Perut Dimas terasa bergejolak, ia pun turun dari ranjang dan berlari ke kamar mandi. Dimas menarik kenop pintu, tapi pintu terkunci dari dalam. Ia pun menggedor-gedor daun pintu dengan tidak sabaran. “Buka pintu, Nay! Aku mau muntah.” Dimas berusaha menahan rasa mualnya.Di dalam kamar mandi, Kanaya kebingungan karena belum mengenakan apa pun, ia baru saja selesai membilas tubuhnya dari busa sabun. Kanaya segera mengambil handuk dari gantungan pakaian, karena terburu-buru handuk itu pun jatuh ke lantai dan basah, sementara Dimas masih berteriak menyuruhnya untuk keluar."Nay, keluar, Nay. Aku nggak tahan." Dimas berteriak sembari menggedor-gedor pintu. “Iya, sebentar.” Ujar Kanaya seraya melilitkan handuk ke tubuhnya. "Duh, gimana, sih!” keluh Kanaya dengan tangan gemetar.Namun, pintu keburu di dombrak oleh Dimas hingga Kanaya terperanjat kaget, handuk yang belum sempurna melilit di dada Kanaya terlepas dan merosot, Kanaya segera menahan supaya handuk tersebut tidak jatuh.Dimas mel
***“Setelah pulang kuliah, Nyonya Kanaya mencari kos-kosan, mungkin karena belum menemukan yang cocok. Akhirnya dia menginap di Motel,” papar orang dari seberang telepon. “Di Motel mana dia menginap?” tanya Dimas setelah mendapatkan informasi dari orang suruhannya mengenai Kanaya.“Motel Darmawangsa.”“Kirimkan lokasinya.”“Secepatnya, Tuan.”“Ok.” Dimas memutus sambungan teleponnya, menyambar kontak mobil yang tergeletak di atas meja kerjanya.“Apa mau-mu, Nay?” Dimas keluar dari ruang kerjanya dengan kesal. Sebenarnya Dimas sangat lelah, tapi masih harus mencari istrinya yang kabur di tengah malam buta. ***Kanaya meringkuk di atas ranjang sembari memegangi perutnya yang terasa nyeri karena sedang datang bulan, badannya juga terasa pegal karena lelah mencari kos-kosan selama berjam-jam. Kanaya tak pernah memiliki niat untuk menjadi pembangkang apalagi sampai kabur dari suaminya, tapi hidup satu atap dengan pria yang sangat ia benci membuat batin Kanaya tersiksa. Kanaya beringsut
“Kamu mau membuka lembaran baru, tapi memaksaku seperti ini.”“Memangnya kenapa? Jangankan memelukmu seperti ini, bahkan sudah sewajarnya sepasang suami istri melakukan hubungan intim, lalu di mana letak masalahnya?” Dimas mengecup puncak kepala istrinya.“Masalahnya ada sejak aku ketemu sama kamu, bahkan caramu menikahiku sangat salah. ” Kanaya mendongak, menatap Dimas dengan tatapan dingin. “Sekarang lepasin aku, pagi ini aku ada kuis di kampus!!”Dimas menghela napas berat, meski enggan, ia tetap melepaskan Kanaya dari pelukannya.Kanaya turun dari ranjang dan bergegas pergi ke kamar mandi. Ia mengguyur tubuhnya dengan air shower sembari merenungkan permintaan Dimas yang terus terngiang-ngiang di telinganya.“Apa Dimas bisa menjadi suami yang bertanggungjawab? Apa aku harus memberi Dimas kesempatan untuk membuktikan perkataannya, apa pembohong kayak dia bisa dipercaya?”Dimas menyambar air dari botol yang ada di atas meja, lalu meminumnya hingga tersisa setengah botol. Setelah itu,
Kanaya baru saja sampai di kediaman Andra. Ia turun dari mobil sementara Dimas masih memarkirkan mobilnya di garasi. Kanaya menghampiri Lilis yang tengah berkutat dengan hp-nya, lalu mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Lilis, tapi Lilis malah membuang muka dengan sinis. “Mantu baru tapi nggak punya sopan santun.” Lilis kesal karena Kanaya semalam tidak pulang ke rumah hingga Andra dan Dimas kebingungan mencarinya. Mereka baru bisa tenang saat orang suruhan Dimas mengantar mobil Kanaya di tengah malam dan mengatakan jika Kanaya sedang bersama Dimas. “Wanita dengki sepertimu tidak pantas bicara soal moral dan sopan santun!” cela Dimas ketika mendengar istrinya dihina. “Mas, yang sopan kalau ngomong sama orang tua!” Kanaya berusaha menasehati suaminya, karena sebagai menantu baru ia menyadari kesalahannya karena tidak tahu etika. “Dia bukan orang tua, tapi wanita berhati iblis.” “Jangan kurang ajar kamu, Dimas, atau aku akan mengadukan kamu pada Papamu.” Dimas tersenyum
