Zivanna menutup matanya dengan telapak tangan ketika Dimas mencumbu Kanaya di depan matanya, sedangkan Khanza merasa jengah melihat kelakuan Dimas pada adiknya.“Memalukan,” desis Khanza dengan nada sarkas seraya membuang muka.Setelah beberapa saat berlalu, Zivanna menyikut lengan Khanza yang duduk di sebelahnya, kemudian bertanya, “Kak, udah selesai belum?”“Udah." Khanza membuang napas dengan ekspresi kesal.“Iiih, nggak sabaran banget suaminya Kak Kanaya. Kamu nggak cemburu 'kan Kak?” tanya Zivanna sambil memandang Dimas dengan ekspresi cemberut. Ia tidak menyukai Dimas karena tahu jika yang dicintai oleh Kanaya adalah Ardi, apalagi sebelumnya Dimas pernah melamar Khanza.“Nggak 'lah. Ngapain cemburu sama orang kayak gitu. Semoga saja dia akan memperlakukan Kanaya dengan baik,” sahut Khanza.“Aamiin.”Darsono meneteskan air mata bahagia ketika Kanaya mencium tangannya untuk pertama kali. “Semoga kamu bahagia sama pernikahan kamu, Nak.”Kanaya diam membisu karena tidak mengharapkan
“Biar aku pergi bersama suamiku saja,” Kanaya memutus perdebatan ketiga pria tersebut, kemudian mengambil tasnya di atas meja. “Assalamu alaikum.” Kanaya bergegas pergi dari ruang makan. Dimas tersenyum pada Ardi yang nampak sedih, lalu pergi mengejar istrinya. Ardi memandang Kanaya dengan ekspresi kecewa karena penolakan Kanaya. Hatinya sakit karena Kanaya lebih memilih Dimas daripada dirinya.“Ardi, kamu ‘tuh apa-apaan ‘sih! Kanaya itu istri dari Dimas, jadi kamu nggak perlu sok perhatian sama dia,” cetus Lilis dengan nada ketus.Lamunan Ardi buyar karena omelan yang tercetus dari mulut ibunya. Ia pun kembali duduk untuk melanjutkan sarapan. “Bukannya aku sok perhatian, Ma. Tujuan kami ‘kan searah, aku hanya menawarkan tumpangan.”“Halah, alasan,” ujar Lilis dengan sinis.“Udah-udah, nggak usah ribut di meja makan.” Andra melerai perdebatan Ardi dan ibunya.***“Kenapa kamu berbohong sama orang-orang?” tanya Kanaya yang duduk di sebelah Dimas yang sedang fokus mengemudikan mobil. K
Perut Dimas terasa bergejolak, ia pun turun dari ranjang dan berlari ke kamar mandi. Dimas menarik kenop pintu, tapi pintu terkunci dari dalam. Ia pun menggedor-gedor daun pintu dengan tidak sabaran. “Buka pintu, Nay! Aku mau muntah.” Dimas berusaha menahan rasa mualnya.Di dalam kamar mandi, Kanaya kebingungan karena belum mengenakan apa pun, ia baru saja selesai membilas tubuhnya dari busa sabun. Kanaya segera mengambil handuk dari gantungan pakaian, karena terburu-buru handuk itu pun jatuh ke lantai dan basah, sementara Dimas masih berteriak menyuruhnya untuk keluar."Nay, keluar, Nay. Aku nggak tahan." Dimas berteriak sembari menggedor-gedor pintu. “Iya, sebentar.” Ujar Kanaya seraya melilitkan handuk ke tubuhnya. "Duh, gimana, sih!” keluh Kanaya dengan tangan gemetar.Namun, pintu keburu di dombrak oleh Dimas hingga Kanaya terperanjat kaget, handuk yang belum sempurna melilit di dada Kanaya terlepas dan merosot, Kanaya segera menahan supaya handuk tersebut tidak jatuh.Dimas mel
***“Setelah pulang kuliah, Nyonya Kanaya mencari kos-kosan, mungkin karena belum menemukan yang cocok. Akhirnya dia menginap di Motel,” papar orang dari seberang telepon. “Di Motel mana dia menginap?” tanya Dimas setelah mendapatkan informasi dari orang suruhannya mengenai Kanaya.“Motel Darmawangsa.”“Kirimkan lokasinya.”“Secepatnya, Tuan.”“Ok.” Dimas memutus sambungan teleponnya, menyambar kontak mobil yang tergeletak di atas meja kerjanya.“Apa mau-mu, Nay?” Dimas keluar dari ruang kerjanya dengan kesal. Sebenarnya Dimas sangat lelah, tapi masih harus mencari istrinya yang kabur di tengah malam buta. ***Kanaya meringkuk di atas ranjang sembari memegangi perutnya yang terasa nyeri karena sedang datang bulan, badannya juga terasa pegal karena lelah mencari kos-kosan selama berjam-jam. Kanaya tak pernah memiliki niat untuk menjadi pembangkang apalagi sampai kabur dari suaminya, tapi hidup satu atap dengan pria yang sangat ia benci membuat batin Kanaya tersiksa. Kanaya beringsut
“Kamu mau membuka lembaran baru, tapi memaksaku seperti ini.”