nay, keluar, Nay. Aku nggak tahan." Dimas berteriak sembari menggedor-gedor pintu. “Iya, sebentar.” Ujar Kanaya seraya melilitkan handuk ke tubuhnya. "Duh, gimana, sih!” keluh Kanaya dengan tangan gemetar.Namun, pintu keburu di dombrak oleh Dimas hingga Kanaya terperanjat kaget, handuk yang belum sempurna melilit di dada Kanaya terlepas dan merosot, Kanaya segera menahan supaya handuk tersebut tidak jatuh.Dimas mel