Kanaya duduk di kursi dekat kolam renang untuk menenangkan t, sebab berada di dalam kamar hanya membuat Kanaya semakin larut dalam kesedihan. Ia ingin menghapus nama Ardi yang masih melekat di hatinya dan membuatnya merasa nelangsa. Kanaya ingin memberi Dimas kesempatan untuk membuka lembaran baru dalam rumah tangganya, karena sadar menyesali pernikahan tidak akan ada gunanya. Kanaya merasa Dimas tidak seburuk yang dia pikirkan, mungkin jika Kanaya bersikap baik, Dimas akan berubah menjadi suami yang baik juga.“Aku biasa duduk di sini setiap punya banyak masalah.”Kanaya mendongak saat mendengar suara yang tidak asing di telinga menyapanya. Manik matanya langsung beradu dengan tatapan mata Ardi yang sendu. Kanaya langsung bangkit dari kursinya hendak pergi dari tempatnya duduknya, tapi Ardi malah menghadang jalannya.“Pak, jangan halangi jalanku. Aku takut ada yang salah paham kalau kita berduaan di sini.” Kanaya semakin gelisah melihat sikap Ardi yang mulai berani.“Di sudut sana
Dimas mengambil kontak mobil dan Hp-nya di atas meja dan segera pergi dengan langkah tergesa-gesa tanpa melihat ke arah Kanaya yang sangat terluka dan terpukul karena perbuatannya. Kanaya meringkuk di sudut ranjang sambil menangis mengamati punggung Dimas yang kian menjauh.Setelah meniduri Kanaya, Dimas mencampakkannya begitu saja seperti malam itu. Kanaya merasa jika Dimas hanya mempermainkannya saja dan memperlakukan dirinya bagai wanita penghibur yang setelah dipakai dicampakkan begitu saja.*** “Dimas mana?” tanya Andra pada Kanaya ketika tidak melihat Dimas ikut sarapan di meja makan.“Nggak tahu, Pa.” Jawab Kanaya dengan lesu, ia bersyukur tidak melihat wajah Dimas lagi setelah pria itu berhasil menidurinya semalam. Dimas benar-benar menguras tenaga dan emosi Kanaya, hingga paginya Kanaya merasa sangat lapar dan tidak bersemangat.“Anak itu tetap saja nggak berubah.” Andra menghela napas berat melihat kelakuan Dimas yang tidak berubah meski sudah menikah. “Papa harap kamu mau
Rindu membuka dari mobil karena tidak nyaman menunggu di dalam mobil yang terparkir di depan rumah sakit. Ia dan keluarganya menunggu jenazah Andra dikeluarkan dari ruang jenazah."Mau kemana kamu?" tanya Ashraf ketika melihat Rindu keluar dari mobil."Nggak enak di mobil, aku nunggu di luar aja pengen hirup udara luar." Rindu turun dari mobil, kemudian duduk di bawah pohon rindang. Ashraf pun turut keluar dari mobil menemani istrinya.“Masih lama nggak ‘sih?”“Nggak tahu, mungkin sebentar lagi jenazahnya udah bisa keluar.”“Nggak nyangka ya, Kak. Rasanya baru kemarin ketemu sama Om Andra, eh sekarang dia udah nggak ada.”“Umur manusia nggak ada yang tahu, Sayang. Makanya, kita jangan terlena dengan nikmatnya dunia karena hanya amal kita yang akan dibawa sampai ke alam kubur.”“He’em.” Rindu menyandarkan kepalanya ke bahu kokoh sang suami yang terasa sangat nyaman.***Kanaya memperhatikan Alfian yang duduk bersandar di sandaran mobil. Gurat kesedihan tergambar jelas di wajah Alfian.
Kanaya tidur dengan nyenyak sambil memeluk guling yang terasa hangat. Guling yang ia peluk terasa sangat nyaman membuat Kanaya enggan untuk bangun dari tidurnya. Kanaya masih ingin bermalas-malasan di ranjangnya.Namun ada yang aneh, guling yang Kanaya peluk tiba-tiba bergerak. Sontak saja Kanaya membuka mata dan mendapati wajahnya bergumul di dada suaminya. Rupanya Kanaya sedang memeluk Dimas, bukan memeluk guling.Kanaya beringsut mundur, dilihatnya jarum jam beker di atas meja menunjuk pada angka 04.00 WIB. Kanaya teringat dengan nasehat Rindu, seperti apa pun sifat Dimas, Kanaya tetap harus menjalankan tugasnya sebagai seorang istri."Mas, bangun, bangun, bangun." Kanaya menusuk-nusuk lengan Dimas dengan jari telunjuknya.Dimas menggeliat, kemudian menyipitkan matanya memandang wanita yang sudah mengganggu tidurnya."Ada apa?" tanya Dimas dengan suara parau."Sebentar lagi adzan subuh, kamu nggak mau sholat?""Nggak," tolak Dimas."Kenapa nggak mau sholat?" tanya Kanaya dengan ken