“Memangnya kenapa? Jangankan memelukmu seperti ini, bahkan sudah sewajarnya sepasang suami istri melakukan hubungan intim, lalu di mana letak masalahnya?” Dimas mengecup puncak kepala istrinya.“Masalahnya ada sejak aku ketemu sama kamu, bahkan caramu menikahiku sangat salah. ” Kanaya mendongak, menatap Dimas dengan tatapan dingin. “Sekarang lepasin aku, pagi ini aku ada kuis di kampus!!”Dimas menghela napas berat, meski enggan, ia tetap melepaskan Kanaya dari pelukannya.Kanaya turun dari ranjang dan bergegas pergi ke kamar mandi. Ia mengguyur tubuhnya dengan air shower sembari merenungkan permintaan Dimas yang terus terngiang-ngiang di telinganya.“Apa Dimas bisa menjadi suami yang bertanggungjawab? Apa aku harus memberi Dimas kesempatan untuk membuktikan perkataannya, apa pembohong kayak dia bisa dipercaya?”Dimas menyambar air dari botol yang ada di atas meja, lalu meminumnya hingga tersisa setengah botol. Setelah itu,
Kanaya baru saja sampai di kediaman Andra. Ia turun dari mobil sementara Dimas masih memarkirkan mobilnya di garasi. Kanaya menghampiri Lilis yang tengah berkutat dengan hp-nya, lalu mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Lilis, tapi Lilis malah membuang muka dengan sinis. “Mantu baru tapi nggak punya sopan santun.” Lilis kesal karena Kanaya semalam tidak pulang ke rumah hingga Andra dan Dimas kebingungan mencarinya. Mereka baru bisa tenang saat orang suruhan Dimas mengantar mobil Kanaya di tengah malam dan mengatakan jika Kanaya sedang bersama Dimas. “Wanita dengki sepertimu tidak pantas bicara soal moral dan sopan santun!” cela Dimas ketika mendengar istrinya dihina. “Mas, yang sopan kalau ngomong sama orang tua!” Kanaya berusaha menasehati suaminya, karena sebagai menantu baru ia menyadari kesalahannya karena tidak tahu etika. “Dia bukan orang tua, tapi wanita berhati iblis.” “Jangan kurang ajar kamu, Dimas, atau aku akan mengadukan kamu pada Papamu.” Dimas tersenyum
Kanaya duduk di kursi dekat kolam renang untuk menenangkan t, sebab berada di dalam kamar hanya membuat Kanaya semakin larut dalam kesedihan. Ia ingin menghapus nama Ardi yang masih melekat di hatinya dan membuatnya merasa nelangsa. Kanaya ingin memberi Dimas kesempatan untuk membuka lembaran baru dalam rumah tangganya, karena sadar menyesali pernikahan tidak akan ada gunanya. Kanaya merasa Dimas tidak seburuk yang dia pikirkan, mungkin jika Kanaya bersikap baik, Dimas akan berubah menjadi suami yang baik juga.“Aku biasa duduk di sini setiap punya banyak masalah.”Kanaya mendongak saat mendengar suara yang tidak asing di telinga menyapanya. Manik matanya langsung beradu dengan tatapan mata Ardi yang sendu. Kanaya langsung bangkit dari kursinya hendak pergi dari tempatnya duduknya, tapi Ardi malah menghadang jalannya.“Pak, jangan halangi jalanku. Aku takut ada yang salah paham kalau kita berduaan di sini.” Kanaya semakin gelisah melihat sikap Ardi yang mulai berani.“Di sudut sana
Dimas mengambil kontak mobil dan Hp-nya di atas meja dan segera pergi dengan langkah tergesa-gesa tanpa melihat ke arah Kanaya yang sangat terluka dan terpukul karena perbuatannya. Kanaya meringkuk di sudut ranjang sambil menangis mengamati punggung Dimas yang kian menjauh.Setelah meniduri Kanaya, Dimas mencampakkannya begitu saja seperti malam itu. Kanaya merasa jika Dimas hanya mempermainkannya saja dan memperlakukan dirinya bagai wanita penghibur yang setelah dipakai dicampakkan begitu saja.*** “Dimas mana?” tanya Andra pada Kanaya ketika tidak melihat Dimas ikut sarapan di meja makan.“Nggak tahu, Pa.” Jawab Kanaya dengan lesu, ia bersyukur tidak melihat wajah Dimas lagi setelah pria itu berhasil menidurinya semalam. Dimas benar-benar menguras tenaga dan emosi Kanaya, hingga paginya Kanaya merasa sangat lapar dan tidak bersemangat.“Anak itu tetap saja nggak berubah.” Andra menghela napas berat melihat kelakuan Dimas yang tidak berubah meski sudah menikah. “Papa harap kamu mau