Hingga pada malam tiba aku hanya duduk terdiam tanpa kata. Melihat bintang yang ada disudut malam ini. Aku meratapi nasibku yang malang. Memiliki suami namun sepertinya ia lebih menyayangi ibunya dari pada diriku. Hingga pada akhirnya, mas Danang menghampiriku dengan raut wajahnya yang sumringah. Aku menantapnya dengan penuh tanda tanya. "Ada apa mas??" "Kamu tau nggak Hana. Mbak Dewi udah lahiran anaknya laki-laki. Yaampun gemes banget tau, tadi dia ngirim foto ke aku dan udah aku sampaikan juga ke ibu. Ibu seneng banget, dapat cucu laki-laki dari Mbak dewi." Ucapnya dengan penuh senang. Aku hanya melirik foto yang diperlihatkan suamiku pada saat ini. "Lihat deh sayang, lucukan." "Hmm." Jawabku dengan malas. Lalu aku masuk kedalam untuk segera tidur didalam kamar. Didalam kamar aku hanya berbaring kekiri dengan posisi membelakangi suamiku, ketika ia berbaring disampingku. Tak lama aku mendengar suara batuk suamiku menuju kedalam kamarku. Sepertinya masihku lihat tangannya mem
"Aduh-aduh, kenapa kamu tidak bilang kalau mau datang, sayang?" "Kalau tahu begitukan, ibu sama bapak bisa jemput kamu distasiun." Suara mertuaku yang terdengar begitu gembira. Aku belum melihat siapa yang datang diruang tamu itu. Nampaknya begitu ramai dan dikerumuni banyak orang, sebenarnya siapa yang datang. Karena hati merasa penasaran, akhirnya aku memutuskan untuk mengintip sebentar dipintu kamarku, meninggalkan Shifa diranjang tempat tidur dengan perlahan aku mengintip dibalik pintu kamar. Ternyata mbak Dewi yang datang, dan wajar saja, suara ibu terdengar begitu sangat bahagia. Setelah aku tahu siapa yang datang, kemudian menutup pintu kamar dan aku melanjutkan untuk mengganti baju Shifa, karena putri kecilku telah selesai aku mandikan. Tak lama saat aku didalam kamar, suara seruan akhirnya tiba. Terdengar suara ibu mertua yang memanggilku dengan suara lantangnya. Seakan memanggil pembantu. Aku segera menghampiri dan meninggalkan Shifa didalam kamar. "Lama banget sih kamu
Pagi ini aku kedatangan tamu, tetangga sebelah rumah berkunjung kerumah mertuaku. Katanya ia datang karena rindu dengan putri kecilku, Shifa. "Hana!" seru Ibu mertua yang terdengar tak biasa. Aku terheran saat mendengar seruan dengan nada bicara yang lembut. Aku langsung menuju suara ibu dan ku lihat mbak gendis sudah duduk diruang tamu. "Ini, gendis nyariin kamu??" Aku hanya tersenyum saat melihat kedatangan mbak gendis. "Ada apa mbak??" Tanyaku lalu duduk disampingnya. "Begini Hana, mbak rindu sama Shifa. Mana putri kecilmu, boleh bawa kesini tidak? Mbak ingin melihatnya" "Boleh mbak, tunggu sebentar ya?" Jawabku dengan tersenyum lalu menuju kedalam kamar dan mengendong Shifa, menuju keruang tamu. Telihat wajah mbak gendis yang begitu sumringah saat melihat putri kecilku. Mbak gendis sangat menyukai bayi, apa lagi mbak gendis sudah lama menikah belum juga dikaruniai seorang anak, jadi wajar saja jika ia benar-benar menyayangi seorang bayi dan sangat menginginkannya. "Yaampu
Malam ini aku benar-benar tak bisa tidur, akibat tubuh Shifa yang tiba-tiba saja panas. Aku benar-benar bingung harus melakukan apa. Aku mencoba menyusui Shifa tapi terlihat Shifa tak mau minum asiku. Aku mencoba membangunkan mas Danang, berharap ia terbangun dan membantuku untuk menjaga Shifa. "Mas... Mas Danang.. mas.." aku menggoyang-goyangkan tubuhnya perlahan. "Ada apa, Hana?" "Kenapa kamu membangunkan ku. Apakah sudah pagi??" Sambungnya. "Belum mas, maafkan aku, aku mengganggu tidurmu yang nyenyak." "Lantas, ada apa??" "Shifa badannya panas, mas. Aku bingung harus bagaimana? Sejak tadi mencoba menyusuinya, tapi Shifa tidak mau" Mas Danang langsung bangkit dari tidurnya dan langsung memegang tubuh putri kecilku. "Astaghfirullah. Badannya panas banget dek. Ayo kerumah sakit sekarang!" Ajak mas Danang kepadaku. Sedikit lega atas perhatian mas Danang kepada anaknya. Aku lalu pergi dengan mas Danang membawa Shifa kerumah sakit terdekat malam ini juga. Pukul menunjukkan jam
