Ashraf menemui Alfian yang tengah menenangkan diri di ruang kerjanya, pria paruh baya itu terlihat murung. Melihat Ashraf, hanya membuat Alfian mengingat masa lalunya yang kelam. Gara-gara perbuatan bejatnya, Ashraf menjadi anak tak bernasab. Alfian merasa jika yang dialami Kanaya adalah hukum karma yang harus Alfian bayar dari masa lalunya.“Bagaimana, Pa? Apa orang suruhan Papa sudah dapat informasi tentang yang terjadi di hotel itu?” tanya Ashraf.“Tidak ada apa pun yang bisa dijadikan bukti untuk menjebloskan Dimas ke penjara. Apalagi kejadian itu sudah cukup lama. Yang tahu kejadian yang sebenarnya hanya Kanaya dan Dimas. Kanaya juga diam saja setiap ditanya.” Alfian meraup wajahnya dengan kasar.“Kenapa Kanaya harus menerima hukum karma atas dosa-dosaku?” gumam Alfian dengan penuh sesal.“Hukum karma itu nggak ada, Pa. Yang ada adalah keadilan. Lagian, kesalahan apa yang dulu Papa perbuat sampai bilang kayak gitu?” Ashraf sangat penasaran dengan maksud perkataan Alfian.“Tidak a
Kanaya memasuki gang sempit yang sangat kumuh, mencari rumah petak ayah kandungnya. Kata orang-orang di sekitar sini, Darsono mengontrak di rumah petak kecil yang berada di pojok gang sempit. Kanaya menutup hidungnya karena keadaan rumah petak lembab dan bau pesing. Ia mengetuk pintu rumah yang tingginya setara dengan tinggi badannya.“Assalam alaikum,”“Wa alaikumsalam,” sahut seseorang dari dalam rumah petak.Beberapa detik kemudian pintu terbuka, Kanaya langsung berhadapan dengan pria paruh baya yang terlihat tidak rapi. Pakaian pria itu lusuh dan sobek di bagian bahu, rambutnya sudah beruban dan lepek.“Apa benar ini rumah Pak Darsono?” tanya Kanaya.“I-iya,” jawab Darsono tergagap, jantungnya berdebar sangat kencang ketika melihat Kanaya. Ia sangat familiar dengan wajah Kanaya, mata Kanaya mirip dengan mata mantan istri Darsono. “Silahkan masuk.” Darsono menyingkir dari pintu supaya Kanaya bisa masuk ke dalam kontrakannya yang reyot.Kanaya menunduk supaya kepalanya tidak terbent
Zivanna menutup matanya dengan telapak tangan ketika Dimas mencumbu Kanaya di depan matanya, sedangkan Khanza merasa jengah melihat kelakuan Dimas pada adiknya.“Memalukan,” desis Khanza dengan nada sarkas seraya membuang muka.Setelah beberapa saat berlalu, Zivanna menyikut lengan Khanza yang duduk di sebelahnya, kemudian bertanya, “Kak, udah selesai belum?”“Udah." Khanza membuang napas dengan ekspresi kesal.“Iiih, nggak sabaran banget suaminya Kak Kanaya. Kamu nggak cemburu 'kan Kak?” tanya Zivanna sambil memandang Dimas dengan ekspresi cemberut. Ia tidak menyukai Dimas karena tahu jika yang dicintai oleh Kanaya adalah Ardi, apalagi sebelumnya Dimas pernah melamar Khanza.“Nggak 'lah. Ngapain cemburu sama orang kayak gitu. Semoga saja dia akan memperlakukan Kanaya dengan baik,” sahut Khanza.“Aamiin.”Darsono meneteskan air mata bahagia ketika Kanaya mencium tangannya untuk pertama kali. “Semoga kamu bahagia sama pernikahan kamu, Nak.”Kanaya diam membisu karena tidak mengharapkan
“Biar aku pergi bersama suamiku saja,” Kanaya memutus perdebatan ketiga pria tersebut, kemudian mengambil tasnya di atas meja. “Assalamu alaikum.” Kanaya bergegas pergi dari ruang makan. Dimas tersenyum pada Ardi yang nampak sedih, lalu pergi mengejar istrinya. Ardi memandang Kanaya dengan ekspresi kecewa karena penolakan Kanaya. Hatinya sakit karena Kanaya lebih memilih Dimas daripada dirinya.“Ardi, kamu ‘tuh apa-apaan ‘sih! Kanaya itu istri dari Dimas, jadi kamu nggak perlu sok perhatian sama dia,” cetus Lilis dengan nada ketus.Lamunan Ardi buyar karena omelan yang tercetus dari mulut ibunya. Ia pun kembali duduk untuk melanjutkan sarapan. “Bukannya aku sok perhatian, Ma. Tujuan kami ‘kan searah, aku hanya menawarkan tumpangan.”“Halah, alasan,” ujar Lilis dengan sinis.“Udah-udah, nggak usah ribut di meja makan.” Andra melerai perdebatan Ardi dan ibunya.***“Kenapa kamu berbohong sama orang-orang?” tanya Kanaya yang duduk di sebelah Dimas yang sedang fokus mengemudikan mobil. K
Perut Dimas terasa bergejolak, ia pun turun dari ranjang dan berlari ke kamar mandi. Dimas menarik kenop pintu, tapi pintu terkunci dari dalam. Ia pun menggedor-gedor daun pintu dengan tidak sabaran. “Buka pintu, Nay! Aku mau muntah.” Dimas berusaha menahan rasa mualnya.Di dalam kamar mandi, Kanaya kebingungan karena belum mengenakan apa pun, ia baru saja selesai membilas tubuhnya dari busa sabun. Kanaya segera mengambil handuk dari gantungan pakaian, karena terburu-buru handuk itu pun jatuh ke lantai dan basah, sementara Dimas masih berteriak menyuruhnya untuk keluar."Nay, keluar, Nay. Aku nggak tahan." Dimas berteriak sembari menggedor-gedor pintu. “Iya, sebentar.” Ujar Kanaya seraya melilitkan handuk ke tubuhnya. "Duh, gimana, sih!” keluh Kanaya dengan tangan gemetar.Namun, pintu keburu di dombrak oleh Dimas hingga Kanaya terperanjat kaget, handuk yang belum sempurna melilit di dada Kanaya terlepas dan merosot, Kanaya segera menahan supaya handuk tersebut tidak jatuh.Dimas mel
***“Setelah pulang kuliah, Nyonya Kanaya mencari kos-kosan, mungkin karena belum menemukan yang cocok. Akhirnya dia menginap di Motel,” papar orang dari seberang telepon. “Di Motel mana dia menginap?” tanya Dimas setelah mendapatkan informasi dari orang suruhannya mengenai Kanaya.“Motel Darmawangsa.”“Kirimkan lokasinya.”“Secepatnya, Tuan.”“Ok.” Dimas memutus sambungan teleponnya, menyambar kontak mobil yang tergeletak di atas meja kerjanya.“Apa mau-mu, Nay?” Dimas keluar dari ruang kerjanya dengan kesal. Sebenarnya Dimas sangat lelah, tapi masih harus mencari istrinya yang kabur di tengah malam buta. ***Kanaya meringkuk di atas ranjang sembari memegangi perutnya yang terasa nyeri karena sedang datang bulan, badannya juga terasa pegal karena lelah mencari kos-kosan selama berjam-jam. Kanaya tak pernah memiliki niat untuk menjadi pembangkang apalagi sampai kabur dari suaminya, tapi hidup satu atap dengan pria yang sangat ia benci membuat batin Kanaya tersiksa. Kanaya beringsut
“Kamu mau membuka lembaran baru, tapi memaksaku seperti ini.”“Memangnya kenapa? Jangankan memelukmu seperti ini, bahkan sudah sewajarnya sepasang suami istri melakukan hubungan intim, lalu di mana letak masalahnya?” Dimas mengecup puncak kepala istrinya.“Masalahnya ada sejak aku ketemu sama kamu, bahkan caramu menikahiku sangat salah. ” Kanaya mendongak, menatap Dimas dengan tatapan dingin. “Sekarang lepasin aku, pagi ini aku ada kuis di kampus!!”Dimas menghela napas berat, meski enggan, ia tetap melepaskan Kanaya dari pelukannya.Kanaya turun dari ranjang dan bergegas pergi ke kamar mandi. Ia mengguyur tubuhnya dengan air shower sembari merenungkan permintaan Dimas yang terus terngiang-ngiang di telinganya.“Apa Dimas bisa menjadi suami yang bertanggungjawab? Apa aku harus memberi Dimas kesempatan untuk membuktikan perkataannya, apa pembohong kayak dia bisa dipercaya?”Dimas menyambar air dari botol yang ada di atas meja, lalu meminumnya hingga tersisa setengah botol. Setelah itu,
Kanaya baru saja sampai di kediaman Andra. Ia turun dari mobil sementara Dimas masih memarkirkan mobilnya di garasi. Kanaya menghampiri Lilis yang tengah berkutat dengan hp-nya, lalu mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Lilis, tapi Lilis malah membuang muka dengan sinis. “Mantu baru tapi nggak punya sopan santun.” Lilis kesal karena Kanaya semalam tidak pulang ke rumah hingga Andra dan Dimas kebingungan mencarinya. Mereka baru bisa tenang saat orang suruhan Dimas mengantar mobil Kanaya di tengah malam dan mengatakan jika Kanaya sedang bersama Dimas. “Wanita dengki sepertimu tidak pantas bicara soal moral dan sopan santun!” cela Dimas ketika mendengar istrinya dihina. “Mas, yang sopan kalau ngomong sama orang tua!” Kanaya berusaha menasehati suaminya, karena sebagai menantu baru ia menyadari kesalahannya karena tidak tahu etika. “Dia bukan orang tua, tapi wanita berhati iblis.” “Jangan kurang ajar kamu, Dimas, atau aku akan mengadukan kamu pada Papamu.” Dimas tersenyum