Aku yang selalu diperlakukan dengan tidak adil dirumah ini. Bahkan suamiku sendiri saja seperti tak menyayangiku. Malam ini aku menyusui Shifa dengan membuka handphone butut milikku. Karena sejak awal menikah sampai sekarang, mas Danang tak pernah membelikanku baju maupun handphone keluaran terbaru. Aku menyusui Shifa dengan memutar lagu-lagu agar Shifa tertidur dengan pulas. Triiingggggg... "Ibu!" Ucapku dengan lirih saat melihat telfonku berdering. ["Hallo, Bu, assalamualaikum"] ["Wa'alaikumsallam, Hana"] ["Ada apa ya Bu, kok tumben sekali malam-malam menelfon??"] ["Hana, kamu pulang tidak? Lebaran ini? Bapak sama ibu dan juga Ratna merindukan kamu. Apa lagi kamu sudah tiga tahun tidak pulang"] ["Iya Bu, nanti Hana akan bicara dengan mas Danang. Kalau lebaran boleh pulang, Hana akan pulang Bu"] ["Jadi kalau kamu tidak boleh pulang, kamu tidak jadi pulang, Hana??"] Aku terdiam membisu saat Ibu berkata begitu. Karena memang sudah tiga tahun aku menikah dan tak pernah berkun
"Bagaimana, mas. Apakah kamu bersedia, kita pulang saat lebaran??" Aku menantap mata mas Danang dengan penuh harapan. Berharap tahun ini mas Danang akan berkata, iya. "Tidak!!!" Tiba-tiba suara itu mengejutkanku dan juga mas Danang. Kami berdua menantap kearah orang yang bersuara, tiba-tiba muncul diantara aku dan mas Danang. "Ibu tidak mengizinkan, kamu dan Danang pulang!" Deg! "Tapi kenapa Bu?? Bukannya saya sudah tiga tahun tidak pulang. Saya mohon, Bu. Lebaran tahun ini saya dan mas Danang pulang ke kampung. Saya rindu dengan ibu dan bapak saya. Saya sudah tiga tahun Bu, tidak pulang. Saya mohon, Bu. Izinkan saya untuk pulang!!" "Hana! Kamu tau nanti pas lebaran itu ibu repot dirumah. Tidak ada yang bantuin masak, dan cuci piring bahkan beres-beres dirumah ini. Kalau kamu pulang. Lantas siapa yang mengerjakannya??" "Mbak dewikan ada, Bu. Mbak Dewi bisa gantikan saya untuk beberapa hari menjelang saya pulang kesini lagi, Bu!" "Dewi!!" "Iya, Bu. Mbak Dewi." "Tidak-tidak!
Setelah mertua dan kakak iparku pergi meninggalkan aku dan juga mas Danang berdua didalam kamar.Mas Danang masih menantapku dengan tatapan tajam."Kenapa kamu masih menantapku, mas? Kamu masih kurang puas, untuk menamparku? Silahkan, bilah perlu bunuh saja aku, mas.""Bunuh aku sekarang!!" Bentak Hana pada Danang."Kau hanya terpengaruh dalam cerita mereka. Kau tak tahu hal sebenarnya, apa yang terjadi kau tak tahu. Lantas kenapa kau tiba-tiba menamparku!" Sambung Hana."Karena kau tak mau menghargai pemberian, ibu!""Pemberian yang mana yang harus aku hargai! Pemberian mana yang patut aku syukuri, mas! Coba katakan??""Ibumu, memberikanku baju bekas. Itu juga baju bekas almarhum nenekmu!" Tunjukku kepada mas Danang dengan mata berkaca-kaca."Aku memang miskin mas, aku memang tak punya harta seperti kamu!" Aku terus menunjuk-nunjuk mas Danang."Tapi aku juga punya hati. Menantu dirumah ini ada dua. Aku dan mbak Dewi, tapi kenapa mbak Dewi lebih istimewa! Dari pada aku??""Coba kataka
Bu Vina berjalan dengan berfikir panjang. Lalu Dewi menghampirinya. Terlihat mertua yang kebingungan, dewipun bertanya kepada mertuanya."Ada apa, Bu? Kenapa ibu seperti bingung begitu?""Ibu hanya heran saja. Kamu bilang makanan nggak ada didapur. Sementara Hana bilang, Hana sudah masak. Apa kamu nggak cek dapur?"Dewi menggelengkan kepalanya. Lalu Bu Vina menonyor menantunya."Kenapa kamu nggak cek itu dapur. Kamu buat malu ibu saja, sih Dewi????"Dewi tersenyum dengan tak enak."Maaf, Bu. Dewi tadi laper jadi nggak konsen. Dewi fikir Hana nggak masak!""Hana itu beda sama kamu. Dia itu selalu masak pagi-pagi sekali. Jadi mana mungkin Hana tidak masak!""Buat malu saja, kamu!" Imbuhnya."Maaf, Bu. Ya udah kita makan saja ya Bu, lapar banget soalnya." Ucap Dewi dengan menepuk-nepuk perutnya yang keroncongan."Vino kemana? Kok nggak sama kamu?""Vino dibawa mas Riki. Katanya sih diajak jalan-jalan keliling komplek. Ngadem gitu!""Terus ayah kamu!""Iya sama. Ikut mas Riki.""Danang ke